Tidak Ada Takjil di Manchester, Kisah Seorang Dosen Mengupgrade Diri
Pengantar
Pada tahun 1998, saya memulai perjalanan baru dalam hidup saya, berangkat ke UMIST Manchester, UK, untuk melanjutkan pendidikan S2.
Itu adalah tahun yang penuh tantangan dan ekplorasi, terutama saat Ramadhan tiba di tengah musim dingin yang terasa sampai ke tulang dan tanpa salju.
Salju yang biasanya menutupi tanah hanya bisa ditemukan di utara, di tanah tinggi Scotlandia.
Saya tinggal di sebuah rumah sederhana dua lantai milik uncle keturunan Pakistan, bersama dua orang teman dari Unila, Khair dan Lukman.
Rumah ini memiliki 1 ruang tamu, 1 ruang tengah dan satu dapur di lantai dasar. Lantai 2 terdiri dari satu kamar mandi dan WC kering dan dua kamar tidur.
Rumah ini langsung berhadapan dengan jalan komplek yang cukup lebar, dimana jika mobil parkir di kiri kanan jalan, masih bisa mobil yang berpapasan melewatinya tanpa kendala.
Di belakangrumah, pintu dapur langsung ke arah laman belakang yang berbatasan langsung dengan jalan kecil ukuran satu mobil truk khusus untuk memungut sampah yang ada di tong besar.
Sibuk kuliah
Kami adalah trio mahasiswa yang menjalani hari-hari dengan rutinitas akademik dan kehidupan di negeri orang.
Musim dingin di Manchester membuat waktu puasa terasa singkat, dimulai dari sekitar jam 6 pagi dan berakhir pada jam 4 sore, dengan jadwal yang bergeser setiap beberapa hari seiring berjalannya waktu.
Kami tidak memiliki tradisi berbuka atau sahur yang istimewa. Menu kami sederhana, mirip dengan apa yang kami makan sehari-hari, tidak ada perbedaan antara sahur dan berbuka.