Memaknai Ulang Tradisi Memakai Baju Baru Saat Lebaran
Baju baru, Alhamdulillah
'Tuk dipakai di hari Raya
Tak punya pun, tak apa-apa
Masih ada baju yang lama
Mungkin sebagian dari kita tidak asing dengan lirik lagu di atas. Lagu tersebut menggambarkan suasana hari lebaran yang meriah. Mulai dari makanan hingga pakaian baru.
Lebaran memang identik dengan hal-hal di atas. Ibu-ibu sibuk membuat kue, opor ayam, dan berbagai hidangan lain untuk menyambut hari lebaran.
Selain makanan, tidak lupa di momen hari raya kita ingin terlihat necis. Pakaian yang kita kenakan baru. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Tidak hanya satu pasang, bahkan satu orang memiliki lebih dari satu pasang pakaian baru. Misalnya untuk shalat ied, kopiah, baju muslim, hingga sarung "harus" baru.
Setelan kedua tentu lain lagi, dan pastinya baru. Namun, sebetulnya sejak kapan tradisi memakai baju baru saat lebaran dimulai? Khususnya di Indonesia.
Jika kita telusuri dalam sejarah, tradisi memakai baju baru saat lebaran sudah ada sejak awal abad-20. Hal ini diungkapkan oleh penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial, Snouck Hurgronje.
Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan. (Historia)
Tradisi membeli atau memakai baju baru saat lebaran ternyata mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa sana.
Namun, kebiasaan ini dikritik oleh pejabat saat itu, yakni Steinmetz dari Residen Semarang, dan De Wol pejabat Hindia Belanda.
Keduanya menyebut jika tradisi tersebut hanya akan menimbulkan kekacauan ekonomi. Alasannya adalah para bupati dan pamongpraja pribumi saat itu memanfaatkan momen ini.
Tidak sedikit para bupati dan pamongpraja memakai dana pemerintah untuk menyambut hari lebaran. Mereka memakai pakaian mahal, bahkan berbahan emas hingga atribut khas Eropa.
Tentu saja di sini menimbulkan kesenjangan sosial di antara para pribumi. Para bupati yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam pemerintahan seolah menjadi kelas atas karena baju baru tersebut.
Di sisi lain, rakyat jelata hanya memakai baju muslim biasa dengan mode khas India atau Arab. Rakyat jelata tentu tak mampu mengikuti model para pejabat karena terkendala biaya.
Jika begitu, maka dari sisi penampilan kita bisa membedakan antara pejabat atau rakyat jelata. Pada posisi ini, pakaian bisa menentukan status sosial seseorang.
Tentu saja hal ini bukan barang baru. Di era sekarang pun sama. Mereka yang ekonominya kuat tentu akan membeli pakaian dengan merek tertentu dan tentu mahal. Pun sebaliknya.
Kondisi saat ini pun sama, pakaian baru saat lebaran seolah-olah menandakan status sosial seseorang. Hanya saja saat ini tak disebut diskriminasi, mungkin saja menjadi satu kewajaran jika dilihat dari sisi ekonomi.
Lebih jauh dari itu, tradisi membeli atau memakai baju baru saat lebaran ternyata merujuk ke dalam sebuah hadist.
Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata, Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan. (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Tentu memakai baju terbaik sebagai bentuk ekspresi rasa syukur kepada Allah SWT. Hanya saja, kita harus memaknai ulang apa itu "pakaian terbaik."
Di sini mungkin terjadi satu kesalahan pemahaman yang mendasar. Frasa pakaian terbaik sering diartikan baru, padahal pakaian terbaik tidak harus baru.
Mengapa demikian? Jika pakaian terbaik harus baru, maka tidak semua kalangan bisa melakukan itu. Hanya orang kaya saja yang bisa merayakan hari lebaran.
Di lain pihak, mereka yang ekonominya lemah seolah-olah tidak bisa berlebaran. Padahal intinya tidak begitu, setahu saya agama itu tidak memberatkan, hanya pola pikir kitalah yang membuatnya menjadi rumit.
Memakai baju baru saat lebaran seolah menjadi kewajiban, bahkan sebagian orang seakan tak tenang jika belum membeli baju baru menjelang lebaran.
Padahal kutipan hadist di atas menyebut pakaian terbaik. Jika kita hanya memiliki sarung, pakaian muslim, dan kopiah, maka itulah yang kita pakai.
Pakaian terbaik tidak selalu harus baru, pola pikir tersebut hanya akan membuat kita menjadi konsumtif. Tidak sedikit dari kita menghabiskan budget yang mahal hanya untuk menyambut hari raya.
Bahkan baju baru tidak hanya satu pasang, ada juga yang lebih. Seolah-olah setiap baju baru ada momen yang pas untuk dipakai. Untuk shlat ied, maka baju yang harus dipakai ini.
Untuk momen berkumpul dengan keluarga, sudah ganti lagi, untuk kumpul dengan teman berbeda lagi. Bagi saya, hal itu justru menjauhkan dari rasa syukur itu sendiri.
Jika bersyukur harus diekspresikan dengan sesuatu yang baru, maka agama hanya miliki segelintir orang kaya saja. Bersyukur ialah menghargai apa yang kita punya, jika ada rezeki lebih tak ada salahnya untuk membeli.
Jika tidak ada, maka jangan memaksakan. Ujung-ujungnya hal itu hanya akan membuat kita takabur, tidak bersyukur dengan rezeki yang kita miliki.
Ekspresi kegembiraan menyambut hari lebaran tidak harus dengan pakaian baru. Akan tetapi, yang jauh lebih penting ialah diri kita sendiri harus dengan "kondisi baru."
Baru dalam artian ialah, kita menjadi orang yang lebih baik dari bulan-bulan lalu. Jika di bulan sebelumnya kita orang yang tak bersyukur, maka di hari raya kita harus menjadi orang yang bersyukur.
Jika di bulan lalu kita ini malas, lalai dalam bekerja mau pun ibadah, maka di hari raya kita harus menjadi lebih baik. Itulah hakikat dari idul fitri itu sendiri.
Jika yang baru hanya pakaian saja, tetapi sifat, hati, dan kebiasaan buruk masih dilakukan, kita masih sama. Kita bukan orang baru. Yang baru hanya dari luar saja, akan tetapi dari dalam diri masih lama.
Kita hanya upgrade cassing saja tapi tidak upgrade kualitas diri. Puasa adalah bulan untuk menguji agar diri kita menjadi "orang baru" di hari lebaran, jika yang baru hanya pakaian, maka tidak ada hal yang diraih selama bulan ramadhan.
Itulah inti dari idul fitri, yaitu kembali ke fitrah (suci). Jika kita tidak bisa memperbaiki diri, maka puasa yang kita lakukan tidak ada artinya sama sekali.