Eka MP
Eka MP Administrasi

Pecandu Teh dan Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Memahami Toleransi Beragama Dimulai dari Keluarga

17 April 2022   22:33 Diperbarui: 17 April 2022   22:36 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami Toleransi Beragama Dimulai dari Keluarga
eka-mp-for-kompasiana-625c304ebb448674b6031952.png

Entah kenapa saat ini perihal toleransi beragama menjadi topik hangat sekaligus sensitif. Padahal sejak dulu kita hidup di Indonesia sudah dengan keyakinan yang berbeda, bahkan sejak zaman Majapahit. 

Perbedaan itulah yang dijadikan fondasi terciptanya slogan "Bhineka Tunggal Ika".

Memahami Toleransi

Selama ini di kehidupan saya sehari-hari sama sekali tidak ada masalah bagi orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda untuk bisa menjalankan ritual keagamaan masing-masing dengan leluasa sekaligus hidup berdampingan dengan damai.

Menurut KBBI, Toleransi berasal dari kata "toleran" yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Jujur saja, jika sampai terjadi masalah dengan toleransi beragama di negeri ini artinya ada missing link yang harus segera dicari sumbernya dan dibenahi. 

Mulai dari Keluarga


eka-for-kompasiana-2-625c31eeef62f62209499803.png
eka-for-kompasiana-2-625c31eeef62f62209499803.png

Waktu kecil saya sama sekali tidak paham soal toleransi beragama. Sebagai anak-anak kami bermain tak peduli latar belakang agamanya. Kami hanya berteman begitu saja. 

Hanya saja saat pulang sekolah saya harus ke mushola dekat rumah untuk mengaji sementara teman yang beragama Nasrani paham dan dengan santai menunggu di rumah saya sampai selesai untuk kemudian lanjut bermain. 

Di lain hari saat hari Minggu dimana sekolah libur teman saya justru pergi ke gereja dan sekolah Minggu. Terkadang saya gantian menunggu di rumahnya seraya mengerjakan tugas sekolah atau sekadar membaca koleksi bukunya.  Pun untuk persoalan makan. Keluarga teman saya paham kalau saya sebagai muslim memiliki pantangan makan. Sehingga mereka tak memaksa untuk makan bersama. 

Pengalaman Mengajarkan Toleransi Beragama adalah Hal yang Wajar

Memahami toleransi beragama memang harus dimulai dari keluarga inti. Mulai memberi pemahaman kepada anak-anak apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan kepada orang yang memiliki keyakinan berbeda. 

Anak-anak akan mudah paham dengan contoh nyata. Jadi orang tualah yang harus memberi contoh bagaimana harus bertenggang rasa dengan lingkungan sekitar. 

Tumbuh dalam keluarga besar yang memiliki keyakinan berbeda-beda membuat saya memahami cara-cara umat lain menajamkan ibadah mereka. Bukan sekadar teoritis dari buku pelajaran. 

Seperti saat diundang ke acara keluarga di mana pemilik rumah memimpin doa dengan keyakinan yang berbeda. Kami hanya diam saja. 

Sebaliknya mereka menghargai kami dengan menyediakan makanan halal yang bisa kami nikmati tanpa merasa khawatir. 

Jadi menurut pendapat saya memang semua berawal dari keluarga. Anak-anak diberikan pemahaman tentang konsep toleransi beragama dan tentang konsep hidup rukun bertetangga. Bagaimana bersikap dalam kegiatan agama lain pun sebaiknya dibekali sejak kecil. 

Penerimaan yang dimulai sejak masa anak-anak akan terbawa hingga dewasa. Sehingga akan menyikapi segala perbedaan dengan santai. Tak perlu ribut-ribut mencari celah untuk beradu argumentasi. Karena pada dasarnya sudah berbeda ya diterima saja dengan lapang dada. 

Perbedaan Bukan untuk Menjadi Jurang Pemisah


Sejak kecil saya diajarkan oleh orang tua untuk menghormati orang lain. Siapapun dia, bagaimanapun latar belakangnya dan apapun agamanya. Oleh karena itu sampai sekarang terus terbawa dalam kehidupan sehari-hari. 

Oma tetangga sebelah selalu mengirimkan dodol ranjang setiap Imlek. Tante depan rumah kalau lebaran pasti mengirimkan bermacam-macam kue kering. Sebagai tetangga yang baik saya membalas dengan mengirimkan makanan khas lebaran untuk mereka nikmati.  

Dalam bersosialisasi kita harus saling bertenggang rasa agar hidup tentram. Dalam beragama mengembangkan sikap toleransi adalah jalan untuk mencapai kedamaian. 

Masing-masing umat beragama menjalankan ibadah sesuai keyakinan. Tak perlu mencampur adukkan hal-hal yang terkait peribadatan dengan hubungan antar manusia, karena itu urusan seorang umat dengan Tuhannya. 

"Lakum diinukum wa liyadiin"

 artinya bagimu agamamu bagiku agamaku.

(Al Kafirun: ayat 6)

Sebaiknya juga tak usah mengatur-ngatur bagaimana orang menjalankan keyakinannya. Semua itu sudah dijamin oleh undang-undang. 

Seperti pemakaian jilbab, jika seorang muslimah berkeyakinan memakai jilbab bagian dari ibadah tentu saja harus dibebaskan. Tak perlu orang lain mengatur-atur bagaimana, kapan dan dimana seharusnya boleh memakai jilbab. 

Selain itu juga jangan memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal ini bukan hanya tentang menjalankan perintah agamanya tapi juga berlaku secara umum. 

Bagi yang berbeda agama menghormati orang lain beribadah adalah bentuk toleransi beragama yang harus dikembangkan. Karena pada dasarnya beribadah sesuai keyakinan dijamin kebebasannya oleh undang-undang dasar. Pun sudah termaktub dalam butir-butir Pancasila sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa"

Jika negara sudah memberikan kebebasan untuk beribadah maka sebagai warga negara yang taat hukum sudah selayaknya kita pun mentaatinya bukan?

Yuk, sama-sama kita ciptakan hidup damai dengan lingkungan sekitar dimanapun kita berada. Bertoleransi adalah jalan tengah untuk menciptakan hidup yang nyaman di negeri yang indah ini. 

Salam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun