Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.
Kisah Menyiapkan Bingkisan Lebaran tanpa Repot
Jelang Idulfitri adalah momen mengirim parsel kepada orang terdekat atau kolega. Kirim bingkisan lebaran sudah menjadi kebiasaan.
Bingkisan lebaran pun memenuhi sebagian ruang toko ritel modern dan pasar swalayan. Tinggal beli, beri alamat penerima ke toko, dan tunggu tanda terima kiriman barang. Simpel.
Beberapa orang dengan senang hati berpayah-payah membeli isi. Isinya beragam: makanan dan minuman, sembako, peralatan makan atau minum, perlengkapan dapur, dan sebagainya.
Kemudian merakitnya dan mengemas sendiri bingkisan yang kerap disebut parsel. Lalu merencanakan pengiriman. Lumayan merepotkan.
Alasan pemberian bingkisan adalah sebagai wujud perhatian kepada orang lain, ungkapan rasa syukur, dan memelihara hubungan baik. Mungkin sebagian orang ingin berbagi bingkisan dengan mereka yang tak mampu membeli parsel lebaran.
Sesungguhnya saya tidak punya kebiasaan mengirim bingkisan lebaran. Namun bukan berarti tidak pernah.
Ada dua masa saya mengirim bingkisan lebaran, kendati mungkin wujudnya sedikit berbeda dibanding parsel di toko. Tidak perlu payah-payah merakitnya. Tidak repot pula dengan urusan pengiriman.
Kisah Pertama
Sewaktu masih mengelola kafe di Kebayoran Baru Jakarta Selatan, tiap tahun saya (perusahaan) pusing memilih siapa-siapa yang patut mendapatkan parsel.
"Permintaan" bingkisan lebaran dari berbagai pihak menggunung di meja. Semua minta diprioritaskan. Surat tertulis disampaikan oleh berbagai ormas, orang mengaku dari kantor militer, serta kepolisian (dari pospol hingga Polsek). Belum lagi dari pihak-pihak yang entah.
Sangat memusingkan kepala menyeleksi kelompok mana yang akan diberi. Masalahnya, perusahaan memiliki sumber daya terbatas. Apalagi pengeluaran menjelang Idulfitri meningkat, sementara penjualan menurun.
Akhirnya saya melakukan ini: hanya memilih pihak yang berkaitan langsung dengan kafe atau memiliki kontribusi nyata.
Kemudian saya menyiapkan bingkisan lebaran. Memasukkan sejumlah lembaran ke dalam amplop putih ukuran kabinet.
Kisah Kedua
Satu ketika saya menjadi pemborong di sebuah kabupaten. Sudah menjadi rahasia umum, pekerjaan dari Pemda sarat dengan suap. Tanpa uang sogokan atau komisi (commitment fee) bakal sulit mendapatkan proyek.
Biasanya mereka menggelontorkan proyek pada triwulan tiga dan empat. Dalam jumlah lebih sedikit, proyek dikeluarkan pada bulan Ramadan. Dapat diduga, dari proyek-proyek itu oknum pengadaan mengharapkan uang haram tambahan untuk THR.
Bila memperoleh proyek, saya menyiapkan bingkisan lebaran untuk pejabat pengadaan berikut jajaran, berupa uang yang telah ditentukan besarannya.
Sedangkan bingkisan berbeda diberikan atas inisiatif sendiri kepada staf, satpam, dan tukang parkir.
Bingkisan berupa batik yang dibungkus rapi. Saya membeli batik kodian di Pekalongan (pasar apa, saya lupa namanya).
***
Begitulah kisah menyiapkan bingkisan lebaran, yang tidak merepotkan dalam pengemasan dan pengirimannya.
Sekarang saya tidak menyiapkan bingkisan lebaran. Tidak perlu lagi memelihara "hubungan baik" dengan pihak tertentu.
Kalaupun ada, menyiapkan bingkisan lebaran berupa makanan ke tetangga. Itu pun saling antar.