Dizzman
Dizzman Freelancer

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

[Humor] Jumatan di Gua Maria

12 Mei 2020   22:47 Diperbarui: 13 Mei 2020   20:49 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Humor] Jumatan di Gua Maria
Papan Petunjuk Gua Maria (Sumber: dokpri)

Ini kenangan 9 tahun lalu ketika pertama kali bertugas ke NTT menjelajah Pulau Timor dari Kupang ke Kefa hingga batas Wini. Kebetulan saat itu pas bulan puasa di bulan Agustus pula, jadi cuaca sedang panas-panasnya. Apalagi panasnya Pulau Timor jauh berbeda dengan Jakarta.

Di sini panasnya terik sekali membuat kerongkongan cepat kering. Suhu di sana rata-rata di atas 34 derajat, bahkan pernah hingga 38 derajat celcius dan sudah beberapa bulan tidak turun hujan.

Berpuasa di Pulau Timor sungguh istimewa karena saya berada di lingkungan orang-orang yang hampir semuanya tidak berpuasa. Masjid dan mushola hanya ada di kota seperti Kupang, Soe, dan Kefa, serta beberapa kota kecamatan saja.

Sementara saat blusukan ke desa-desa seperti Susulaku, Napan, Oelbinose, dan desa-desa lainnya saya tak menemukan satu mushola atau masjid di kampung. Untunglah saya selalu bawa sajadah kecil, jadi bisa menumpang shalat di rumah penduduk.

Namun hebatnya, di sini toleransi sangat dijunjung tinggi. Mereka, rekan-rekan kerja saya di sana sangat menghormati orang yang sedang berpuasa.

Saat hendak makan, mereka minta izin dulu untuk makan, dan makannyapun agak menjauh dari kita. Begitu pula ketika sedang dalam perjalanan justru mereka pula yang mengingatkan untuk berhenti sholat saat bertamu ke rumah penduduk.

Saat itu hari Jumat ketika saya sedang blusukan di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Utara. Kebetulan waktu shalat telah masuk tapi kota terdekat Kefamenanu masih sekitar 30 menit perjalanan lagi.

Saya mulai cemas karena di sepanjang jalan tak mendengar suara azan apalagi menemukan masjid. Rasanya tak mungkin mengejar sholat Jumat di Kefa karena kondisi jalan juga tidak terlalu mulus walau masih bisa dilalui dengan kecepatan 60 km per jam.

Dalam perjalanan menuju Kefa mata saya tertumbuk pada papan petunjuk bertuliskan Gua Sta. Maria Bitauni. 

"Berhenti pak di depan situ," pinta saya kepada pak supir. 

"Ada apa pak?" tanya rekan lokal yang mendampingi saya yang duduk di sebelah supir, sebut saja Frans (bukan nama sebenarnya). 

"Kalian lapar kan?" saya balik tanya. 

Kebetulan tadi pagi mereka beli nasi bungkus dulu untuk bekal di jalan karena sulitnya mencari warung di kampung. Mereka kadang agak sungkan kalau mau minta izin makan karena saya sedang berpuasa.

"Iya pak," jawab Frans. 

"Ya sudah kalian makan, saya mau jalan-jalan dulu." Sayapun bergegas masuk ke dalam area yang tampak seperti pertapaan tersebut.

"Lho bapak mau jumatan dimana?" tanya mereka penasaran.

"Lha ini hari Jumat ya? Saya cuma mau lihat gua, bukan mau jumatan," saya pura-pura tidak tahu dan kamipun tertawa lebar.

* * * *

Malamnya, saya dijamu Frans untuk makan malam bersama di rumahnya bersama rekan kerja lainnya, sekalian berbuka puasa. Lalu kamipun duduk di meja makan yang telah terhidang aneka makanan, ada ayam, ada sei (sejenis daging asap), ada lalapan dan capcay. Karena penasaran saya ambil sei yang baunya menggoda selera.

"Yakin pak, mau coba yang itu. Enak sih, tapi ......."

"Kenapa?" Kutatap muka Frans yang tampak tersenyum simpul.

"Itu daging B2 pak hehehe" 

Astaga, hampir saja saya salah ambil. Untung ada ayam jadi saya makan dengan ayam saja.

Di sudut meja makan juga tampak botol aqua namun warnanya agak keputihan. Lagi-lagi penasaran, tapi kali ini saya tanya dulu.

"Itu minuman apa ya?"

"Ooh, itu sopi pak."

"Enak ga?"

"Woh enak sekali pak, apalagi orang sini doyan banget."

"Boleh dong dicoba?" saya makin penasaran.

"Ya boleh pak, cocok buat menghangatkan perut," Frans pun tertawa bersama rekan lainnya..

"Aih kaka ini bisa aja." saya paham maksudnya dan terpaksa niat minum diurungkan. 

Akhirnya saya minta dibuatkan teh panas saja untuk menghangatkan perut yang masih kosong. Sambil menunggu saya tenggak segelas aqua gelas yang juga tersaji di meja makan untuk berbuka. Sayup-sayup terdengar suara azan dari masjid raya Kefa yang terletak tak jauh dari rumahnya.

Hampir saja saya terjebak kenikmatan surga saat berbuka puasa. Namun saya salut dengan rasa toleransi yang tinggi, mereka selalu mengingatkan bahwa menu ini tak boleh dimakan atau diminum walau setengah menggoda. 

Itulah sekelumit nostalgia kocak saat menjalani ibadah puasa di tengah orang yang sebagian besar tidak berpuasa..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun