Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Dosen

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Mata Air, Puasa, dan Kesadaran Ekologis

12 April 2023   00:08 Diperbarui: 12 April 2023   13:23 1629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mata Air, Puasa, dan Kesadaran Ekologis
Pancuran yang airnya berasal dari mata air di kawasan Jambuan, Jember. Dokumentasi penulis

Melampaui Konsep "Menahan Diri"

Puasa merupakan aktivitas keagamaan multidimensi berbasis konsep "menahan diri." Bukan hanya menahan diri dari hasrat untuk makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari banyak hal dalam kehidupan. Dengan konsep menahan diri itulah, puasa sejatinya merupakan ibadah yang semestinya bisa menjadikan kaum muslim terus belajar. 

Salah satunya adalah belajar tentang betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. Bisa dikatakan tidak akan ada aktivitas kehidupan ketika air sirna dari bumi ini. Tentu, ada maksud yang lebih mendalam kenapa Tuhan memerintahkan muslim untuk tidak minum air di siang hari selama bulan Ramadhan, bukan sekedar menahan diri dari kenikmatan duniawi dan ragawi yang dibawa air. 

Saya berpendapat perintah tersebut juga bisa dibaca sebagai peringatan dan pelajaran bagi kaum muslim agar lebih menghargai air dalam perilaku hidup mereka. Diakui atau tidak, selama ini manusia, termasuk umat muslim di dalamnya, kurang berhati-hati dalam mengkonsumsi air. Karena kita meyakini bahwa air tidak akan pernah habis dari bumi ini. 

Dari pemahaman tersebut, sejatinya Tuhan mengharapkan kita untuk belajar lebih lanjut apa yang harus dilakukan agar tidak terlalu berlebihan dalam mengkonsumsi air, juga agar lebih menghormati keberadaan dan nilai penting air bagi kehidupan. Dengan demikian, umat muslim tidak hanya bisa menggunakan air untuk memasak, mandi, beribadah, dan pertanian, tetapi juga melestarikannya. 

Bagi saya, selain memperbanyak amalan ibadah di bulan puasa ini, warga muslim juga bisa melakukan proses belajar langsung dari alam terkait bagaimana semestinya membangun kesadaran ekologis terkait posisi penting air dan gerakan untuk melestarikan air di bumi ini. 

Ngabuburit ke Mata Air

Ngabuburit, misalnya, bisa diisi dengan mengajak anak-anak kita atau komunitas anak-anak di kawasan tempat tinggal kita untuk mengunjungi mata air (sumber, bahasa Jawa). Selain akan menjadi pengalaman baru bagi anak-anak yang selama ini tidak atau belum tahu bagaimana bentuk mata air, kunjungan tersebut bisa juga menjadi momen rekreatif sekaligus membangun kesadaran ekologis. 

Anak-anak pasti senang karena bisa bermain di kawasan mata air sepuas hati. Mereka akan merasakan kesegaran dan kebugaran di tengah-tengah puasa. Sembari menemani mereka bermain air, kita bisa mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana dari mana air itu berasal. 

Bermain di air pancuran yang berasal dari mata air. Dokumentasi penulis
Bermain di air pancuran yang berasal dari mata air. Dokumentasi penulis
Bermacam rujukan bisa kita cari dari sumber online atau buku-buku terkait proses terjadinya mata air. Secara umum bisa dikatakan bahwa mata air terjadi ketika air permukaan yang berasal dari luar bumi meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah. 

Selanjutnya, air tanah mengalir melalui retakan atau celah di dalam tanah yang bisa berwujud celah kecil hingga gua bawah tanah. Air dalam tanah tersebut akan menyembur keluar dari bawah tanah menuju permukaan. Itulah yang disebut mata air. 

Dengan tuturan yang menarik, diharapkan anak-anak bisa belajar bagaimana proses terjadinya mata air dengan riang gembira, tidak merasa didikte. Apalagi tuturan tersebut disampaikan sembari mereka mandi atau bermain air yang begitu bening. 

Tidak lupa, kita bisa menyampaikan bermacam kegunaan air yang berasal dari mata air untuk kehidupan manusia, dari kebutuhan konsumsi hingga pertanian. Perlahan-lahan, anak-anak bisa kita ajak untuk menyadari betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. 

Mata air memberikan air gratis kepada manusia untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Maka, sudah sewajarnya kalau manusia, termasuk anak-anak, bersyukur atas pemberian Tuhan melalui alam yang luar biasa tersebut. Anak-anak bisa kita ajak berdiskusi bagaimana cara untuk menjaga  mata air dan air agar terus bermanfaat bagi kehidupan. 

Sungai kecil di kawasan Jambuan, Jember, yang airnya berasal dari mata air. Dokumentasi penulis
Sungai kecil di kawasan Jambuan, Jember, yang airnya berasal dari mata air. Dokumentasi penulis

Kita bisa menceritakan bagaimana peran penting pepohonan, termasuk rumpun bambu, untuk menyimpan air. Daerah yang memiliki banyak pepohonan besar biasanya berpotensi memiliki mata air yang lebih besar dibandingkan daerah yang memiliki sedikit pepohonan. 

Keberadaan pori-pori tanah yang disebabkan oleh banyaknya akar pohon akan memungkinkan airhujan terserap dan terikat ke dalam pori-pori tersebut. Di kawasan yang terdapat mata air biasanya jenis tanahnya memiliki pori-pori besar yang berasal dari akar pohon. Itulah mengapa di kawasan gurun sulit sekali ditemui mata air. 

Melalui tuturan tentang hubungan antara hujan, air tanah, pohon, dan mata air serta kontribusinya bagi kehidupan manusia, anak-anak sejak usia dini diharapkan memiliki kesadaran ekologis. Saya memaknai kesadaran ekologis sebagai pemikiran yang secara sadar menempatkan lingkungan alam dengan bermacam potensinya, termasuk air dan pepohonan, sebagai subjek yang harus dipelihara. 

Kesadaran ekologis ini akan menuntun manusia untuk terus melakukan tindakan-tindakan nyata dalam merawat dan melestarikan lingkungan alam karena mereka menyadari proses keberlanjutan dan pewarisan kepada generasi berikutnya yang juga berhak menikmati kekayaan alam Indonesia. 

Kalau anak-anak sejak awal kita kenalkan dengan konsep kesadaran ekologis dengan cara yang menyenangkan, seperti ngabuburit di mata air, mereka akan membawa terus kesadaran tersebut dalam tindakan sehari-hari, seperti kerelaan untuk menanam dan merawat pohon, membersihkan mata air, tidak membuang sampah di aliran selokan dan sungai, serta tindakan-tindakan lainnya. 

Tentu saja, ngabuburit ke mata air bisa dikembangkan dan dimodifikasi untuk para pelajar SMP, SMA, atau, bahkan, mahasiswa. Para pelajar SMP dan SMA, misalnya, bisa diajak memanfaatkan kegiatan Pondok Ramadhan untuk mengunjungi mata air di kawasan mereka. Kalaupun tidak ada mata air, mereka bisa diajak mengunjungi sungai terdekat. 

Sementara, para mahasiswa, tidak hanya terbatas pada pecinta alam, bisa kita ajak untuk mengunjungi mata air untuk mendiskusikan cara-cara bijak untuk merawat dan melestarikannya, sesuai dengan sudut pandang mereka. Tentu, mereka memiliki beragam pandangan berdasarkan basis pengetahuan masing-masing.

Memberikan contoh-contoh tentang kerakusan pemodal besar yang merusak hutan hujan tropis demi mengeksploitasi sumber daya mineral dan membuka perkebunan sawit bisa menjadi bahan untuk diskusi kritis bagi para mahasiswa. Mereka perlu kita ajak untuk mengembangkan nalar kritis dalam menyikapi relasi antara eksploitasi pemodal besar dengan hancurnya hutan dan hilangnya mata air. 

Sesajen untuk ritual di mata air. Dokumentasi penulis
Sesajen untuk ritual di mata air. Dokumentasi penulis

Kepada para pelajar SMP dan SMA serta para mahasiswa kita juga bisa menjelaskan bahwa ritual-ritual yang dilakukan untuk merawat mata air bukanlah tindakan syirik. Alih-alih, ritual tersebut merupakan wujud syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rezeki berupa air, selain mengajak warga untuk selalu melestarikan lingkungan alam dan mata air.

Apa yang tidak kalah penting adalah kita bisa menantang aara mahasiswa untuk membuat tulisan, karya sastra, desain kaos, ataupun konten kreatif untuk mengkampanyekan kesadaran ekologis secara menarik. Tujuannya, mereka akan menjadi subjek yang secara aktif, kritis, dan kreatif terus mengajak publik membangun kesadaran ekologis.

Setidaknya, dengan ngabuburit ke mata air, kita bisa membiasakan anak-anak dan generasi penerus bahwa ibadah puasa yang diperintahkan Tuhan memiliki dimensi kompleks terkait dengan refleksi posisi manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, sesama makhluk, dan dengan lingkungan alam.

Ngabuburit bukan semata-mata menjadi momen untuk menunggu waktu berbuka puasa sembari jalan-jalan. Lebih dari itu, kita bisa memanfaatkan ngabuburit sebagai momen untuk menjalankan pedagogi ekologis sebagai alternatif yang berdampak bagi pemikiran dan tindakan generasi penerus untuk terlibat aktif dalam misi perawatan dan pelestarian lingkungan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun