Kisah Secangkir Kopi dalam Dialektika yang Panas
Artinya:
Ya Allah, jadikanlah kopi yang saya teguk sebagai cahaya bagi penglihatanku, kesehatan bagi badanku, penawar hatiku, obat bagi segala penyakit, duhai Dzat yang Maha Kuat dan Maha Teguh… kemudian membaca bismillahirrahmanirrahim!
Nabi, menurut shahibul hikayat, kemudian melanjutkan sabdanya:
"Malaikat akan terus memintakan ampunan untukmu selama rasa kopi masih menempel di mulutmu."
Momentum kebangkitan para peminum kopi tiba. Euforia pecinta kopi tidak kalah sangarnya dibanding para pembully mereka sebelumnya.
Artinya, kurang lebih, barangsiapa meninggal dan di dalam perutnya terdapat sedikit saja kopi, maka tidaklah ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Tentu saja sebuah epic comeback yang kebablasan.
Saya sendiri lebih suka pendapat seorang alim asal Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani (1813-1897):
"Minumlah kopi, olehnya akan tercegah rasa kantuk, dan dapat mencerdaskan pikiran," ungkapnya moderat.
Jauh sebelum itu, sebagaimana dikutip Idris dalam Doa Nabi untuk para Peminum Kopi, Ibnu Hajar al-Haytami (909-974 H) sebenarnya sudah menengahi: “Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan. Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya, namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah ‘bagi perantara menjadi hukum tujuannya’ maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya.”