Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship
Menghindari Gaya Hidup Konsumtif di Bulan Ramadan

Bulan suci Ramadan semestinya jadi momentum bagi seorang muslim untuk meningkatkan nilai spiritual dan sosialnya. Sebab, tujuan diwajibkannya ibadah puasa di bulan suci Ramadan dalam rangka meningkatkan iman dan takwa, sekaligus melipatgandakan amal kebaikan orang yang berbuat baik.
Makanya, disebut juga dengan bulan ibadah karena di dalamnya penuh dengan ampunan dan kasih sayang Allah bagi orang-orang yang berdoa. Bulan pendidikan, sebab selama satu bulan lamanya, mendidik diri untuk menahan hawa nafsu serta menajamkan empati.
Sayangnya, bulan yang identik dengan ibadah puasa dan mengajarkan kesederhanaan hidup ini justru terkontaminasi dengan budaya konsumtif kebanyakan masyarakat. Banyak orang yang berpuasa justru semakin banyak pengeluaran alias boros.
Bila dicermati, seyogyanya pengeluaran untuk makanan dan minuman di bulan Ramadan lebih sedikit dibandingkan bulan-bulan lainnya. Sebab, mengurangi jatah makan siang bagi orang yang makan tiga kali sehari. Sementara sarapan, dialihkan ke sahur dan makan malam di waktu maghrib.
Faktanya, justru pengeluaran untuk konsumsi makanan, barang dan jasa masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Merujuk pada survei Populix 2022 yang dipublikasikan oleh databoks.katadata.co.id menyebutkan pengeluaran konsumen melonjak hingga 50% saat Ramadan.
Riset Bank Syariah Indonesia (BSI) juga mengungkapkan bahwa 84,4% masyarakat mengalami peningkatan pengeluaran selama bulan Ramadan. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat pengeluaran terbesar, dengan rata-rata mencapai Rp5,05 juta per orang selama Ramadan.
Pada Ramadan 2024 lalu, belanja makanan dan minuman mendapatkan alokasi anggaran paling tinggi hingga mencapai 45%, disusul oleh kegiatan sosial atau sedekah sebanyak 22%, 17% untuk transportasi dan 16% sisanya digunakan untuk membeli hadiah.
Selain itu, transaksi di pusat perbelanjaan juga meningkat sampai 30 persen selama Ramadan dan menjelang lebaran. Berdasarkan laporan dari InMobi dan Glanci, generasi X adalah yang paling boros, disusul oleh generasi milenial dan generasi Z.
Komersialisasi Bulan Ramadan
Entah mana yang lebih awal hadir, komersialisasi bulan suci Ramadan atau budaya konsumtif masyarakat muslim Indonesia. Yang pastinya, keduanya saling keterkaitan satu sama lain dan nampak tidak dapat dipisahkan.
Satu sisi, berbelanja atau bahkan berburu makanan seperti "war takjil" sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat muslim Indonesia. Meskipun, tanpa iklan atau promosi, makanan dan minuman selama bulan Ramada selalu melimpah ruah.
Bahkan, lebih dari sekadar budaya, tapi sudah menjadi kebutuhan masyarakat muslim bahwa kalau berbuka tanpa kolak, gorengan, es campur dan lain sebagainya kurang sempurna ibadah puasanya, hingga pada akhirnya mereka harus membeli bahkan berburu.
Fenomena ini kemudian ditangkap oleh para pelaku bisnis sebagai peluang untuk meraup keuntungan finansial. Mereka hadir menawarkan kebutuhan masyarakat selama bulan puasa dan lebaran dengan harga yang cukup murah.
Diskon besar-besaran, gratis ongkir ke seluruh Indonesia, dapat cash back dan lain sebagainya termasuk bagian dari upaya mempengaruhi konsumen supaya membeli produk mereka tanpa batas dan sebanyak-banyaknya.
Jadi, Ramadan yang semestinya bulan ibadah serta penuh berkah, lantas dikomersialisasi jadi bulan belanja penuh diskon. Akhirnya, masyarakat lupa akan esensi dan substansi Ramadan karena fokus mengejar diskon.
Cara kerjanya, mereka pasang iklan besar-besaran melalui media massa dan media sosial, menargetkan semua kalangan, mulai dari kalangan generasi X, Milenial dan Z, baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini dapat dilihat dan dibedah menggunakan kacamata teori media massa semisal Agenda Setting (McCombs & Shaw) bahwa media dapat menentukan isu apa yang perlu dan penting serta bagaimana isu itu disajikan ke masyarakat.
Maka, berlakulah teori Harold Lasswell, bahwa media massa dan sosial mempunyai kekuatan sangat dominan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan masyarakat. Seperti, mengapa orang berbuka selalu dengan minuman manis Marjan atau merek terkenal lainnya.
Mengapa pula, ketika lebaran tiba banyak laki-laki yang menggunakan sarung dengan merek ternama? Sebab, mereka sudah dicekoki oleh taburan iklan di berbagai platform media, sehingga yang tertanam dalam ingatan bawah sadarnya adalah produk yang pernah dilihat di layar TV atau handphone masing-masing.
Sekali lagi, ini bukan kebetulan atau kejadian normal seperti kehidupan biasanya. Akan tetapi ada agenda komersialisasi terhadap bulan suci Ramadan yang disebabkan oleh faktor budaya konsumtif masyarakat, dan mereka semakin menguatkan budaya tersebut. Dalam arti lain, gaya hidup konsumtif yang selama ini diterapkan kebanyakan masyarakat Indonesia itu ada yang menciptakan.
Tentu saja, selain karena tidak sesuai dengan esensi serta substansi dari tujuan ibadah puasa itu sendiri, yang mengajarkan keserdahanaan serta kepedulian sosial, budaya konsumtif juga dapat mendatangkan masalah finansial sekaligus mental.
Untuk itu, gaya hidup konsumtif khususnya di bulan suci Ramadan, memang harus dihindari oleh siapapun karena termasuk pemborosan anggaran yang akan mempengaruhi kesehatan finansial serta mental semisal stres, cemas dan lain sebagainya.
Beberapa tips berikut bisa diterapkan untuk menghindari gaya hidup konsumtif selama bulan suci Ramadan:
1. Lakukan Efesiensi Anggaran
Alokasikan terlebih dahulu dana kita untuk kebutuhan pokok selama Ramadan. Misalnya untuk makan sahur dan berbuka, zakat serta sedekah. Langkah ini mampu menekan biaya pengeluaran dan mengontrol pembelian yang tidak perlu.
Belanja makanan, baik untuk sahur maupun berbuka juga penting dilakukan efesiensi agar tidak berlebihan. Pastikan, makanan dan minuman kita sama seperti bulan-bulan lainnya, dan bila perlu lebih sederhana.
2. Kurangi Makan di Luar
Mengurangi makan di luar rumah juga bagian dari upaya menghindari gaya hidup konsumtif selama bulan suci Ramadan. Sebab, makan di luar hanya akan menambah pengeluaran lebih besar karena ada biaya transportasi, parkir dan lain sebagainya.
Termasuk juga, membeli makanan lewat jasa pesan antar semisal Go Food, Shoppee Food dan layanan online lainnya yang harganya lebih mahal daripada datang sendiri. Lebih hemat masak sendiri di rumah, hemat biaya dan juga waktu.
3. Hindari Implusive Buying
Pembelian impulsif atau spontan juga harus dihindari sekuat mungkin selama bulan Ramadan, karena dapat mengganggu pada alokasi anggaran yang sudah ditetapkan. Pastikan berbelanja sesuai dengan list yang sudah ditentukan dan patuhi daftar tersebut.
Upayakan tahan pada godaan diskon dalam segala bentuknya serta tampilan visual yang cukup menarik perhatian. Bila sampai tergoda lalu membeli, otomatis telah masuk dalam perangkap konsumerisme dan gagal menghindari gaya hidup konsumtif.
Fokus pada Esensi Ramadan
Ramadan adalah waktu untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Alihkan fokus dari konsumsi berlebihan ke kegiatan spiritual seperti tadarus Al-Qur'an, shalat tarawih, dan kegiatan amal.
Akhirnya, agar ibadah puasa kita semakin bermakna dan terhindar dari gaya hidup konsumtif tersebut, maka perlu ada upaya serius untuk membuang jauh-jauh gaya hidup ini. Dengan menerapkan tips di atas, kita dapat menjalani bulan Ramadan dengan lebih bermakna tanpa terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY TOPIC
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!