Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.
Tak Mengapa Tak Ada Ketupat dan Opor, yang Penting Ada Kebersamaan
Setiap kali memutuskan untuk mudik saat lebaran. Itu artinya sudah siap untuk tidak makan ketupat dan opor di hari lebaran.
"Kok bisa?"
Nah, biasanyakan lebaran identik dengan ketupat dan opor. Namun tidak demikian dengan keluarga kami.
Tidak ada acara masak-memasak di rumah saya jika sudah merencanakan untuk mudik. Jadi hanya masak nasi dan ayam goreng untuk sarapan serta bekal perjalanan.
Begitu tiba di tujuan, kampung halaman ibu di Jawa Tengah. Atau di tempat saudara-saudara ibu di Lampung. Tak akan menjumpai ketupat atau opor juga.
"Loh!"
Sebab tradisi di kampung memang begitu. Masak ketupat dan opornya setelah lebaran ketujuh. Jadi satu Minggu setelah lebaran. Yang biasa disebut dengan lebaran ketupat.
Nah, saat itulah semua orang mulai merebus ketupat, memasak opor, semur dan lain-lain. Sedangkan saya lebaran kelima sudah kembali ke Jakarta.
Itu artinya tak akan menjumpai ketupat dan opor di kampung halaman. Meskipun sedang suasana lebaran.
"Jadi suguhannya apa dong?"
Tentu ada. Yaitu berupa nasi dan lauknya. Ketika saya datang sih diambilkan ikan gurame dari kolam. Kemudian digoreng dan dibuatkan lalapan.
Jadi suguhan yang disajikan berupa pecak gurame. Tak ada itu ketupat dan opor. Rendang atau semur.
Meski demikian tak mengurangi kegembiraan dalam merayakan lebaran. Apalagi bisa bertemu dan kumpul dengan sanak saudara yang jauh.
Tak mengapa tak ada ketupat dan opor. Yang penting ada kebersamaan. Itulah yang kami rasakan saat lebaran di kampung halaman. Bagaimana dengan teman-teman? (EP)