Memaknai Hablum Minannas dari Hadits Menyingkirkan Duri dari Jalan
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."
Islam telah mengajarkan urusan-urusan muamalah mulai dari yang terpenting, terbesar hingga yang terkecil dan yang paling ringan sebagai petunjuk bagi kita untuk membina hubungan dengan sesama manusia, bukan saja dengan sesama kerabat keluarga, sesama muslim tetapi dengan sesama semua manusia bahkan dengan alam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Laa ilaha illallaah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
Demikian pula dalam hadist lain dipesankan oleh Rasulullah
"Hai Abu Hurairah! Singkirkanlah duri dari jalan yang akan dilalui orang yang lebih mulia darimu, lebih kecil darimu, lebih baik darimu, dan bahkan orang yang lebih buruk darimu."
"Jika engkau berbuat demikian, niscaya Allah membanggakan engkau kepada para malaikat-Nya. Dan barangsiapa dibanggakan Allah kepada para malaikat-Nya, niscaya ia muncul pada Hari Kiamat dalam keadaan aman dari segala yang buruk."
Sungguh sebuah pesan yang sangat sederhana, "menyingkirkan duri dari jalan". Namun, mohon maaf berapa banyakkah orang-orang yang memperhatikan bagian paling ringan dari sebuah iman kepada Allah ini sebagaimana yang termuat dalam hadits di atas?
Memang dalam konteks kekinian, mana lagi ada duri di sebuah jalan, sekarang jalan-jalan yang ada sudah beraspal, berpaving blok, berbeton dsb, demikian juga orang-orang yang berlalu lalang di jalan sudah berkendaraan atau setidaknya jika berjalan kaki mereka tentu memakai alas kaki sekurang-kurangnya sandal. Namun tentu kita tidak harus mengartikan makna hadits di atas secara harafiah.
Di sinilah keagungan Islam dalam menetapkan aturan dan hukum. Ayat-ayat al-Quran dan Hadits, tak semuanya harus ditafsirkan secara harfiah. Sebagaimmana tentang duri ini haruslah diartikan secara lebih luas dengan misalnya sebagai penghalang atau pengganggu bagi orang-orang untuk memanfaatkan jalan yang ada.
Nah, bisa kita lihat di jalan-jalan bagaimana orang-orang yang menggunakan jalan dengan sembrono, dengan ugal-ugalan yang bisa membahayakan keselamatan orang lain. Bagaimana orang-orang yang memarkir kendaraannya di sembarang tempat hingga menyebabkan kemacetan.
Itu baru dalam hal penggunaan jalan, bagaimana dengan jalan yang berlubang adakah di antara kita yang peduli untuk memperbaikinya, paling kita hanya mengharap agar pemerintah segera membenahinya, namun seringnya itu lama dibiarkan hingga banyak orang yang celaka, kadang ada yang peduli untuk memasang tanda agar pengendara berhati-hati, tapi itu tidak bertahan lama kadang hilang dibuang oleh orang yang tidak peduli.