Bumi Berhujan Ditinggal Ramadan
Saat tulisan ini dibuat, Rabu petang (10/04), secara sistem Kamariah atau Lunar, kita sudah memasuki hari kedua Syawwal. Ramadan sudah jelang dua hari berjarak menjauh.
Hujan turun tepat jelang salat Maghrib di masjid akan dimulai. Suara butir-butir air hujan yang berjatuhan di atas dedaunan menciptakan orkestrasi alami. Pitter-patter, begitu orang Inggris menyebutnya. Suara air berjatuhan ke atas payung saat pulang semakin menambah sensasi.
Alison Cooper dalam Does It Rain on Other Planets? di laman How Stuff Works menulis:
"Di Bumi, kita sudah terbiasa dengan cuaca tertentu. Kadang-kadang cuaca tidak dapat diprediksi dan menakutkan, tetapi setidaknya kita tahu bahwa segala sesuatu yang jatuh dari atmosfer dan jatuh ke tanah adalah air dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, Anda akan dimaklumi jika berpikir 'air' ketika mempertimbangkan kemungkinan hujan di planet lain. Namun, Anda salah besar - Bumi adalah satu-satunya planet yang memiliki air dalam bentuk cair. Memang ada hujan yang turun dari awan di planet lain, tapi itu bukan air. Bahkan tidak mendekati."
Hujan berlian turun di Saturnus, Neptunus, dan Jupiter, tulis Cooper. Sementara di Venus, hujan berupa guyuran asam sulfat panas. Bersyukurlah Bumi kita memiliki atmosfer. Ketika kita meninggalkan atmosfer Bumi dan memasuki ruang angkasa, di sana sangat kosong, tidak ada udara atau atmosfer yang bisa membentuk awan dan tidak ada air yang bisa membentuk awan, sehingga tidak ada hujan. Meskipun tidak ada hujan di luar angkasa, kita bisa menemukan cuaca yang menarik di planet lain, lansir Press & Sun-Bullettin.
Jadi, petang tadi saya adalah salah satu dari 8,1 miliar penduduk Bumi, dari spesies yang mengajukan tanya "Apakah dari 200 miliar triliun bintang yang ada di alam semesta ini, terdapat tatasurya dengan planet layaknya Bumi kita yang berhujan?"
Sulit rasanya membayangkan bila di tatasurya yang berbintangkan Earendel -- bintang terjauh yang bisa diperkirakan manusia -- dengan jarak 28 miliar tahun cahaya dari kita, salah satu planetnya berhujan seperti Bumi. Setiap butir hujan yang berjatuhan di atas dedaunan, genting, tanah, sungai, dan payung -- yang saya gunakan -- masih jauh dari cukup untuk digunakan sebagai hitungan atas rasa syukur karunia Tuhan bernama hujan ini. Alhamdulillah, ya Allah.
Hujan juga membawa kembali kenangan awal tahun 1990an. Bait awal lagu Try to Find Me dari band asal Rusia, Gorky Park naik ke atas permukaan ingatan:
When the rain is pouring down
And no one is around
All the doors are closed
You're a stranger in this town
Wandering around and you feel lost
Sebuah tafsiran lepas, atau tepatnya hantam kromo, saya berikan pada lirik lagu tadi:
When the rain is pouring down
Saat hujan turun mengguyur Bumi dengan derasnyaAnd no one is around
Dan tak ada satu pun planet yang mengalaminyaAll the doors are closed
Semua pintu jawaban tertutup untuk pertanyaan adakah hujan di luar BumiYou're a stranger in this town
Kamu, Bumi, adalah planet asing yang berhujanWandering around and you feel lost
Kian kemari mencari kawan yang berhujan, dan untukmu belum ada jawab.
Jam menunjukkan pukul 20.45. Dua hari lalu dan 27 hari sebelumnya, biasanya kita baru selesai Tarawih dan bersantai sejenak. Sebagian orang ada yang makan malam. Menghindari makan sebelum Tarawih agar tidak mengantuk, begitu menurut mereka. Sebagian, ada yang hanya menghabiskan sisa-sisa kudapan. Sementara sebagiannya lagi ada melanjutkan daras Al-Qur'an. Saya sendiri termasuk yang kedua. Bercengkrama dengan kudapan.
Jelang tulisan ini berakhir, hujan mulai mereda. Tinggal tersisa bunyi gemercik air yang jatuh di atas kubangan kecil di bawah talang terdengar seperti outro sebuah lagu. Atau, terdengar seperti isakan tangis. Apakah hujan petang hingga malam ini sebuah tangisan langit dan bumi yang baru saja ditinggal Ramadan?
Nampaknya saya terlalu literalis.