Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Dosen

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Artikel Utama

Mudik, Rindu yang Harus Dituntaskan dan Budaya (Bukan) Pamer

15 April 2022   13:37 Diperbarui: 15 April 2022   19:47 1468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik, Rindu yang Harus Dituntaskan dan Budaya (Bukan) Pamer
Jalur alternatif untuk mudik di hutan jati Lamongan selatan. Dokpri

Dalam sebuah lagu dangdut yang cukup populer, Layang Sworo, terdapat lirik yang begitu menyentuh: layang sworo ra isa ngobati/rasa kangen marang sliramu, “suara lewat telepon/ tidak bisa mengobati rasa kangen kepada dirimu.” 

Lirik tersebut secara apik menjelaskan betapa bermacam sarana komunikasi canggih seperti telepon berteknologi android sekalipun tak mampu menuntaskan rindu kepada seseorang. 

Kalau belum berjumpa secara langsung, belum terpuaskan dahaga rindu. Mengapa demikian? Karena dalam perjumpaan terdapat atmosfer dan peristiwa yang mempertemukan dan menumpahkan semua kerinduan terhadap banyak peristiwa dan kenangan yang pernah berlangsung. 

RINDU YANG HARUS DITUNTASKAN

Begitupula tradisi mudik menjelang lebaran. Banyak warga yang tinggal di kota rela menempuh perjalanan yang begitu jauh disertai dengan bermacam permasalahan di tengah jalan hanya untuk berjumpa orang tua, keluarga, kerabat, dan teman di desa. 

Jauhnya jarak bukan menjadi halangan berarti bagi para pemudik, karena perjumpaan fisik secara langsung dengan keluarga menjadi keutamaan yang tidak bisa diukur lagi dengan bermacam materi. 

Apalagi, bagi mereka yang karena pandemi belum pernah mudik, pasti akan benar-benar berjuang, dalam kondisi apapun, untuk pulang ke desa.

Orang tua, kerabat, dan teman di tanah kelahiran/tanah leluhur merupakan faktor utama yang mendorong kita menjalani mudik. 

Peristiwa-peristiwa masa lalu, ketika kita mengenal dunia di usia kanak-kanak hingga kita memutuskan untuk meninggalkan desa, akan membeku sebagai ingatan yang terus dibawa kemanapun kita merantau dan berada, baik untuk kepentingan sekolah, pekerjaan, maupun rumah tangga. 

Bagaimana orang tua memperjuangkan dan membahagiakan kita sebagai anak serta bagaimana kita bermain dengan kerabat dan kawan-kawannya merupakan kenangan abadi yang akan selalu dirindukan kehadirannya. 

Begitupula kenakalan-kenakalan masa anak-anak dan remaja di desa dengan alamnya yang masih asri akan membentuk sedimen kerinduan mendalam ketika kita berada jauh dari tanah kelahiran.

Ingatan dan kerinduan itulah yang menjadikan kita rela menjalani perjalanan panjang nan melelahkan. Semua itu luruh ketika kita bisa sungkem, bersimpuh di hadapan kedua orang tua dan meminta maaf kepada mereka secara langsung dalam momen sakral Idulfitri. Tidak hanya berhenti di situ, bisa berbicara dan bercanda dengan keluarga di desa menjadi kemewahan yang tidak bisa dinilai dengan apapun. 

Menatap betapa bahagianya orang tua bermain dan bercanda dengan cucu memunculkan kebahagian yang akan selalu dikenang. 

Demikian pula bisa menikmati sedapnya masakan ibu menghadirkan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri. Menjadi wajar ketika kita selalu menanti dan menikmati saat-saat mudik demi menuntaskan kerinduan akan kehidupan yang begitu indah.

BUDAYA YANG MENYERTAI MUDIK: BUKAN PAMER

Saya memahami budaya sebagai nilai dan praktik yang dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahaman lentur tersebut memungkinkan kita untuk menemukan beragam budaya dalam kehidupan, bukan hanya sebatas kesenian dan ritual. Demikian pula dalam mudik, sejatinya kita bisa menemukan beragam budaya. 

Bertemu dengan orang tua dan kerabat merupakan upaya untuk terus menghidupkan cinta dalam balutan silaturahmi sebagai pengamalan ajaran agama. 

Adakah yang lebih mulia dari terus mencintai sepenuh hati kepada orang-orang yang membesarkan dan membahagiakan kita sebagai manusia? Hebatnya lagi, orang tua sejatinya tidak pernah meminta imbalan materi sebagai wujud cinta anak-anak kepada mereka. 

Menemani makan cucu yang mudik. Dokpri
Menemani makan cucu yang mudik. Dokpri
Bagi orang tua, sangat tidak pantas meminta sejumlah uang atau meminta barang tertentu kepada anak-anak mereka. Bukan materi yang bisa membahagiakan orang tua, tetapi kehadiran kita sebagai anak. Dan, bagi yang sudah berkeluarga, kehadiran menantu dan, kalau sudah ada, cucu. Meskipun akan menambah pekerjaan mereka di rumah, cucu selalu menciptakan suasana batin yang gembira. Itulah obat mujarab bagi semua capek dan, mungkin, rasa sakit yang dialami orang tua.

Bagi kakek dan nenek, mengetahui cucu yang akan meneruskan nama keluarga tumbuh sehat merupakan anugerah yang luar biasa. 

Wajar kiranya kalau mereka terkadang marah kepada anak-anaknya yang dianggap terlalu keras kepada cucu mereka. Itu semua merupakan wujud cinta dan kasih mereka terhadap penerus keluarga.

Demikian pula pertemuan dengan saudara dan keponakan serta kerabat bisa mempererat ikatan persaudaraan. Dalam ideal masyarakat Jawa, hubungan dengan keluarga besar dan kerabat tidak baik kalau sampai "kepaten obor". Maksud ungkapan tersebut adalah terputusnya ikatan persaudaraan dan kekerabatan karena sudah tidak pernah terjadinya komunikasi dan silaturahmi. 

Kepaten obor banyak terjadi ketika orang tua yang memiliki ikatan kerabat dengan keluarga yang lain sudah meninggal dan anak-anak mereka sudah tidak saling mengenal sehingga tidak ada lagi silaturahmi. Biasanya ini terjadi dengan kerabat yang berasal dari kakek dan nenek. Apalagi jumlah kerabatnya banyak, sulit bagi generasi muda untuk menjalin silaturahmi karena mereka juga tidak pernah kenal sebelumnya. 

Bersama cucu membenahi meja belajar. Dokpri
Bersama cucu membenahi meja belajar. Dokpri
Maka, orang tua, selagi mereka masih hidup, akan berusaha mengajak anak dan cucunya untuk bersilaturahmi ke keluarga besar dan kerabat yang rumahnya berada di desa-desa lain. 

Ketika kita datang ke rumah kerabat di desa-desa lain, mereka sangat senang, bahagia, dan terharu. Itu terjadi karena masih ada upaya untuk membangun silaturahmi, meskipun hanya setahun sekali. Dengan silaturahmi itulah, orang tua memperkenalkan-kembali anak-anak, karena bisa jadi para kerabat itu sudah lupa. 

Bagi mereka yang memiliki keluarga besar dan kerabat cukup banyak, biasanya akan menyelenggarakan temu keluarga setiap kali lebaran. 

Dalam temu keluarga itulah akan muncul banyak perbincangan tentang keluarga masing-masing, dari urusan sekolah anak, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. 

Mobil dan sepeda motor dengan plat nomor kota A, B, C dan yang lain berjajar. Apakah itu bisa dianggap pamer? Sah-sah saja ada yang beranggapan demikian. Tidak mungkin kita bisa menyeragamkan pendapat.

Namun, kalau kita baca dalam perspektif lain, seringkali kehadiran mobil dianggap sebagai tanda keberhasilan dan kesuksesan. Hal itu sangat wajar karena mobil bagi warga desa merupakan barang mewah. Harga ratusan juta menjadi ukuran kemewahan. Maka, ketika ada kerabat yang bisa membeli mobil dan dibawa pulang ketika mudik dianggap pekerjaannya sukses. 

Tentu, keberhasilan itu merupakan sesuatu yang membanggakan kerabat. Lebih dari itu, bisa menjadi semangat bagi kerabat lain, khususnya bagi mereka yang merintis karir/pekerjaan ataupun menempuh pendidikan. 

Dari peristiwa tersebut kita bisa melihat betapa tradisi mudik bagi keluarga dan kerabat bisa menjadi semangat untuk menjalani kehidupan secara optimis dan berusaha keras agar bisa mencapai keberhasilan. 

Selain budaya di atas, acara reuni/temu kangen SMP atau SMA tidak kalah serunya ketika mudik. Meskipun ada beberapa cerita tentang dampak negatif reuni, toh itu semua kembali kepada diri masing-masing. Reuni menjadi peristiwa kultural yang cukup membahagiakan.

Dari persiapan terkait kepanitiaan, iuran, tempat acara, hiburan, manakan, dan lain-lain sudah menghadirkan banyak perbincangan di grup WA. Keseruan di grup WA yang seringkali dilengkapi canda tentang kenangan masa lalu menjadikan reuni semakin dinanti. 

Peserta reuni SMP menyanyi bersama. Dok. Nuril H.
Peserta reuni SMP menyanyi bersama. Dok. Nuril H.

Untuk menyukseskan acara, kawan-kawan yang masih tinggal di desa biasanya diminta menjadi panitia untuk mempersiapkan segala keperluan reuni. Biaya ditanggung bersama melalui iuran yang besarannya tidak ditentukan alias sukarela. Meskipun ada yang memberikan uang dalam jumlah besar dibandingkan dengan yang lain, itu bukan dimaknai sebagai pamer, tetapi semata-mata untuk menyukseskan penyelenggaraan reuni.

Pada hari H reuni yang biasanya dilaksanakan beberapa hari setelah Sholat Ied, semua bergembira. Setahun sekali bisa berjumpa dengan kawan masa SMP/SMA tentu sangat luar biasa. 

Sembari menikmati beragam kuliner desa, percakapan dan canda mengalir, seperti membawa ke masa-masa remaja yang tidak mungkin bisa diulang, tetapi selalu bisa dikenang. Bukankah yang abadi hanya kenangan? Maka, momen reuni di tengah-tengah mudik menjadi acara yang membekukan kenangan tersebut. 

Berjoget bersama di panggung reuni. Dok. Nuril H.
Berjoget bersama di panggung reuni. Dok. Nuril H.

Suasana semakin ramai ketika penyanyi dangdut mulai beraksi diiringi mini orkes elekton. Ketika penyanyi meminta satu per satu peserta reuni, baik laki-laki maupun perempuan, menemaninya berjoget di atas panggung, semua pun larut dalam kegembiraan. 

Mereka pun berjoget sembari ikut menyanyi. Tidak lupa mereka pun menyiapkan uang saweran untuk penyanyi dan musisi. 

Tak peduli datang dengan membawa mobil pribadi, mobil rentalan ataupun sepeda motor, semua peserta reuni menemukan makna sebenarnya sebagai sahabat yang pernah sama-sama mengalami masa-masa indah di sekolah, dari belajar bersama, susah bersama, hingga cinta monyet. 

Suasana cair menjadikan aktivitas reuni mempertemukan semua ingatan dengan realitas masa kini. Meskipun terpisah jarak, keakraban masih menjadi warna dominan yang rasa-rasanya tak ingin segera diakhiri. 

Tidak jarang pula, ada peserta reuni yang bertanya tentang kemungkinan anak-anak mereka untuk sekolah SMA atau kuliah kepada sahabat yang menjadi guru ataupun dosen. Juga, banyak yang berdiskusi tentang kemungkinan pekerjaan informal di kota, seperti berjualan makanan dan minuman. Itu semua menunjukkan bahwa banyak aspek positif dari reuni yang diselenggarakan di tengah-tengah mudik.

MUDIK YANG SELALU DINANTI

Meskipun teknologi komunikasi seperti video call, Zoom, Google Meet, dan yang lain mampu mempertemukan anggota keluarga dan kerabat yang hidup berjauhan, bisa dipastikan sampai mudik masih dinantikan jutaan manusia Indonesia. Terlalu banyak peristiwa yang bisa berlangsung selama pulang ke desa. Bukan hanya permintaan maaf kepada orang tua dan kerabat, tetapi juga perjumpaan dengan kawan dari masa kecil dan remaja. Semua itu memberikan makna kultural yang mendalam. 

Dari uraian singkat di atas, setidaknya kita bisa menemukan beberapa makna kultural dari tradisi mudik. Pertama, mudik merupakan momen tahunan untuk terus memupuk cinta dan ikatan dengan orang tua dan kerabat di desa. 

Silaturahmi yang berlangsung merupakan medium untuk terus memperbarui ikatan sehingga relasi dengan orang tua dan kerabat akan terus menjadi energi yang menggerakkan banyak hal positif. 

Kedua, mudik bisa menjadi aktivitas untuk menebarkan inspirasi keberhasilan dan kesuksesan dalam hal pekerjaan ataupun pendidikan kepada kerabat dan kawan di desa. Meskipun kesuksesan seringkali dimaknai dengan mobil, tetapi makna sejatinya terletak pada bagaimana orang memandang kegigihan individu tertentu dalam bekerja sehingga mereka bisa membeli mobil. Kalaupun ada yang menyewa mobil rentalan, toh itu tidak akan ditanyakan oleh kerabat dan penyewa juga membutuhkan biaya. 

Mungkin suatu saat mereka memutuskan untuk menabung alih-alih merental mobil setahun sekali. Artinya, mobil rental tidak harus dipermasalahkan atau dimaknai negatif. Masing-masing individu memiliki proses dan perjuangan ekonomi yang tidak sama. 

Kemampuan untuk merental dan membeli mobil merupakan tahapan kehidupan dan perjuangan ekonomi yang wajar dilakoni oleh individu yang memang tidak memiliki warisan milyaran rupiah. 

Ketiga, pertemuan dengan sahabat ketika masa kecil dan remaja melalui temu kangen/reuni merupakan momen untuk membekukan kenangan masa lalu sekaligus memroduksi energi untuk solidaritas persahabatan. Energi tersebut menjadi modal kultural untuk terus peduli dan empati terhadap permasalahan yang dihadapi oleh sahabat dari masa kecil dan remaja. 

Mudik, dengan segala riuh dan perjuangannya, sejatinya merupakan tradisi baik untuk terus mengembangkan silaturahmi sebagai wujud hubungan antarmanusia (hablum minanas). 

Niatan yang baik untuk terus menjalankan ibadah sosial tersebut bisa menjadi kekuatan untuk terus menebar kebaikan sesama manusia dan mengurangi hal-hal negatif yang mungkin saja bisa terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Content Competition Selengkapnya

04 March 2025
SEDANG BERLANGSUNG
Cerita Kocak Pas Sahur
blog competition  ramadan bercerita 2025  ramadan bercerita 2025 hari 2 
05 March 2025
Puasa Jalan Terus, Produktivitas Jangan Tergerus
blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 3
06 March 2025

MYSTERY TOPIC

Mystery Topic 1
blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 4
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Cara Seru Nunggu Bedug di Ketemu Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun