Memaknai Ulang Tradisi Memakai Baju Baru Saat Lebaran
Mengapa demikian? Jika pakaian terbaik harus baru, maka tidak semua kalangan bisa melakukan itu. Hanya orang kaya saja yang bisa merayakan hari lebaran.
Di lain pihak, mereka yang ekonominya lemah seolah-olah tidak bisa berlebaran. Padahal intinya tidak begitu, setahu saya agama itu tidak memberatkan, hanya pola pikir kitalah yang membuatnya menjadi rumit.
Memakai baju baru saat lebaran seolah menjadi kewajiban, bahkan sebagian orang seakan tak tenang jika belum membeli baju baru menjelang lebaran.
Padahal kutipan hadist di atas menyebut pakaian terbaik. Jika kita hanya memiliki sarung, pakaian muslim, dan kopiah, maka itulah yang kita pakai.
Pakaian terbaik tidak selalu harus baru, pola pikir tersebut hanya akan membuat kita menjadi konsumtif. Tidak sedikit dari kita menghabiskan budget yang mahal hanya untuk menyambut hari raya.
Bahkan baju baru tidak hanya satu pasang, ada juga yang lebih. Seolah-olah setiap baju baru ada momen yang pas untuk dipakai. Untuk shlat ied, maka baju yang harus dipakai ini.
Untuk momen berkumpul dengan keluarga, sudah ganti lagi, untuk kumpul dengan teman berbeda lagi. Bagi saya, hal itu justru menjauhkan dari rasa syukur itu sendiri.
Jika bersyukur harus diekspresikan dengan sesuatu yang baru, maka agama hanya miliki segelintir orang kaya saja. Bersyukur ialah menghargai apa yang kita punya, jika ada rezeki lebih tak ada salahnya untuk membeli.
Jika tidak ada, maka jangan memaksakan. Ujung-ujungnya hal itu hanya akan membuat kita takabur, tidak bersyukur dengan rezeki yang kita miliki.
Ekspresi kegembiraan menyambut hari lebaran tidak harus dengan pakaian baru. Akan tetapi, yang jauh lebih penting ialah diri kita sendiri harus dengan "kondisi baru."
Baru dalam artian ialah, kita menjadi orang yang lebih baik dari bulan-bulan lalu. Jika di bulan sebelumnya kita orang yang tak bersyukur, maka di hari raya kita harus menjadi orang yang bersyukur.