Aulia
Aulia Dosen

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tidak Ada Takjil di Manchester, Kisah Seorang Dosen Mengupgrade Diri

16 Maret 2024   07:21 Diperbarui: 16 Maret 2024   07:35 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum Maghrib tiba, panitia dengan cekatan membentangkan alas dari kain yang cukup panjang, dilapisi plastik tipis, sebagai persiapan. Di atasnya, diletakkan nasi putih dan nasi khas Pakistan, mencerminkan mayoritas anggota komunitas muslim di kampus yang berasal dari negara tersebut.

Lauk pauk yang disajikan adalah potongan besar ayam yang menggugah selera. Kami, dengan kebiasaan khas orang Indonesia, makan menggunakan tangan, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan tradisi makan orang Pakistan.

Beberapa dari kami duduk bersila, sementara yang lain memilih posisi setengah bersimpuh, dengan satu kaki bersimpuh dan satu lagi ditekuk berdiri, menikmati kebersamaan dalam keberagaman.

Masakan yang disajikan memang khas Pakistan, dengan kuah kari yang kaya rasa dan aroma. Bagi yang belum terbiasa, rasa kuah kari yang kental dan rempah-rempah yang kuat bisa menjadi sensasi yang berkecamuk di mulut, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan kelezatan masakan Padang yang kaya bumbu dan santan. Namun, inilah bagian dari pengalaman berharga tersebut, belajar mengapresiasi keanekaragaman kuliner dan budaya.

Saat azan Maghrib berkumandang, kami bersegera melakukan iftar atau berbuka. Sambil duduk kami meneguk air soda yang tak biasa he...he...

Setelah makan kami berdiri bersama, menghadap kiblat, dan melaksanakan sholat berjamaah. Ada rasa syukur yang mendalam saat kami sujud, mengingatkan kami pada esensi dari bulan suci ini yaitu bersabar, berbagi, dan bertumbuh dalam iman.

Setelah sholat, Kami berbagi cerita, tertawa, dan sesekali ada yang mengeluhkan rindu pada masakan ibu di rumah. Tapi di atas segalanya, kami merasakan kehangatan persaudaraan, sebuah ikatan yang menguatkan kami di negeri orang.

Ramadhan di Manchester, jauh dari hiruk-pikuk takjil di Indonesia, membawa pelajaran tersendiri. Kami belajar untuk menghargai momen-momen kecil, kehangatan persahabatan, dan keindahan dalam perbedaan. Ini adalah kenangan yang akan kami bawa pulang, sebuah mozaik indah dari pengalaman hidup kami di tanah asing.

Penutup

Momen berbuka itu, meski sederhana, menjadi sebuah pengalaman yang berharga. Di sana, kami tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi cerita dan dukungan. Itu adalah saat-saat dimana kami merasakan kebersamaan yang erat, mengingatkan kami pada nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan yang sering kali terasa lebih kuat di bulan suci ini.

Ramadhan di Manchester mungkin tidak memiliki takjil yang meriah seperti di Indonesia, namun kebersamaan yang kami rasakan saat berbuka bersama komunitas muslim di UMIST telah memberikan kami sebuah pengalaman yang unik dan tak terlupakan. Pengalaman tersebut mengajarkan kami tentang pentingnya kebersamaan dan saling mendukung, terutama saat berada jauh dari tanah air.

Kami belajar tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan bagaimana menjaga api iman di negeri yang jauh dari rumah. Itu adalah masa yang tak terlupakan, sebuah cerita yang akan selalu kami kenang sebagai bagian dari perjalanan hidup kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun