Memaknai Ulang Tradisi Memakai Baju Baru Saat Lebaran
Keduanya menyebut jika tradisi tersebut hanya akan menimbulkan kekacauan ekonomi. Alasannya adalah para bupati dan pamongpraja pribumi saat itu memanfaatkan momen ini.
Tidak sedikit para bupati dan pamongpraja memakai dana pemerintah untuk menyambut hari lebaran. Mereka memakai pakaian mahal, bahkan berbahan emas hingga atribut khas Eropa.
Tentu saja di sini menimbulkan kesenjangan sosial di antara para pribumi. Para bupati yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam pemerintahan seolah menjadi kelas atas karena baju baru tersebut.
Di sisi lain, rakyat jelata hanya memakai baju muslim biasa dengan mode khas India atau Arab. Rakyat jelata tentu tak mampu mengikuti model para pejabat karena terkendala biaya.
Jika begitu, maka dari sisi penampilan kita bisa membedakan antara pejabat atau rakyat jelata. Pada posisi ini, pakaian bisa menentukan status sosial seseorang.
Tentu saja hal ini bukan barang baru. Di era sekarang pun sama. Mereka yang ekonominya kuat tentu akan membeli pakaian dengan merek tertentu dan tentu mahal. Pun sebaliknya.
Kondisi saat ini pun sama, pakaian baru saat lebaran seolah-olah menandakan status sosial seseorang. Hanya saja saat ini tak disebut diskriminasi, mungkin saja menjadi satu kewajaran jika dilihat dari sisi ekonomi.
Lebih jauh dari itu, tradisi membeli atau memakai baju baru saat lebaran ternyata merujuk ke dalam sebuah hadist.
Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata, Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan. (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Tentu memakai baju terbaik sebagai bentuk ekspresi rasa syukur kepada Allah SWT. Hanya saja, kita harus memaknai ulang apa itu "pakaian terbaik."
Di sini mungkin terjadi satu kesalahan pemahaman yang mendasar. Frasa pakaian terbaik sering diartikan baru, padahal pakaian terbaik tidak harus baru.