Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/
Kali Ini Aku Harus Benar-Benar Ikhlas
"Kali ini aku harus benar-benar Ikhlas." Kalimat itu yang senantiasa aku katakan kepada diriku sendiri. Sekadar menghibur diri, mencoba menguatkan diri agar tidak menangis lagi.
"Cukup, Sum. Tidak perlu ditangisi lagi. Sekarang kamu sudah aman. Iya, insyaalah jauh lebih aman bersamaku," ujar mas Herlan sesaat setelah kami menikah.
Aku memeluknya dengan erat. Menumpahkan tangisan di dadanya yang kuharap itu adalah tangisan terakhirku. Tangan Mas Herlan mengelus rambutku perlahan. Terus mencoba menenangkanku.
Dadaku bergejolak. Mengingat apa yang sudah terjadi sebelum pernikahan ini terjadi. Aku diusir dari rumahku sendiri, dituduh sebagai pencuri dan pembawa sial dalam keluargaku sendiri.
"Pergi dari sini!" hardik Mas Danu dengan suara yang menggelegar bak petir menyambar tepat di telingaku. Mendenging, sakit rasanya indra pendengaranku. Namun ada yang jauh lebih sakit dan hancur ketika seorang perempuan berbadan jenjang malah tertawa dengan puas melihat kejadian pengusiran sang nyonya rumah.
Kali itu padahal aku sedang mengandung, anak dari mas Danu suami yang sangat aku cintai selama ini. Berbulan-bulan aku terlantar, beruntung Yani sahabatku mau menampung dan memberiku tumpangan tenpat tinggal. Sayangnya, bayiku tidak bisa kuselamatkan. Aku mengalami keguguran karena stres berat memikirkan nasib diri dan larut dalam kekecewaan yang tiada ujung ya. Tidak percaya bahwa mas Danu bisa setega itu. Bersekingkuh dengan perempuan yang mentertawakanku saat itu.
"Aku harap kau tidak lagi mengingat semua kejadian itu, Sum. Mari kita mulai dari awal lagi. Kehidupanmu yang baru. Kehidupan pernikahan kita," ujar mas Herlan lagi. Aku mengangguk perlahan. Memejamkan mata dan bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menentang apa yang dikatakan lelaki yang menjadi suamiku kini.
Dan hari ini. Ramadan pertama kami. Tidak henti-hentinya aku bersyukur, karena sejak saat itu hari-hariku menjadi banyak berubah. Meskipun hati ini ini masih saja dihinggapi perasaan aneh yang entah kenapa itu membuat senyumku tidak benar-benar lepas. Pikiranku belum benar-benar netral, hati dan jiwaku belum benar-benar tenang.
Setiap hari pula aku menyaksikan usaha keras mas Herlan dalam mebuat hari-hariku lebih betwarna. Melihatnya kerja keras demi aku. Melihatnya datang dengan senyuman terbaik di balik pintu saat pulang kerja petang hari, membawakanku oleh-oleh. Entah itu makanan kesukaanku atau lauk pauk untuk kami makan bersama.
Hhh, rasanya terlalu jahat jika aku masih saja memelihara rasa sakiy yang masih menenpel sebagai efek dari masa laluku. Kini waktunya aku mengikhlaskan semua. Mensyukuri apa yang aku miliki kini. Karena sejatinya bersyukur adalah menerima dengan ikhlas apa yah diberikan Tuhan dan menerima dengan lapang dada apa yanh menjadi takdir kita. Aku yakin semua yang terjadi adalah scenario terbaik yang telah digariskan Tuhan untukku. Ya, pasti tidak akan ada tang sia-sia dengan apa yang terjdi selama ini selalu ada hikmah di balik semua kejadian.
Terdengar suara motor mas Herlan masuk teras rumah. Aku beranjak, merapikan rambut dan bercermin memantaskan diri; suami pulang.
Seperti biasa, mas Herlan tersenyum manis sesaat setelah aku membukakan pintu untuknya. Menyapaku, mengecup kening, lalu memberikan pujian kecil pada beberapa hal.
"Hai, istrinya mas cantik banget pakai baju itu," katanya.
Aku tahu, itu mungkin hanya sebatas untuk membuatku senang. Namun entah kenapa, aku merasa bahwa mas Herlan begitu tulus melakukan itu.
"Mas...," aku memanggilnya. Kalimatku terputus, tidak selesai.
"Iya...? Kenapa?" tanya suamiku, sambil sibuk membuka helem dan meletakkannya di tempat biasa. Sebuah rak yang berada di sudut ruangan.
"He he. Selesaikan saja dulu. Nanti aku lanjutkan," jawabku dengan nada manja.
Mas Herlan mengangguk setuju. Bersemangat merapikan diri, lantas pamit membersihkan diri setelah sebelumnya meneguk air di gelas yang selalu kusiapkan setiap kali mas Herlan pulang kerja.
"Mau bilang apa?" tanyannya. Wangi tubuhnya tercium wangi, selesai mandi.
Aku mendekatinya. Lalu berhambut memeluknya erat. Aku kembali menangis sesenggukan. Namun kali ini tangisanku bukan tangisan kesedihan melainkan tangisan yang penuh dengan ungkapan rasa syukur karena sudah memiliki dan dimiliki seorang lelaki sesayang dan sabaik mas Herlan. Meskipun sambil sesenggukan, di tengah isak tangis akhirnya aku bisa menyampaikan deretan kalimat yang sangat ingin aku sampaikan.
"Mas paham. Terima kasih sudah bicara. Mas pun benar-benar bersyukur karena telah menjadi bagian dari hidupmu, Sum. Kamu pun tentunya merupakan hadiah dari Allah yang sangat pantas mas syukuri karena kehdiranmu, hidup mas lebih teratur, lebih baik, lebih menyenangkan tentunya," katanya. Tangannya mencubit pipiku demgan lembut.
Hatiku terhenyak mendapatkan perlakuan itu. Rasanya aku baru saja merasakan jatuh cinta yang begitu dalam kepada suamiku sendiri. Lalu aku memeluknya lebih erat lagi.
"Jangan terlalu erat, mas sesak ini!" ujar mas Herlan disusul tawa yanh begitu renyah.
"Mumpung bisa meluk lama, besok sudah mulai puasa!" jawabku dengan pipi yang terasa merah.
Ak
u bersyukur, dan insyaalah tidak akan pernah berhenti bersyukur. Diam-diam aku membisikkan doa. Semoga Ramadan ini adalah Ramadan yang penuh berkah dan menjadikan keluarga kami semakin bahagia, sakinah, mawadah warahmah.
Aku bersyukur, dan aku sudah mengikhlaskan semuanya ya, Allah...