Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Perpisahan dalam Perspektif Rumiyah

17 April 2022   13:32 Diperbarui: 17 April 2022   14:04 3161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpisahan hanyalah bagi mereka yang menyinta dengan mata.

Tiadalah itu semua bila dengan hati dan jiwa mereka menyinta.

(Rumi, 1207-1273)

Adalah Jalaluddin Rumi yang memuisikan kata-kata itu. Saya hanya coba merima ulang dan menyanjakkannya kembali. Ibarat memuisikan sebuah puisi. Bait ini saya sadur dari terjemah syair Rumi yang dicuitkan akun Twitter @Ruminstitute tahun 2018 lalu. Redaksi terjemah aslinya berbunyi:

"Ucapan selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata mereka.

Karena bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tak kan ada yang namanya perpisahan!"

 Tanpa Air Mata

Sabtu kemarin, saya diminta untuk memandu acara Pelepasan Kelas XII di sekolah di mana saya selama 22 tahun ini mengajar. Saya selalu merasa canggung untuk berada dalam situasi dengan atmosfer seperti itu. Alwahidians, begitu saya bisa memanggil siswa dan alumni SMA Al-Wahid, barangkali sudah sangat akrab dengan sikap saya terhadap acara pelepasan atau perpisahan. "Saya tidak percaya dengan kata perpisahan," ujar saya di berbagai kesempatan.

Kita tentu tidak bisa menafikan adanya bentuk akhir dari sebuah kebersamaan. Segala sesuatu di dunia ini berubah. Tidak ada yang abadi kecuali Sang Maha Keabadiaan itu Sendiri. Akan tetapi yang saya tekankan kepada Alwahidians adalah alih-alih kita fokus pada momentum berakhirnya kebersamaan, seyogianya kita fokus pada pemaknaan kebersamaan itu sendiri. "Kita ini tidak untuk berpisah. Hanya berganti format dan dimensi kebersamaan saja," demikian lebih kurang pesan saya kepada Alia Farhat, Ketua OSIS Al-Wahid saat dimintai pendapat tentang acara tersebut sehari sebelumnya.  

Pagi ini, di WAG mata pelajaran yang saya ampu, saya ulang pernyataan tadi. "Saya tidak melihat derai air mata saat pelepasan kemarin. Tidak ada isak-tangis. Kita sepakat untuk tidak pernah berpisah. Hanya berganti kebersamaan saja. Kita tidak untuk terpisahkan. Kebersamaan ini kita sebut being Alwahidians (menjadi Alwahidians)."

Sebagian ada yang merespon dengan ucapan terima kasih. Sebagian lainnya menjawab lebih lebar dari yang pertama. Dan sebagiannya lagi memilih untuk membaca tanpa berkomentar. Sebagian besar dari mereka masih bertahan di WAG tersebut untuk sejenak bersama secara maya dengan guru mereka yang selalu menggoda dan mencandai mereka lewat tanya ataupun cerita. 

Memaknai Wejangan Rumi

Benarlah yang dipuisikan oleh Rumi bahwa ucapan selamat tinggal itu hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata mereka. Sementara bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tidak akan ada yang disebut dengan perpisahan.

Mata memiliki keterbatasan dalam penglihatannya. Ia sering kali bahkan tertipu dalam penglihatannya. Fatamorgana, rel kereta api yang menciut di kejauhan atau dasar kolam yang jernih nampak lebih dangkal dari yang sebenarnya merupakan tiga dari keterbatasan mata dalam penglihatannya. Tapi hal ini tidak mudah juga untuk kita sadari. Isaac Asimov dengan tandas menyatakan bahwa butuh waktu ribuan tahun bagi kita untuk mempercayai bahwa mata kita tidak bisa dipercaya. Betapa malangnya kita bila hanya bersandar pada keterbatasan ini.

Rumi menasehati kita untuk melihat dengan hati. Hati pun memiliki penglihatan berupa kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Bahkan jantung hati memiliki mata yang disebut mata hati. Inilah pusat kesadaran manusia yang bisa melihat apa yang bahkan mata tidak bisa menampaknya. Nama lain pusat kesadaran adalah nafs (jiwa). Melalui penglihatan mata hati inilah perpisahan menjadi tiada. Sebagaimana kematian adalah pintu masuk kepada kehidupan baru. Itulah yang menjadikan saat maut menjemput, berdasarkan keterangan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw berucap lirih, "Wa alhiqnii bir-rafiiqil a'laa." (Dan pertemukanlah aku dengan sahabat-sahabat yang mulia). Perpisahan yang secara kasat terjadi dengan mangkatnya beliau ternyata bermakna persuaan beliau dengan para sahabat mulai di kehidupan lain. Dan berkenaan dengan mereka yang ditinggalkan, bukankah mereka juga akan sama mengalami kematian yang melalui pintunya pertemuan juga akan terjadi?

 

Membumikan Puisi Langitan Rumi

Saya ingin sedikit memoles profanitas acara pelepasan kemarin dengan nilai-nilai sufistik Rumi.

Secara lahiriah, detik-detik pelepasan status kesiswaan Alwahidians menjadikan status siswa berganti menjadi alumni. Hubungan formal guru dan murid dalam bingkai SMA telah berakhir. Tidak akan ada lagi tatap muka di kelas dalam balutan seragama putih abu. Suara bel sekolah tidak lagi memanggil mereka untuk masuk kelas. Semua telah berakhir. Tapi itu sebatas pandangan mata belaka dalam perspektif Rumi. Bila cara pandangnya begitu, maka kita berpisah.

Lain halnya bila kita melihatnya dengan hati dan jiwa. Bingkai sekolah seharusnya fleksibel dan dinamis. Ia bisa melebar bahkan berganti dimensi dari awalnya terbatas dinding, lantai dan atap menjadi school of life (sekolah kehidupan) di mana setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Dalam bingkai hanya hati dan jiwa yang mampu melihat di mana kita akan belajar dan kepada siapa kita akan berguru. Dalam bingkai inilah kita akan terus bersama sebagai teman belajar dan saling berguru. Lalu di mana kini ruang tersisa untuk berpisah? Tidak ada, sebab setiap ruang akan menjadi ruang pertemuan.  

Isyarat Sang Purnama

Ramadan memasuki pertengahannya tadi malam. Bulan di langit Wanasigra membulat sempurna dalam purnama. Badr adalah purnama dalam bahasa Arab. Huruf penyusun kata badr terdiri dari ba, dal dan ra yang bila ditulis secara konsonantal adalah B-D-R. Komposisi tiga huruf ini sangat akrab dalam dunia persekolahan di era disrupsi pandemi ini. Ya, Belajar dari Rumah (BDR).

Saya melihat ini lebih kepada mendeduksi sebuah hikmah alih-alih cocokologi. Purnama seakan memberi isyarat melalui dirinya agar kita terus belajar dari dan di rumah kita, Bumi. Belajarlah di mana pun dan dari siapa pun. Acara pelepasan kita tidak ubahnya melepaskan sekat-sekat ruang agar kita bisa bisa menikmati kebersamaan dalam lingkup yang lebih luas lagi. Kembali saya tuliskan larik-larik Rumi sebagai penutup tulisan:

Perpisahan hanyalah bagi mereka yang menyinta dengan mata.

Tiadalah itu semua bila dengan hati dan jiwa mereka menyinta.

Sampai jumpa lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun