Bukber Virtual, Lebih dari Sekadar Normal Baru
Bukber. Buka bersama. Salah satu keunikan selama bulan Ramadan. Berkumpul di suatu tempat tertentu untuk membuka puasa bersama. Sebuah kekhasan yang sudah menjadi rutinitas. Selalu rutin terjadi setiap bulan suci itu bertandang. Yang membedakan adalah di mana dan dengan siapa bukber itu digelar.
Berbagai pilihan itu masih mungkin dilakukan saat pandemi Covid-19 belum menyapa. Namun, setelah dunia diharuskan beradaptasi dengan kebiasaan baru, maka aktivitas tersebut sedikit banyak ikut berpengaruh.
Bila sebelum pandemi orang akan dengan mudah tergerak untuk berkumpul secara fisik. Maka tidak demikian di masa pandemi ini. Alih-alih berkumpul secara fisik dalam kelompok dengan latar belakang beragam, orang akan lebih selektif: memilih untuk menyelenggarakan bukber secara terbatas pada kelompok tertentu, utamanya anggota keluarga serumah.
Pemerintah sangat menganjurkan untuk membatasi mobilitas fisik demi memutus mata rantai penyebaran virus berbahaya itu. Karena itu, alangkah baiknya berbagai kegiatan yang melibatkan pertemuan fisik banyak orang dibatasi.
Dengan demikian bukber secara fisik pun perlu penyesuaian. Bahkan untuk sejumlah alasan benar-benar terhalang. Lantas, bagaimana menyiasati agar momen tersebut tetap tercipta walau dalam masa pandemi?
Salah satunya adalah menggelar bukber secara virtual. Sekilas bukber ala normal baru ini memberikan banyak pengaruh positif. Protokol kesehatan terpenuhi. Sementara itu pertemuan tetap terjadi, walau dalam jaringan. Apakah hanya untuk alasan itu bukber virtual tetap penting digelar?
Stres Merebak
Pandemi Covid-19 berdampak multidimensional. Semua aspek terdampak. Hampir semua orang tak bisa luput. Tentu dalam tingkat dan bentuk berbeda. Baik dampak fisik, maupun psikis.
Terkait hal kedua, terkuak fakta miris. Menukil tirto.id (01/05/2020), dampak pandemi Covid-19 sungguh mengguncang kejiwaan banyak orang. Sebuah penelitian menunjukkan, sebanyak 64 persen dari 1.522 orang responden memiliki masalah psikologis. Sebagian besar responden adalah perempuan (76,1 persen) dengan usia minimal 14 tahun dan maksimal 71 tahun.
Hal itu terkuak setelah melakukan pemeriksaan mandiri secara daring di laman resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Mayoritas mengalami problem kejiwaan berupa cemas, hingga depresi.