Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Penulis

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Merantau Adalah Cara Jitu untuk Belajar Keberagaman

30 Mei 2019   23:57 Diperbarui: 31 Mei 2019   00:09 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merantau Adalah Cara Jitu untuk Belajar Keberagaman
Ilustrasi keberagaman Indonesia. (Yogyakartanews.com)

Sedikit beruntung bagi penulis, karena dapat merasakan lahir, tumbuh, lalu mengenyam pendidikan tinggi di tiga tempat yang berbeda. Ini yang membuat penulis bisa memosisikan diri sebagai orang yang tahu harus bersikap seperti apa ketika menghadapi perbedaan. Khususnya dalam hal suku, budaya, dan agama. Karena, dewasa ini tiga hal tersebut menjadi kian krusial untuk dapat dipahami dan dijalani dalam kehidupan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Jika menengok sejarah nusantara hingga menjadi negara bernama Indonesia, penulis melihat bahwa Indonesia tidak pernah berhenti bergejolak dalam hal upaya menyatukan negeri ini dengan perbedaan tersebut. Bahkan, salah satu pendorong terjadinya penjajahan juga karena nusantara ini memiliki perbedaan tersebut. Perbedaan itu yang kemudian diusahakan dapat dimanfaatkan oleh penjajah untuk memecah-belah bangsa ini.

Namun, kejadian masa lampau itu bisa sedikit dimaklumi karena kepandaian masyarakat tidak begitu menyeluruh. Karena, nusantara saat itu masih banyak menerapkan kehidupan yang berstrata---ada struktur sosial yang kaku. Sehingga, lapisan-lapisan tertentu dapat diperdaya oleh pihak asing dan kemudian terjadilah gejolak.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, pemicu terjadinya penjajahan itu bukan dari bawah, melainkan dari atas. Artinya, bukan masyarakat kelas bawah yang diperdaya oleh penjajah asing, melainkan orang kalangan atas yang dijajah oleh tipu-daya dan adu domba. Iming-iming jabatan dan pembagian ilmu pengetahuan pada akhirnya meluluhkan para tokoh di kalangan strata atas, dan ketika mereka jatuh, maka yang di bawah juga akan merasakan dampaknya pula.

Inilah yang sebenarnya juga terjadi di Indonesia kali ini. Namun, yang menjadi permasalahan adalah keriuhan yang terjadi di masyarakat Indonesia juga terjadi di kalangan lapis bawah. Hal ini tak bisa dipungkiri karena mereka juga mudah terpengaruh oleh dogma dan ikatan-ikatan tertentu. Sehingga apa yang bisa mereka lakukan adalah seperti ekor yang sekadar mengikuti gerak kepalanya.

Suatu ironi yang kemudian mendasari pula bagaimana Indonesia kali ini masih kesulitan untuk benar-benar bebas dari gejolak, khususnya yang berkaitan tiga hal tadi; suku, budaya, dan agama. Lalu, bagaimana caranya untuk belajar menghargai adanya perbedaan tersebut?

Seperti yang disinggung di judul, bahwa merantau adalah cara terbaik bagi individu untuk belajar memahami apa itu perbedaan. Karena ketika Anda keluar dari daerah Anda, maka Anda akan dituntut untuk belajar hal baru dan tentunya hal yang berbeda. Namun, bukan berarti Anda akan kehilangan jati diri. Di masa merantau itu, Anda sebenarnya hanya ditekankan pada satu kata, yaitu toleransi.

Ketika Anda berhasil menjalani kehidupan dengan satu kata itu, maka, Anda tidak akan perlu khawatir tentang kehilangan jati diri. Karena, jati diri Anda akan tetap melekat pada tubuh dan pikiran Anda. Namun, dengan adanya toleransi, maka, pikiran Anda akan lebih kaya---lebih terbuka.

Inilah yang terpenting saat Anda merantau. Yaitu, membuka pikiran Anda seluas mungkin. Agar Anda tidak mudah curiga dan juga tidak asal menilai dengan satu sudut pandang saja. Karena kehidupan ini masih sangat luas. Masih ada ilmu pengetahuan, ada aturan (hukum/nilai-norma), ada budaya, dan ada agama. Sehingga, ketika Anda merantau, Anda akan menggunakan banyak sudut pandang untuk berpikir.

Lalu apakah merantau akan seratus persen menghasilkan orang-orang toleran?

Mungkin masih ada orang yang intoleran, namun, jika dibandingkan dengan orang yang toleran, maka prosentasenya akan lebih banyak orang yang toleran. Karena, mereka sudah terbiasa bertemu dengan orang yang berbeda suku, budaya, agama, bahkan bahasa. Kadang kala saat merantau Anda juga didorong untuk dapat belajar bahasa daerah lain, agar Anda dapat benar-benar berbaur.

Hal ini juga terjadi pada penulis, yang mana penulis bahkan merasa hidup lebih baik ketika ada di tempat yang mana merupakan salah satu tempat yang banyak pendatangnya atau yang disebut para perantau. Salah satu tempat itu adalah Malang.

Tentunya, semua orang sudah tahu bahwa Malang adalah salah satu kota pendidikan, karena di sini banyak ditemukan perguruan tinggi dari yang berlabel negeri hingga swasta. Maka dari itu, tak mengherankan jika Anda bisa menemukan banyak pemuda di kota ini yang sebenarnya tak hanya berstatus sebagai pelajar namun juga pekerja. Karena, di kota pendidikan artinya juga merupakan kota pekerjaan. Ada banyak toko, outlet, minimarket, supermarket, mall, dan lain sebagainya yang pastinya akan membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.

Ngopi bersama orang Malang dan orang Batak yang tinggal di Sangata. (Dokpri/Boma)
Ngopi bersama orang Malang dan orang Batak yang tinggal di Sangata. (Dokpri/Boma)
Di kota ini, penulis dapat mengambil contoh dari pengalaman sendiri bahwa menerima perbedaan juga bukanlah hal yang mudah karena terkadang ada rasa untuk hanya berkumpul dengan yang sedaerah asal, seagama, sebudaya, bahkan sebahasa. Namun, jika hal itu yang dicari, maka tidak akan pernah selesai pencarian itu.


Mengapa demikian?
Karena yang seagama belum tentu sedaerah. Sedangkan yang sedaerah belum tentu seagama. Begitu pula dalam hal budaya. Meski sama-sama bersuku Jawa, namun budayanya bisa saja berbeda. Penulis yang berasal dari Karesidenan Kediri (plat AG) yang terbiasa "aku, awakmu, kowe, piye, peh, dan lainnya" akan susah langsung nyetel dengan "koen, umak, yaopo, cek, dan lainnya", padahal hanya terpisah tiga jam perjalanan darat. Bagaimana jika jaraknya lebih jauh? Pasti akan lebih berbeda bukan?

Ngopi lagi bersama orang Batak dan orang Sumbawa. (Dokpri/Sardo)
Ngopi lagi bersama orang Batak dan orang Sumbawa. (Dokpri/Sardo)
Belum lagi yang seagama juga belum tentu satu suku. Seperti saat bertemu dengan teman-teman asal Sunda, Betawi, Madura, Minang, Makassar, Sasak (Nusa Tenggara) dan lainnya. Sehingga meskipun seagama, cara berinteraksinya juga berbeda. Dari dialeknya dan kebiasaannya juga akan sedikit berbeda. Hal inilah yang membuat penulis memilih untuk tidak fokus pada upaya mencari persamaan.

Inilah yang sebenarnya perlu ditekankan pada pemikiran kita semua sebagai masyarakat Indonesia. Bahwa tidak ada yang benar-benar sama di antara kita. Meskipun Anda seagama dengan teman Anda, belum tentu gaya hidup Anda sama dengan teman Anda. Begitu pula dengan yang berbudaya sama, belum tentu memiliki agama yang sama.

Jadi, untuk apa hidup menjadi orang Indonesia jika kita tidak bisa menerima adanya perbedaan di antara kita?
Mari bergandeng tangan melalui pikiran kita bahwa Indonesia adalah milik semua yang terlahir dan cinta negeri ini! Selamat menantikan hari kemenangan Indonesia!

Tulungagung, 30 Mei 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun