Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com
Merantau Adalah Cara Jitu untuk Belajar Keberagaman
Mungkin masih ada orang yang intoleran, namun, jika dibandingkan dengan orang yang toleran, maka prosentasenya akan lebih banyak orang yang toleran. Karena, mereka sudah terbiasa bertemu dengan orang yang berbeda suku, budaya, agama, bahkan bahasa. Kadang kala saat merantau Anda juga didorong untuk dapat belajar bahasa daerah lain, agar Anda dapat benar-benar berbaur.
Hal ini juga terjadi pada penulis, yang mana penulis bahkan merasa hidup lebih baik ketika ada di tempat yang mana merupakan salah satu tempat yang banyak pendatangnya atau yang disebut para perantau. Salah satu tempat itu adalah Malang.
Tentunya, semua orang sudah tahu bahwa Malang adalah salah satu kota pendidikan, karena di sini banyak ditemukan perguruan tinggi dari yang berlabel negeri hingga swasta. Maka dari itu, tak mengherankan jika Anda bisa menemukan banyak pemuda di kota ini yang sebenarnya tak hanya berstatus sebagai pelajar namun juga pekerja. Karena, di kota pendidikan artinya juga merupakan kota pekerjaan. Ada banyak toko, outlet, minimarket, supermarket, mall, dan lain sebagainya yang pastinya akan membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.
Di kota ini, penulis dapat mengambil contoh dari pengalaman sendiri bahwa menerima perbedaan juga bukanlah hal yang mudah karena terkadang ada rasa untuk hanya berkumpul dengan yang sedaerah asal, seagama, sebudaya, bahkan sebahasa. Namun, jika hal itu yang dicari, maka tidak akan pernah selesai pencarian itu.
Mengapa demikian?
Karena yang seagama belum tentu sedaerah. Sedangkan yang sedaerah belum tentu seagama. Begitu pula dalam hal budaya. Meski sama-sama bersuku Jawa, namun budayanya bisa saja berbeda. Penulis yang berasal dari Karesidenan Kediri (plat AG) yang terbiasa "aku, awakmu, kowe, piye, peh, dan lainnya" akan susah langsung nyetel dengan "koen, umak, yaopo, cek, dan lainnya", padahal hanya terpisah tiga jam perjalanan darat. Bagaimana jika jaraknya lebih jauh? Pasti akan lebih berbeda bukan?
Belum lagi yang seagama juga belum tentu satu suku. Seperti saat bertemu dengan teman-teman asal Sunda, Betawi, Madura, Minang, Makassar, Sasak (Nusa Tenggara) dan lainnya. Sehingga meskipun seagama, cara berinteraksinya juga berbeda. Dari dialeknya dan kebiasaannya juga akan sedikit berbeda. Hal inilah yang membuat penulis memilih untuk tidak fokus pada upaya mencari persamaan.
Inilah yang sebenarnya perlu ditekankan pada pemikiran kita semua sebagai masyarakat Indonesia. Bahwa tidak ada yang benar-benar sama di antara kita. Meskipun Anda seagama dengan teman Anda, belum tentu gaya hidup Anda sama dengan teman Anda. Begitu pula dengan yang berbudaya sama, belum tentu memiliki agama yang sama.
Jadi, untuk apa hidup menjadi orang Indonesia jika kita tidak bisa menerima adanya perbedaan di antara kita?
Mari bergandeng tangan melalui pikiran kita bahwa Indonesia adalah milik semua yang terlahir dan cinta negeri ini! Selamat menantikan hari kemenangan Indonesia!
Tulungagung, 30 Mei 2019
Deddy Husein S.