Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Lalu Lintas

27 April 2022   16:20 Diperbarui: 27 April 2022   16:27 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I'm the worst person to be stuck with in a traffic jam.

Larry King (1933-2021)

Lalu Lintas

Saya tumbuh dan besar di kampung. Suasana pedesaan dengan segala suasana alamnya begitu lekat dalam kehidupan saya. Bila dihitung sampai kini, barangkali hanya seperlima dari perjalan hidup yang saya lewatkan di luar suasana pedesaan. Hidup dalam suasana pedesaan merupakan salah satu anugerah terbesar dalam hidup saya.

Siang ini saya putar sebuah komposisi instrumentalia bergenre jazz karya Dewa Budjana berjudul Lalu Lintas. Lagu ini diambil dari album Dawai in Paradise yang dirilis tahun 2011. Lalu Lintas, menurut saya, adalah lagu terbaik yang pernah ditulis Budjana. Lagu lainnya yang saya favoritkan karya Budjana adalah Mahandini dari album Mahandini (2018). Lalu Lintas merupakan komposisi yang rumit, sebuah kemerduan yang tak lazim. Lagu ini seolah menggambarkan ruwetnya lalu lintas di dalam keseharian kita. Meski demikian kita masih bisa menikmati melodi yang 'membumi' di antara nada-nada kromatik dan sisipan tempo yang mengejutkan. Khas kesemrawutan lalu lintas kita.

Kemacetan dan kepadatan lalu lintas merupakan siksaan bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Waktu terbuang, deru mesin dan bunyi klakson yang dipijit penuh ketidaksabaran membising. Tensi darah meninggi. Simpati dan empati meluruh di aspal jalan atau semua berkejaran dalam bising, kalau meminjam kata-kata Ian Antono di lagu Balada Sejuta Wajah. Sebagai orang kampung, kata-kata Larry King tentang kemacetan sangat terasa mewakili: "Saya adalah orang yang sangat payah kalau sudah terjebak dalam kemacetan lalu lintas."  

Mahandini

Lagu kedua favorit kedua dari Budjana adalah Mahandini. Berkenaan dengan makna Mahandini ia menjelaskan bahwa itu merupakan sebuah permainan kata. Ia mengambilnya dari kata Maha dan Nandini. Hal itu dimaksudkan untuk menggambarkan perjalanan album tersebut sesuai dengan makna kata Mahandini. Guitaris band Gigi ini memang dikenal cukup kental dalam ekspresi religiusitasnya sebagai pemeluk agama Hindu.

Nandini adalah sapi tunggangan Syiwa dalam keyakinan Hindu. Sementara maha artinya sangat atau teramat. "Ini sebuah kendaraan, di India disebut Nandini, sapi ya kendaraan Dewa Syiwa di sana, kendaraan yang besar. Saya bertemu dengan orang-orang besar di sini," jelas Dewa Budjana terkait pilihan nama sekaligus proses pembuatan album terakhirnya tersebut sebagaimana dikutip dari laman Kompas dengan judul Makna Mahandini, Judul Album Baru Dewa Budjana.

Berkenaan dengan Hinduisme, pembaca bisa membaca tulisan Muhammad Ali, cendikiawan muda Muhammadiyah sekaligus pengajar di Universitas California, Amerika Serikat berjudul Apakah Semua Umat Hindu Musyrikun dalam Pandangan Muslim? Sebuah tulisan yang simpatik dan mengenal iman saudara Hindu kita. Sebuah upaya mengenal tanpa disertai prasangka.

Lagu Mahandini juga berhubungan dengan perjalan. Meski tentu saja tidak ada siratan kemacetan di dalamnya. Sebuah perjalan dengan dimensi yang berbeda. Seperti halnya Lalu Lintas, nada-nada kromatik Mahandini membawa kita melayang, tidak lagi menapaki tanah layaknya Nandini yang diceritakan terbang alih-alih berjalan. Saya membayangan para darwish berputar dari tarian sufi mereka saat mendengarkan lagu ini. Lalu di satu lintasan pikir, teringat akan fenomena tunggangan Nabi Muhammad saw yang bernama Buraq saat beliau menempuh perjalanan ruhani Isra dan Mikraj. Saya memaknai keduanya secara metaforis. Bukan tunggangan biasa.

Persentuhan Pemeluk Dua Agama

Kelindan dan persentuhan dua iman antara Islam dan Hindu saya suguhkan dalam dua format. Bila Muhammad Ali melalui tulisannya mewakili dimensi teologis, maka Dewa Budjana melakukannya via dimensi musikal. Untuk kelindan secara musikal ini---dan khususnya sekaitan dengan bulan Ramadan---kita akan kembali mundur ke 17 tahun lalu.

Adalah sekitar tahun 1991an, melalui radio dan televisi Bimbo mempopulerkan lagu Lailatul Qadar. Lagu dan liriknya sendiri ditulis oleh sastrawan Taufiq Ismail dengan aransemen oleh Wandi Kuswandi. Lalu pada tahun 2005, Gigi merilis album religi yang di dalamnya mendaur ulang lagu Lailatul Qadar tersebut dalam genre musik rock. Sungguh mengagumkan bagaimana totalitas musikal seorang Dewa Budjana. Ia dengan profesional menggarap lagu-lagu nuansa Islami. Dan menganggapnya murni sebagai karya seni. Sama halnya dengan Muhammad Ali, Dewa Budjana melakukannya dengan penuh simpatik.  

Lalu Lintas dalam Perspektif Pedesaan

Warga pedesaan pun tentu melakukan perjalanan yang dengannya ada sebentuk lalu lintas. Hanya saja dengan jumlah warga yang berimbang secara rasional dengan bentangan kawasannya, maka kemacetan nyaris merupakan hal yang tak mungkin terjadi dalam keseharian pedesaan. Hal yang berkebalikan dengan perkotaan. Gelombang urbanisasi sebagai akibat dari pesona dan gemerlap kehidupan kota dari waktu ke waktu mengikis batas ideal rasio jumlah penghuni dengan hunian, warga dengan luas wilayah. Kepadatan meningkat. Kemacetan jadi niscaya.

Kelengangan jalan, keheningan suasana dan ketegangan yang selalu direlaksasi oleh keramahan alam menjadikan orang-orang pedesaan, seperti saya, sangat tersiksa dengan segala yang bersifat kebalikannya. Warga kota juga pada dasarnya sama. Hanya saja mereka terpaksa harus kuat dan terbiasa. Sementara orang pedesaan tidaklah demikian. Mereka punya pilihan untuk menghindarinya.

Namun, akankah semua ini---perbedaan kota dan desa---akan bertahan lama? Nampaknya tidak.

Perkembangan zaman telah menimbulkan abrasi batas kota dan desa. Teknologi informasi menghilangkan sekat isolasi---yang adakalanya tidak semua yang bersifat isolatif bersifat buruk. Mentalitas dan karakter menghilang terkikis laju zaman. Desa dalam arti pedesaan, ke depannya akan menciut menjadi sebuah kawasan yang layaknya sebuah area konservasi. Suaka nilai dan kearifan yang akan berhadapan dengan citra kota yang riuh rendah namun penuh kesepian di dalamnya.

Mudik dan Pesta Semu di Pedesaan

Suasana pedesaan dalam beberapa hari ke depan jelang Lebaran berupa menjadi gegap oleh suasana kota. Lalu lintas memadat ke arah perkampungan. Rumah-rumah yang biasanya ramah bersahaja berubah menjadi galeri pameran imaji kota. Warga pedesaan pun mencicipi kemacetan siklus tahunan. Tentu tidak jadi masalah. Toh dikeluhkan pun akan tetap terjadi.

Apakah salah bila kita tidak terlalu antusias dengan kemeriahan ini?

Bahauddin an-Naqsabandi, pendiri tarekat Naqsabandiyyah menasehati kita, "Seorang hamba secara lahir bersama makhluk namun secara batin bersama al-Haqq."

Sejak kita ini adalah makhluk sosial, maka tentu tidak untuk mengasingkan diri dari sesama manusia. Kita harus pandai memaknai kemeriahan agar Al-Haqq (Allah) senantiasa bersama kita. Hidup ini tak lain dari seni memaknai. Kesunyian dan keriuhan bisa sama-sama memiliki makna. Selama kita dengan tepat memaknainya. Bila dirasa terlalu jauh untuk belajar dari Syekh Bahauddin an-Naqsabandi, maka belajarlah dari Dewa Budjana yang memaknai keruwetan lalu lintas melalui puisi tanpa kata, musik.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun