Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tempus Fugit

8 April 2022   09:58 Diperbarui: 8 April 2022   10:04 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya (i)bna Adam, innama anta ayyam, dhahaba yaumun dhahaba ba'dhuka

"Wahai anak Adam, kamu tidak lebih dari serangkaian hari. Kapanpun satu hari berlalu, maka begitu pun sebagian dari kamu telah berlalu." (Imam Hasan al-Bashri)

Hari keenam Ramadan 1443 H bertepatan dengan hari Jum'at. Jum'at adalah hari keenam. Hal ini terjadi karena hari pertama Ramadan jatuh di hari Ahad (lebih populer dengan sebutan Minggu) yang merupakan hari pertama dalam hitungan hari dalam seminggu. Koinsidensi ini secara tepat akan bertahan sampai Sabtu besok, yang merupakan hari ketujuh. Setelah itu, semuanya berakhir. Jumlah bilangan hari dalam seminggu hanya ada tujuh sementara jumlah hari dalam satu bulan Qamariyah ada 29-30 hari.

Sekelumit tentang Hari Jum'at

Secara angka Arab, Ahad (Minggu) artinya satu kemudian Itsnain (Senin) untuk hari yang kedua. Lalu berturut-turut: Tsulatsa (Selasa) adalah tiga, Arbi'a (Rabu) adalah empat, Khamis (Kamis) adalah lima dan Sabt (Sabtu) adalah tujuh. Lalu bagaimana dengan hari yang keenam?

Sebelum menjawab itu, kita sedikit kembangkan paragraf dua di atas. Nama-nama hari yang kita kenal sekarang: Ahad, Senin, Selasa dan seterusnya merupakan nama hari yang dihasilkan oleh peradaban Islam. Orang Arab pra-Islam menyebut hari-hari mereka sebagai berikut: Awwal (Ahad), Ahwan (Senin), Jubar (Selasa), Dubar (Rabu), Mu'nis (Kamis), 'Arubah (Jumat) dan Syiyar (Sabtu). Bahkan jauh sebelum itu, nama hari dilihat atau dihitung dari pertiga hari dalam sebulan, seperti tanggal 1-3 disebut dengan Gharar, Samar (4-6), Zahar (7-9), Darar (10-12), Qomar (13-15), Dara' (16-18), Dholam (19-21), Tsalatsu Anadis (22-24), Tsalatsu Dawari (25-27), dan Tsalatsu Muhaq (28-30).

Baik, sekarang kita kembali kepada pertanyaan bagaimana dengan hari yang keenam?

Hari yang keenam disebut Jumu'ah. Secara urutan logis angka, memang kita dengan mudah menebaknya sebagai Sitt yang atinya enam. Namun, atas beberapa pertimbangan hikmah, Islam menamai hari keenamnya sebagai Jumu'ah. Salah satu hikmah terbesarnya bisa kita temukan dalam riwayat Muslim:

"Allah meluputkan orang-orang sebelum kita dari hari Jumat, maka bagi orang-orang Yahudi hari Sabtu, dan bagi orang-orang Nasrani hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita dan menunjuki kita kepada hari Jumat, dan Allah menjadikan hari Jumat, hari Sabtu, dan hari Ahad (berurutan). Demikian pula kelak di hari kiamat, mereka mengikut kepada kita. Kita adalah orang-orang yang terakhir dari kalangan penduduk dunia, tetapi yang paling pertama mendapat peradilan-Nya di antara sesamanya kelak di hari kiamat sebelum semua makhluk." (Hadits Muslim Nomor 1415)

Hari Jum'at adalah Hari Raya umat Islam. Ia juga disebut sebagai Sayyidul Ayyam (Penghulu Hari-Hari). Di dalamnya kaum muslimin berkumpul di masjid-masjid untuk menunaikan ibadah shalat Jum'at dan di sepanjang harinya terdapat keberkatan yang khas dan tidak dimiliki hari-hari lainnya. Ada khutbah yang diikuti dua rakat shalat yang menjadikannya berbeda dengan shalat Zhuhur di hari-hari lainnya. Ia juga berbeda dengan pelaksanaan dua Ied lainnya (Idulfitri dan Iduladha) yang mendahulukan shalat dua rakaat lalu disusul khutbah. Beberapa ulama menyebut hari Jum'at sebagai Ied terbesar, lalu disusul Iduladha dan Idulfitri.

Tempus Fugit

Tempus fugit. Waktu itu terbang. Rasanya baru beberapa saat saja kita menanti kapan tibanya awal Ramadan. Kini kita telah menjalaninya selama enam hari. Dan untuk menyadarkan kita akan betapa melenakannya hari-hari ini, saya kutipkan renungan Imam Hasan al-Bashri:

Ya (i)bna Adam, innama anta ayyam, dhahaba yaumun dhahaba ba'dhuka

"Wahai anak Adam, kamu tidak lebih dari serangkaian hari. Kapanpun satu hari berlalu, maka begitu pun sebagian dari kamu telah berlalu."

Ternyata, setidaknya, kita telah ditinggalkan oleh enam hari dari hari-hari milik kita sejauh Ramadan ini!

Jumlah kehilangan ini akan terus bertambah seiring terbenamnya matahari yang ironisnya kadang kita rayakan dengan beraneka ragam sajian dan camilan. Kegembiraan saat suara beduk bertalu menandai tibanya saat berbuka seolah paralel dengan degup jantung terakhir kita saat tersibaknya tirai kematian.

Saya harus merehatkan sejenak jemari ini atas sensasi yang diciptakan oleh paragraf di atas.

Rekonsiliasi Kesedihan dan Kegembiraan Hati

Lalu bagaimana halnya dengan kegembiraan saat berbuka sebagai hiburan dari Tuhan atas hamba-hamba-Nya yang berpuasa?

Tidak ada yang salah sama sekali dengan kegembiraan saat berbuka. Itu adalah fitrah. Ifthar (berbuka) adalah simbol kembalinya kita kepada fitrah kemanusiaan setelah sepanjang pagi hingga petang kita memasuki alam 'Ketuhanan'. Bayangkan bila tanpa ifthar kita akan tersesat dalam labirin 'Ketuhanan' yang menjadikan kita mabuk dan lupa untuk pulang seperti halnya Al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar. Itulah makna sejati dari kegembiraan saat berbuka.

Berkenaan dengan kesedihan atas berkurangnya hari-hari kita sebagaimana dinasihatkan oleh al-Bashri tentu bukan kesedihan atas enggannya kita bersua dengan Sang Khaliq. Al-Bashri menyadarkan kita untuk selalu memperhatikan dengan saksama perbekalan kita selama menempuh perjalanan pulang ke alam keabadian. Saat bersua dengan Sang Kekasih betapa malangnya kita bila bertangan hampa atau bahkan berbuah tangan keburukan. Inilah makna sejati dari kesedihan saat berlalunya hari. Seorang pecinta sejati hanya merasakan bahagia atas kesenangan Kekasihnya. Adalah dusta bila tidak demikian adanya.

Ied (Hari Raya) Nama Lain dari Rekonsiliasi

Hari ini adalah Jum'at. Jum'at pertama untuk Ramadan tahun ini. Sejak Jum'at adalah Hari Raya Terbesar umat Islam maka sungguh tidak layak untuk bersedih di dalamnya. Sebab, ternyata air mata adakalanya tidak mewakili kesedihan. Kita juga menangis saat kita bahagia. Pun demikian dengan kebahagiaan. Seringkali kita merasa begitu tidak layak atas kebahagiaan yang kita rasakan yang untuk itu air mata pun berderai sebagai saksi atas ketidaklayakan itu. 

Hanya atas ihsan Allah Ta'ala semata segala kebaikan dan kebahagiaan yang kita rasakan ada. Dialah Sang Maha Kekasih yang dari-Nya kita belajar mencinta.

Selamat Hari Raya Jum'at!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun