charles dm
charles dm Freelancer

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

"I Remember Flores," dari Kopi sampai Negeri di Atas Awan

25 April 2023   21:09 Diperbarui: 25 April 2023   21:10 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"I Remember Flores," dari Kopi sampai Negeri di Atas Awan
Panorama Bukit Wolobobo, negeri di atas awan di Kabupaten Ngada, Flores, NTT: foto dokumentasi pribadi

Kapten Tasuku Sato, seorang Komandan Angkatan Laut Jepang pernah menulis sebuah buku yang berisi percikan refleksi atas pengalaman singkatnya di Pulau Flores.

Judul buku itu, sebagaimana menjadi bagian dari judul tulisan ini, adalah I Remember Flores atau Aku Terkenang Flores

Kapten Tasuku Sati berangkat dari Jepang pada 1943. Ia berada satu pesawat dengan tiga orang tak dikenal yang kemudian diketahuinya adalah Uskup Ogihara dari Hiroshima, Uskup Agung Yamaguchi dan sekretarisnya Pater Iwanaga dari Nagasaki.

Banyak hal yang ia temui, terutama penghayatan iman orang Flores, dalam rentang waktu tiga tahun bertugas di Flores sebelum kembali ke Jepang pada 1946, tak lama setelah perang berakhir.

Ia seperti tak bisa untuk tidak bersaksi. Ia sungguh tersentuh denga napa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri.

Sato kemudian ingin dipermandikan. Ia mengakhiri kenangannya dalam buku tersebut dengan permenungan menarik. Diakhiri dengan pengakuan yang kemudian menjadi judul buku legendaris bertahun terbit 1957 itu.

"Tidak sulit melihat tangan Tuhan dalam penempatan saya di Pulau Iman selama tahun-tahun perang. Bekas-bekas jari-Nya masih membekas di banyak tempat di mana saya dibimbing-Nya dengan lemah lembut dan diselamatkan-Nya dari banyak bahaya. Untuk itulah saya bersyukur kepada Tuhan. Dan untuk itu pulalah maka "I remember Flores!"

Buku legendaris I Remember Flores: www.tempusdei.id
Buku legendaris I Remember Flores: www.tempusdei.id

Terkenang Bajawa

Banyak orang yang pernah ke Flores tentu punya kesan beragam. Hampir pasti tidak ada yang keberatan dengan pesonanya, persis seperti nama yang disandang.

Pulau bernama asli Nusa Nipa (Pulau Ular), namun mengambil nama Portugis, Flores, yang berarti bunga. Nama itu secara resmi dipakai sejak 1638 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Brouwer.

Bila Sato yang pendatang dan hanya menghabiskan waktu singkat di Flores sampai begitu sentimental, apalagi orang-orang seperti saya yang berasal dari sana.

Saya lahir di sebuah kota kabupaten yang terletak di tengah Pulau Flores. Namanya, Bajawa.

Bajawa kemudian ditetapkan menjadi ibu kota Kabupaten Ngada yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Kota kecil yang berada di sebuah ceruk tidak hanya sekadar menjadi kampung halaman dalam arti sempit sebagai kota tempat saya lahir dan bertumbuh di awal-awal kehidupan di muka bumi.

Kota itu punya segudang pengalaman yang membentuk saya sebagai pribadi dan banyak orang yang pernah berada di sana. Ketika saya pergi merantau, bayangan kota itu akan selalu muncul bersama orang-orang terkasih yang masih bertahan di tempat itu.

Saat banyak hal ganjil yang saya temukan dalam pengembaraan dari kota yang satu ke kota yang lain, dari perjumpaan dengan satu realitas dan realitas yang lain, Bajawa selalu memberikan kekuatan, ketenangan, dan keteduhan.

Kota Bajawa dilihat dari ketinggian: foto dokumentasi pribadi
Kota Bajawa dilihat dari ketinggian: foto dokumentasi pribadi

Simbol toleransi.

Pertama, Bajawa diakui sebagai kota administratif pada 1958. Namun, Bajawa punya sejarah yang jauh lebih panjang dari itu.

Bajawa mulai ditata dengan sistem tertentu ketika Belanda masuk pada 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel.

Kehadiran Belanda pada hal-hal tertentu memfasilitasi pertumbuhan keagamaan umat setempat. Paroki pertama bernama Mater Boni Consili (MBC) Bajawa berdiri pada 11 Oktober 1921.

Sebagai bangunan gereja, proses pembangunannya rampung dan diresmikan secara meriah pada Mei 1930.

Mgr.Arnold Vestraelen, seorang Belanda yang menjabat Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil sejak 1922 hingga wafatnya pada Maret 1932.

Dalam perjalanan waktu, agama-agama lain pun tumbuh dan berkembang. Hingga kini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada tahun 2020, pemeluk Katolik masih mendominasi. Namun, kaum Islam terus bertumbuh, demikian juga Protestan, Hindu, dan Budha.

Bila bertandang ke Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Kisanata, siapa pun akan secara jelas melihat dua tempat ibadah berdiri berdampingan. Masjid Agung Al-Ghuraba Baiturrahman dan Gereja GMIT Ebenhaezer seperti saling menatap dari dekat.

Saat hari-hari besar keagamaan, para pemeluk dari agama berbeda akan terlibat aktif membantu saudara-saudarinya menjalankan ibadah. Sebuah potret kasat mata akan penghayatan arti persaudaraan, toleransi, dan kebhinekaan.

Gereja Kristen dan Masjid Raya berdiri berdampingan di Kota Bajawa: foto dokumentasi pribadi
Gereja Kristen dan Masjid Raya berdiri berdampingan di Kota Bajawa: foto dokumentasi pribadi

Udara Bersih Berlimpah

Kedua, Kabupaten Ngada umumnya itu daerah berbukit dengan tingkat kemiringan lahan yang cukup tinggi.

Hal ini bisa dipahami. Sebab, wilayah ini merupakan daerah dengan gunung api aktif maupun sisa gunung api yang meninggalkan relief bergunung dan berbukit.

Di balik tantangan itu ada berkah luar biasa. Alam yang subur, berikut pemandangan yang indah.

Terkenang kampung halaman akan membangkitkan memori tentang pesona sejumlah tempat yang kini telah menjadi objek wisata.

Beberapa bisa disebut. Air Terjun Ogi, terletak di Desa Pape, Kecamatan Bajawa. Dari ketinggian sekitar 30 meter, air dengan volume cukup besar tumpah membentuk pemandangan memukau.

Air itu mengaliri hamparan persawahan dan pernah menjadi sumber energi pembangkit listrik milik PLN.

Tak sampai 45 menit dari situ, terdapat pemandian air panas Mengeruda. Berlokasi di Kecamatan Soa, sekaligus di kecamatan yang sama terdapat Bandara Udara Turelelo yang merupakan satu-satunya pintu gerbang udara di Kabupaten Ngada.

Tempat pemandian air panas Mengeruda, Soa, Kabupaten Ngada: foto dokumentasi pribadi
Tempat pemandian air panas Mengeruda, Soa, Kabupaten Ngada: foto dokumentasi pribadi

Semasa kecil, air panas Soa dan air terjun Ogi adalah oase. Letaknya memang tak jauh dari tempat di mana ari-ari saya dikuburkan.

Saat berada di Jakarta yang padat dan udara bersih nan segar adalah kemewahan, bayangan akan kampung halaman yang menyajikan segala sesuatu itu secara gratis dan berlimpah adalah sebuah kerinduan luar biasa.

Negeri di atas awan

Masih terkait objek wisata. Bila bergerak ke arah sebaliknya, tak jauh dari jalan utama lintas Flores, terdapat sejumlah titik pemandangan indah.

Gunung berbentuk piramida dengan ketinggian 2.245 meter di atas permukaan laut masih menyisahkan sebagian besar keindahan untuk dilihat dari jauh.

Ia berada sekitar 15 km ke arah selatan Bajawa. Puncaknya yang lancip, gunung aktif yang terakhir meletus pada 1970 ini adalah goresan tangan Sang Pencipta yang begitu indah.

Keindahan gunung ini bisa dinikmati dengan jauh lebih mempesona dari Bukit Wolobobo. Tempat yang didapuk sebagai salah satu negeri di atas awan di republik ini. Bisa melihat gumpalan awan atau kabut dari dekat.

Tempat ini terus ditata seiring makin meningkatnya kunjungan wisatawan. Spot menikmati sunrise dan sunset, lalu mengabadikannya sebagai kenangan yang bisa diputar kembali kapan pun.

Dari kota Bajawa hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk menikmati suguhan mempesona yang terletak di Desa Turekisa, Kecamatan Golewa Barat itu.

Bukit Wolobobo pada suatu kesempatan: bukit wolobobo. sumber foto Aris Raga 001
Bukit Wolobobo pada suatu kesempatan: bukit wolobobo. sumber foto Aris Raga 001

Kopi Flores Bajawa

Ketiga, topografi Bajawa sangat mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya aneka jenis tanaman pertanian dan perkebunan.

Saat berbelanja di supermarket di Jakarta hati kecil saya terkadang berontak ketika melihat harga sejumlah makanan dan buah-buahan. Alpukat misalnya. Untuk mendapat satu kg terkadang harus menebus dengan lebih dari Rp30 ribu.

Di Bajawa, untuk jumlah tersebut, dan dengan ukuran lebih besar plus rasa yang lebih nikmat,  kita tak perlu sampai mengeluarkan uang sebanyak itu.

Terlepas dari itu, ada produk lain yang sudah mendunia. Di balik nama besar Flores, tersemat juga merek yang telah go international. Kopi Flores. Kopi Flores Bajawa.

Ya, Bajawa menjadi salah satu sentra penghasil kopi terbaik di Flores. Kabarnya, kopi Flores awalnya berjenis Robusta yang dibawa Belanda pada 1911.

Kemudian jenisnya berganti. Masuk pula jenis Arabika. Kedua jenis itu punya waktu panen yang sedikit berbeda. Belakangan jenis Arabika ini lebih dominan.

Kopi Flores Bajawa, juga yang dihasilkan di daerah-daerah pegunungan lain di Flores seperti Waerebo, Manggarai Tengah, Lelak di Manggarai Tengah, hingga Colol di Manggarai Timur, membentuk khazanah kopi nusantara dengan rasa yang nikmat dan aroma yang unik.

Kopi Flores biasanya beraromoa bunga, karamel, kacang-kacangan, dan tembakau. Tumbuh di atas tanah vulkanik dan beriklim tropis, dibudidayakan dengan cara organik membentuk cita rasa tersendiri. Rasa manis dengan tingkat keasaman yang seimbang dengan sejumlah sentuhan rasa yang kaya.

Cita rasa Kopi Flores Bajawa yang khas namun bisa diterima oleh banyak orang. Tingkat keasaman (acidity) medium membuatnya bisa masuk ke lidah semua penikmat kopi.

Setiap kali memperkenalkan diri sebagai orang Flores atau Bajawa, tidak sedikit lawan bicara akan langsung menyambar ke urusan kopi.

Ya, kopi Flores Bajawa memang bikin rindu.

Orang tua

Keempat, di balik aneka sejarah dan keindahan alam yang nikmatnya tiada tara itu, ada alasan lain yang membuat rindu kampung halaman selalu berkecamuk.

Panggilannya terus bergema setiap saat. Ketika tak tertahankan kemudian hanya bisa dijawab dengan air mata.

Orang tua, sebagian besar anggota keluarga, juga kuburan leluhur dan orang-orang tersayang yang masih tegak berdiri di sana adalah sebab yang membuat kampung halaman selalu menjadi kata-kata terindah yang selalu menggetarkan jiwa.

Bila saat pulang kampung tiba, perasaaan gembira begitu meluap-luap. Tidak hanya rindu pada orang-orang terdekat akan segera tertunaikan, juga melihat lagi dari dekat ciptaan Tuhan yang masih terjaga dalam rupa alam yang asri, orang-orang sederhana yang tampil apa adanya, geliat ekonomi yang berputar lambat namun memberikan kecukupan materi, berikut simbol-simbol peradaban yang mengirim banyak pesan bermakna.

Semakin panjang saya menulis, bisa saja akan berubah menjadi bait-bait puisi melankolis. Seperti Kapten Tasuku Sato pada Flores, demikian juga saya pada kampung halaman.

Tak bisa saya tutup-tutupi. Aku terkenang Flores. Aku teringat Bajawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun