Aulia
Aulia Dosen

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tidak Ada Takjil di Manchester, Kisah Seorang Dosen Mengupgrade Diri

16 Maret 2024   07:21 Diperbarui: 16 Maret 2024   07:35 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pengantar 

Pada tahun 1998, saya memulai perjalanan baru dalam hidup saya, berangkat ke UMIST Manchester, UK, untuk melanjutkan pendidikan S2.

Itu adalah tahun yang penuh tantangan dan ekplorasi, terutama saat Ramadhan tiba di tengah musim dingin yang terasa sampai ke tulang dan tanpa salju.

Salju yang biasanya menutupi tanah hanya bisa ditemukan di utara, di tanah tinggi Scotlandia.

Saya tinggal di sebuah rumah sederhana dua lantai milik uncle keturunan Pakistan, bersama dua orang teman dari Unila, Khair dan Lukman.

Rumah ini memiliki 1 ruang tamu, 1 ruang tengah dan satu dapur di lantai dasar. Lantai 2 terdiri dari satu kamar mandi dan WC kering dan dua kamar tidur.

Rumah ini langsung berhadapan dengan jalan komplek yang cukup lebar, dimana jika mobil parkir di kiri kanan jalan, masih bisa mobil yang berpapasan melewatinya tanpa kendala.

Di belakangrumah, pintu dapur langsung ke arah laman belakang yang berbatasan langsung dengan jalan kecil ukuran satu mobil truk khusus untuk memungut sampah yang ada di tong besar.

Sibuk kuliah 

Kami adalah trio mahasiswa yang menjalani hari-hari dengan rutinitas akademik dan kehidupan di negeri orang.

Musim dingin di Manchester membuat waktu puasa terasa singkat, dimulai dari sekitar jam 6 pagi dan berakhir pada jam 4 sore, dengan jadwal yang bergeser setiap beberapa hari seiring berjalannya waktu.

Kami tidak memiliki tradisi berbuka atau sahur yang istimewa. Menu kami sederhana, mirip dengan apa yang kami makan sehari-hari, tidak ada perbedaan antara sahur dan berbuka.

Hidangan kami adalah menu anak sekolahan yang praktis dan ekonomis, meskipun kami berada di kota yang terkenal, di Inggris.

Namun, ada momen-momen spesial yang kami nantikan setiap minggu. Sekali seminggu, kami akan bergabung dengan grup pengajian tarbiyah, sebuah komunitas yang hangat dan penuh kekeluargaan.

Di sana, kami berbuka bersama dan menikmati kebersamaan yang membawa rasa seperti di rumah sendiri. Gurunya, atau murabbinya, adalah Pak Sukamta, seorang anggota DPR dari PKS periode 2019-2024, yang dengan sabar dan penuh hikmah membagikan ilmu dan pengalamannya kepada kami.

*****

Kerinduan akan suasana takjil di Indonesia yang semarak memang terasa mendalam saat berada di Manchester. Di negeri pangeran Charles yang menganut sistem sekuler ini, bahkan azan yang berkumandang dari bangunan masjid pun tidak diizinkan dipancarkan ke lingkungan.

Barangkali ini yang ditiru oleh Menteri Agama di kabinet Presiden Indonesia saat ini. Dia lupa bahwa negeri bumi Pancasila ini tegas berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa.

Segala kegiatan yang mendukung sila pertama ini adalah kehendak dasar kenapa negara Republik Indonesia ini dibangun. Kebebasan beragama dijadikan pijakan dalam mengelola negara, bukan pemikiran sesaat para pembisik yang akan merusak keharmonisan bangsa Indonesia.

*****

Hanya momen berbuka bersama teman-teman muslim saat pengajian yang menjadi penawar rindu, mengobati kerinduan akan suasana Ramadhan di tanah air.

Di UMIST, komunitas muslim memiliki tradisi berbuka puasa bersama yang diadakan di lantai dasar Main Building. Saya pernah bergabung dengan mereka, merasakan kehangatan komunitas yang berbeda.

Kami berbuka di ruangan yang multifungsi, tidak terlalu luas, yang pada hari-hari biasa menjadi tempat sholat lima waktu dan sholat Jum'at.

Sebelum Maghrib tiba, panitia dengan cekatan membentangkan alas dari kain yang cukup panjang, dilapisi plastik tipis, sebagai persiapan. Di atasnya, diletakkan nasi putih dan nasi khas Pakistan, mencerminkan mayoritas anggota komunitas muslim di kampus yang berasal dari negara tersebut.

Lauk pauk yang disajikan adalah potongan besar ayam yang menggugah selera. Kami, dengan kebiasaan khas orang Indonesia, makan menggunakan tangan, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan tradisi makan orang Pakistan.

Beberapa dari kami duduk bersila, sementara yang lain memilih posisi setengah bersimpuh, dengan satu kaki bersimpuh dan satu lagi ditekuk berdiri, menikmati kebersamaan dalam keberagaman.

Masakan yang disajikan memang khas Pakistan, dengan kuah kari yang kaya rasa dan aroma. Bagi yang belum terbiasa, rasa kuah kari yang kental dan rempah-rempah yang kuat bisa menjadi sensasi yang berkecamuk di mulut, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan kelezatan masakan Padang yang kaya bumbu dan santan. Namun, inilah bagian dari pengalaman berharga tersebut, belajar mengapresiasi keanekaragaman kuliner dan budaya.

Saat azan Maghrib berkumandang, kami bersegera melakukan iftar atau berbuka. Sambil duduk kami meneguk air soda yang tak biasa he...he...

Setelah makan kami berdiri bersama, menghadap kiblat, dan melaksanakan sholat berjamaah. Ada rasa syukur yang mendalam saat kami sujud, mengingatkan kami pada esensi dari bulan suci ini yaitu bersabar, berbagi, dan bertumbuh dalam iman.

Setelah sholat, Kami berbagi cerita, tertawa, dan sesekali ada yang mengeluhkan rindu pada masakan ibu di rumah. Tapi di atas segalanya, kami merasakan kehangatan persaudaraan, sebuah ikatan yang menguatkan kami di negeri orang.

Ramadhan di Manchester, jauh dari hiruk-pikuk takjil di Indonesia, membawa pelajaran tersendiri. Kami belajar untuk menghargai momen-momen kecil, kehangatan persahabatan, dan keindahan dalam perbedaan. Ini adalah kenangan yang akan kami bawa pulang, sebuah mozaik indah dari pengalaman hidup kami di tanah asing.

Penutup

Momen berbuka itu, meski sederhana, menjadi sebuah pengalaman yang berharga. Di sana, kami tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi cerita dan dukungan. Itu adalah saat-saat dimana kami merasakan kebersamaan yang erat, mengingatkan kami pada nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan yang sering kali terasa lebih kuat di bulan suci ini.

Ramadhan di Manchester mungkin tidak memiliki takjil yang meriah seperti di Indonesia, namun kebersamaan yang kami rasakan saat berbuka bersama komunitas muslim di UMIST telah memberikan kami sebuah pengalaman yang unik dan tak terlupakan. Pengalaman tersebut mengajarkan kami tentang pentingnya kebersamaan dan saling mendukung, terutama saat berada jauh dari tanah air.

Kami belajar tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan bagaimana menjaga api iman di negeri yang jauh dari rumah. Itu adalah masa yang tak terlupakan, sebuah cerita yang akan selalu kami kenang sebagai bagian dari perjalanan hidup kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun