Bijak Kelola Keuangan, Redam Perilaku "Nyampah" selama Ramadan
Data Sistem INformasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) terbaru disebutkan jumlah sampah terbesar dikuasai sisa makanan (41,2 persen), baru disusul plastik (18,2 persen), lalu kayu atau ranting (13,5 persen).
Tegas menyebutkan sumber utama gunung sampah itu berasal dari sektor rumah tangga (39,2 persen), mengalahkan sektor-sektor lain seperti perniagaan (21,2 persen) dan pasar tradisional (16,1 persen).
Pola konsumsi
Sekilas bisa disimpulkan, status darurat sampah makanan yang terjadi di Tanah Air justru dikontribusi oleh sektor domestik. Entah sadar atau tidak sadar, ada sesuatu yang salah dalam pola konsumsi di setiap rumah tangga kita.
Bisa jadi orang menganggap bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri adalah bulan berpesta makanan. Setelah menjalani puaasa sejak fajar hingga matahari terbenam, orang seakan terobsesi untuk menyediakan hidangan makanan dan minuman sebanyak mungkin.
Sayangnya, perhitungan yang tidak cermat membuat banyak makanan kemudian berakhir di tempat-tempat sampah.
Sesungguhnya, kekeliruan itu tidak hanya bermuara pada apa yang sudah tersaji di meja makan. Melainkan juga bertalian dengan sikap keseluruhan. Ada masalah pada perhitungan di awal, dalam pelaksanaan, hingga tindak lanjutnya.
Beberapa kekeliruan yang terkadang tetap terpelihara dari tahun ke tahun antara lain.
Pertama, kalah berbelanja. Berbelanja makanan tanpa perhitungan yang cermat. Apalagi dalam keadaan perut kosong membuat konsentrasi berkurang.
Yang terlihat oleh indra kemudian mengangkangi akal sehat. Orang kemudian hanya berfokus untuk memenuhi rasa lapar yang dicerna oleh indra pengelihatan. Istilahnya, "lapar mata."