Koleksi Koin Warisan Saksi Bergulirnya Sang Waktu
Uang dikenal sebagai alat tukar yang memudahkan kita melakukan transaksi pembayaran ataupun jual beli. Bagi beberapa orang memiliki yang banyak adalah bukti kekayaan.
Orang tua biasa mewariskan uang kepada anak keturunannya. Demikian juga Nenek dan Ayah saya. Tetapi uang yang diwariskan bukanlah untuk digunakan sebagai alat pembayaran namun berupa koleksi koin.
Koin Benggol Warisan Nenek
Pada suatu hari saat sedang berlibur ke rumah nenek saya merasa tidak enak badan sampai muntah-muntah. Nenek bilang karena masuk angin. Kemudian nenek "memaksa" saya untuk dikerok. Sebenarnya saya ingin melarikan diri saja supaya tak perlu dikerok. Tapi kondisi saat itu jangankan kabur untuk duduk saja sudah kepayahan.
Disela-sela rasa sakit dan protes saya yang tak digubris oleh nenek, beliau justru bercerita tentang Benggol. Koin yang dipakai bertransaksi di zaman penjajahan Belanda. Koin yang kemudian dipakai untuk kerokan setelah tak lagi laku.
Uang yang sulit didapat karena zaman perang. Harus pintar-pintar mempergunakan uang. Zaman susah. Nenek juga bercerita tentang kemeriahan ulang tahun ratu Belanda, Wilhelmina.
Cerita bergulir dari soal koin Benggol ke kondisi masa lalu. Saat Kakek saya ikut berperan dalam perang kemerdekaan. Waktu kecil saya tak berpikir kakek yang sudah tua bisa ikut perang. Padahal waktu Kakek itu kan masih muda, masih gagah. Sampai-sampai nenek terpesona.
Tetapi hal yang paling menarik bagi saya tetaplah si uang Benggol itu. Uang yang dikumpulkan dengan susah payah berakhir untuk kerokan. Sayang sekali. Tapi kata nenek uang itu berat dan dipegang pas sekali jadi enak untuk kerokan.
Entah karena uang Benggol itu memang ajaib atau karena cerita yang dikisahkan nenek yang membuat episode kerokan terasa tak terlalu menyakitkan lagi.
Saat saya ingin memintanya nenek bilang akan memberikan yang lain. Rupanya nenek masih menyimpan beberapa koin lagi.
Koin-koin itu disimpan di laci lemari dalam bungkusan sapu tangan berenda. Saya memperhatikan dengan kagum. Menyentuh uang yang entah telah berpindah berapa tangan di masa lampau.
Setiap keping koin pasti membawa ceritanya sendiri. Perjalanan sebuah koin menembus waktu bagai saksi sejarah peradaban manusia.
Di zaman dahulu apakah uang ini pernah dibawa-bawa dalam peperangan? Ataukah ada orang-orang yang memperebutkannya dengan sengit? Atau uang ini digunakan untuk mahar meminang seorang gadis pujaan hati?
Angan-angan saya melayang ke waktu yang entah. Yah, sejak dulu saya memang suka sekali berkhayal. Jadi meskipun sedang sendirian saya tak pernah merasa kesepian. Karena isi kepala saya sudah ramai dan sibuk.
Akhirnya koin-koin itu berpindah tangan. Nenek memberikannya kepada saya dengan syarat harus dijaga sungguh-sungguh jangan sampai hilang.
Saya menjaganya seperti membawa sebongkah berlian. Sampai sekarang uang itu masih tersimpan rapi. Sesekali saya keluarkan dan pandangi seraya berpikir tentang masa lalu. Apa rasanya hidup di zaman itu?
Koin Mancanegara dan Kisah-kisah Perjalanan
Lain nenek lain pula ayah saya. Suatu hari beliau mengeluarkan uang koin yang dikumpulkannya dari perjalanan ke negara-negara tersebut. Koin-koin itu dibersihkan. Saya bahkan disuruh membantu membersihkan.
Dengan tekun saya mencuci dan mengeringkan kemudian menyortir sesuai negara masing-masing.
Saat bekerja Ayah menunjukan beberapa koin dan menceritakan tentang tempat yang disinggahinya dalam perjalanan dinas.
Meski ayah saya pendiam tapi sangat pintar bercerita. Bagaimana ketika di Prancis diajak makan di sebuah restoran dengan menu yang sangat sulit disebutkan. Kemudian ayah hanya menunjuk secara asal saja karena direkomendasikan sebagai makanan paling enak.
Dengan penasaran menunggu seperti apa makanan terkenal itu. Tapi saat datang ayah justru kecewa, sama sekali jauh dari angan-angan. Ternyata yang keluar terong yang dimasak mirip semur. Sudah jauh-jauh ke Prancis kok, malah disuguhi makan terong.
Belakangan saya menemukan mungkin makanan yang dimaksud adalah Ratatouille.
Keping demi keping mengandung cerita yang berbeda. Koin-koin dari Belgia didapat dari kembalian membeli boneka beruang. Boneka yang dibawa pulang untuk oleh-oleh. Sebagai satu-satunya anak perempuan sayalah yang mendapatkannya. Ukuran boneka berwarna coklat itu nyaris sebesar tubuh saya. Tapi kemudian saya tak boleh lagi bermain dengan beruangnya karena alergi debu. Dokter menyarankan untuk menjauhi benda-benda berbulu.
Keping Koin Segudang Cerita
Dari tiap-tiap keping koin yang diwariskan saya mendapat banyak cerita. Kisah perjalanan kehidupan. Rentang waktu yang panjang sejak uang dicetak hingga berpuluh bahkan ratusan tahun kemudian. Tangan-tangan yang menggenggamnya.
Tiba-tiba saya ingin punya kekuatan untuk melihat siapa saja yang pernah menyentuh koin-koin itu di waktu lampau. Mengetahui kisah mereka. Pikiran-pikiran mereka.
Mungkin saja koin itu dilempar karena seseorang sedang kesal lalu ditemukan oleh orang yang membutuhkannya. Atau jangan-jangan koin itu mengandung kutukan. Stop! Kenapa khayalan saya merajalela begini? Duh.
Kemudian saya bertanya-tanya jika zaman digital tak lagi butuh kehadiran uang secara fisik maka tak ada lagi koin yang bisa dikoleksi. Tak ada lagi koin yang menjadi saksi bergulirnya waktu. Apa yang akan dipelajari generasi masa depan tentang nenek moyangnya?
Bagaimanapun koin-koin koleksi memang mengandung unsur historis. Bukan melulu nilai intrinsik atau ekstrinsik uang itu sendiri.
Menyentuh koin-koin itu lagi membuat saya merindukan nenek dan ayah yang kini tak lagi bisa berbagi cerita. Di hari-hari akhir Ramadhan, Saat rindu begini hanya bisa melangitkan doa terbaik bagi mereka.
Terima kasih sudah memberikan warisan koleksi koin yang sangat berarti. Terima kasih sudah berbagi cerita yang dikenang selamanya. Terima kasih sudah memberi warna dalam perjalanan hidup ini.
Salam
Eka MP