Lalu Lintas
Lagu Mahandini juga berhubungan dengan perjalan. Meski tentu saja tidak ada siratan kemacetan di dalamnya. Sebuah perjalan dengan dimensi yang berbeda. Seperti halnya Lalu Lintas, nada-nada kromatik Mahandini membawa kita melayang, tidak lagi menapaki tanah layaknya Nandini yang diceritakan terbang alih-alih berjalan. Saya membayangan para darwish berputar dari tarian sufi mereka saat mendengarkan lagu ini. Lalu di satu lintasan pikir, teringat akan fenomena tunggangan Nabi Muhammad saw yang bernama Buraq saat beliau menempuh perjalanan ruhani Isra dan Mikraj. Saya memaknai keduanya secara metaforis. Bukan tunggangan biasa.
Persentuhan Pemeluk Dua Agama
Kelindan dan persentuhan dua iman antara Islam dan Hindu saya suguhkan dalam dua format. Bila Muhammad Ali melalui tulisannya mewakili dimensi teologis, maka Dewa Budjana melakukannya via dimensi musikal. Untuk kelindan secara musikal ini---dan khususnya sekaitan dengan bulan Ramadan---kita akan kembali mundur ke 17 tahun lalu.
Adalah sekitar tahun 1991an, melalui radio dan televisi Bimbo mempopulerkan lagu Lailatul Qadar. Lagu dan liriknya sendiri ditulis oleh sastrawan Taufiq Ismail dengan aransemen oleh Wandi Kuswandi. Lalu pada tahun 2005, Gigi merilis album religi yang di dalamnya mendaur ulang lagu Lailatul Qadar tersebut dalam genre musik rock. Sungguh mengagumkan bagaimana totalitas musikal seorang Dewa Budjana. Ia dengan profesional menggarap lagu-lagu nuansa Islami. Dan menganggapnya murni sebagai karya seni. Sama halnya dengan Muhammad Ali, Dewa Budjana melakukannya dengan penuh simpatik.
Lalu Lintas dalam Perspektif Pedesaan
Warga pedesaan pun tentu melakukan perjalanan yang dengannya ada sebentuk lalu lintas. Hanya saja dengan jumlah warga yang berimbang secara rasional dengan bentangan kawasannya, maka kemacetan nyaris merupakan hal yang tak mungkin terjadi dalam keseharian pedesaan. Hal yang berkebalikan dengan perkotaan. Gelombang urbanisasi sebagai akibat dari pesona dan gemerlap kehidupan kota dari waktu ke waktu mengikis batas ideal rasio jumlah penghuni dengan hunian, warga dengan luas wilayah. Kepadatan meningkat. Kemacetan jadi niscaya.
Kelengangan jalan, keheningan suasana dan ketegangan yang selalu direlaksasi oleh keramahan alam menjadikan orang-orang pedesaan, seperti saya, sangat tersiksa dengan segala yang bersifat kebalikannya. Warga kota juga pada dasarnya sama. Hanya saja mereka terpaksa harus kuat dan terbiasa. Sementara orang pedesaan tidaklah demikian. Mereka punya pilihan untuk menghindarinya.
Namun, akankah semua ini---perbedaan kota dan desa---akan bertahan lama? Nampaknya tidak.
Perkembangan zaman telah menimbulkan abrasi batas kota dan desa. Teknologi informasi menghilangkan sekat isolasi---yang adakalanya tidak semua yang bersifat isolatif bersifat buruk. Mentalitas dan karakter menghilang terkikis laju zaman. Desa dalam arti pedesaan, ke depannya akan menciut menjadi sebuah kawasan yang layaknya sebuah area konservasi. Suaka nilai dan kearifan yang akan berhadapan dengan citra kota yang riuh rendah namun penuh kesepian di dalamnya.
Mudik dan Pesta Semu di Pedesaan
Suasana pedesaan dalam beberapa hari ke depan jelang Lebaran berupa menjadi gegap oleh suasana kota. Lalu lintas memadat ke arah perkampungan. Rumah-rumah yang biasanya ramah bersahaja berubah menjadi galeri pameran imaji kota. Warga pedesaan pun mencicipi kemacetan siklus tahunan. Tentu tidak jadi masalah. Toh dikeluhkan pun akan tetap terjadi.