Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng
Bebek Kremes dan Persahabatan Tanpa Lilin
Sebagai anak milenial, aku sebetulnya sudah mengalami hari-hari Ramadan mendatangi banyak jadwal bukber (buka bersama). Mulai d dari teman saat SD, SMP, SMA hingga rekan kerja maupun komunitas.
Namun seperti kata banyak orang bijak, pertemanan kita akan semakin mengecil seiring dengan bertambahnya usia. Akan ada banyak orang datang dan pergi, entah membuat bahagia atau memberi luka.
Nah, bicara soal persahabatan, aku mungkin cukup beruntung memiliki kelima rekan rangerku. Ya, kami berenam memang menjuluki diri masing-masing dengan warna favorit. Ranger hijau misalnya yang adalah diriku.
Berjumpa untuk kali pertama di kelas X SMA, tak terhitung sudah berapa kali kami menghabiskan waktu bersama termasuk urusan bukber. Hal ini pula yang terjadi di tahun 2023 ini. Karena aku baru saja melakukan operasi kaki pada bulan Februari silam, kami memutuskan untuk bukber di rumah salah satu dari kami yakni si ranger hitam.
Biasanya dalam kegiatan bukber beberapa tahun terakhir yang harus berlangsung dalam keterbatasan sosial, kami memilih ke rumah ranger putih dan melakukan konsep bukber ala ayce.
Kini di Ramadan 2023, beberapa dari kami yang bosan harus rebus-rebus dan membakar lauk daging terlebih dulu, menyarankan memesan makanan jadi. Kebetulan Ibuku yang memang sering menerima orderan masak kecil-kecilan, bersedia mempersiapkan lauk bukber kami, lengkap dengan tambahan porsi untuk pasangan dan anak dari beberapa rekanku.
Makan Kembul yang Rasanya Mantul
Ada satu hal yang tidak berubah dari kelima sahabatku sejak aku mengenal mereka belasan tahun lalu. Yap, kami tak harus melulu makan di tempat mewah dengan menu berbahasa Inggris.
Karena itu pada saat bukber, kamipun tak ribet memilih makanan. Bebek goreng menjadi menu bukber dan kami menyantap makanan itu bersama-sama, di atas selembar daun pisang lebar. Sebuah kegiatan yang mengingatkanku pada tradisi kembul bujana di Kulon Progo, Yogyakarta.
Dalam kembul bujana, daun pisang yang dipakai memang sudah dibersihkan terlebih dulu lalu ditata memanjang sesuai jumlah tamu. Barulah kemudian nasi dan aneka lauk pauk ditata di atasnya, siap untuk disantap bersama-sama. Kamipun melakukan hal serupa saat bukber.
Tak disangka, tradisi kembul yang pertama kami lakukan justru menuai banyak cerita seru. Mulai dari berebut kol goreng, sambal, kremesan bebek hingga sikut-sikutan mengambil krupuk.
Sebuah bukti betapa kebahagiaan tak perlu dibayar dengan harga mahal. Karena santapan berbuka itu tidak sampai 30 ribu rupiah per porsi.
Bahkan untuk urusan takjil kami memperolehnya dengan gratis. Karena seorang temanku meramu susu UHT dengan potongan buah segar yang menjadikann santapan pencuci mulut menyegarkan.
"Besok-besok kayaknya kita bisa nih makan bareng lagi. Tapi nggak perlu bawa tongkat ya kamu, buruan sehat dan bisa jalan kaki sendiri,"
Aku tersenyum sambil mengangguk mendengar ucapan rekanku. Teringat pada sebuah kalimat di awal persahabatan kami belasan tahun lalu saat SMA. Saat itu kami yang muda dan berbahaya sempat mengandaikan jika persahabatan kita without wax.
Apa maksudnya?
Jadi di peradaban Eropa dulu, ada banyak seniman patung yang menggunakan lilin atau wax untuk menutupi retak maupun kekurangan dari karya mereka. Karya yang ditambal dengan lilin jelas terlihat sempurna, tapi itu adalah kesempurnaan palsu.
Sehingga jika sebuah hubungan dijalankan tanpa lilin alias without wax, itu adalah sebuah hubungan yang murni, tanpa dibuat-buat
Bisakah persahabatan kami terus seperti itu? Semoga. Kuharap setiap dari kami memang menjalani kebersamaan itu tanpa lilin.