Cermin | Air Mata Perempuan Lain
Bagaimanapun juga, sepandai-pandainya aku menyembunyikan perasaan, usai membaca pesan singkat Arumi yang dititipkan kepada Emak, tak urung hatiku berdegup juga. Sebagai orang yang pernah dekat tak mungkin aku tega menolak permintaannya untuk bertemu.
Ya, Arumi tengah menungguku--di suatu tempat. Dan aku tahu di mana tempat itu.
Sekali raih kunci motor sudah berada di dalam genggamanku. Aku menghidupkan mesin kendaraanku itu dengan tergesa hingga menimbulkan bunyi menggerung yang memekakkan telinga.
"Kau tidak boleh pergi menemuinya, Dot!" Emak menghadangku. Tangannya terbuka lebar.
"Tapi, Mak. Tidak biasanya Arumi menangis seperti itu. Pasti telah terjadi sesuatu," aku nyaris menepis tangan Emak.
"Nyebut, Dot! Istigfar!" Emak meninggikan nada suaranya.
Tapi aku sudah gelap mata. Tak bisa dicegah lagi. Aku harus segera menemui Arumi.
Kalau saja Anisa tidak buru-buru muncul di hadapanku, barangkali aku sudah melesat pergi menuju ke suatu tempat di mana Arumi tengah menungguku.
"Assalamualaikum..." Anisa mengucap salam seraya mencium punggung tangan Emak.
"Walaikum salam," Emak menyahut dengan suara serak.
"Loh ada apa ini? Kenapa Emak menangis?" mata Anisa yang berkacamata menyipit. Perlahan ia menarik tangannya yang menangkup di atas punggung tangan Emak.Lalu beralih pandang ke arahku.
Ditatap seperti itu, mendadak aku salah tingkah. Bergegas aku mematikan mesin motor.
"Nisa. mari kita bicara di dalam, Nduk. Biarkan Didot pergi kalau memang itu kemauannya," Emak menggamit lengan Anisa. Dan calon istriku itu mengikuti langkah Emak yang gontai masuk ke ruang tengah.
Tinggallah aku sendiri. Berdiri termenung. Tidak tahu mesti berbuat apa.
Sampai jemari bocah kecil nan cantik itu menyentuh pinggangku.
"Kak Didot. Temui Emak dan Kak Anisa, dong. Tuh, Emak masih menangis," Aisyah menatapku sedih.
Masih serba salah, ragu aku melangkahkan kaki menuju ruang dalam.
Menemui dua perempuan yang duduk saling berpeluk.
***
Kukira Emak akan menceritakan perihal surat Arumi kepada Anisa. Tapi ternyata tidak. Emak hanya mengatakan kalau hari itu merasa kurang enak badan.
Kulihat Anisa sabar menemani Emak. Tanpa banyak tanya ia memijit kening Emak.
"Ada yang bisa aku bantu, Nisa?" tanyaku memecah keheningan. Anisa menoleh ke arahku. Lalu mengangkat satu tangannya dan berbisik, "Mungkin Emak ingin istirahat di kamarnya, Dot. Bantu memapah, ya."
Ragu aku mendekati Emak. Aku tahu Emak pasti masih marah padaku.
"Tidak usah, Nisa. Sebentar lagi buka puasa. Nanti Emak akan minum obat pereda pusing," seperti yang kuduga, Emak menolakku secara halus.
Anisa berdiri. Menghampiriku.
"Dot, usai berbuka nanti kita harus bicara."
Deg. Dadaku berdegup kencang.
Apakah Anisa tahu bahwa aku sebenarnya sangat ingin menemui Arumi?
***
Suasana buka puasa tidak seperti biasanya. Terkesan murung. Aku hanya makan sedikit. Hilang seleraku tersebab pikiranku terbelah. Satu pikiran tertuju pada Arumi. Satunya lagi pada ucapan Anisa.
Kedua-duanya membuatku was-was.
Usai merapikan meja, Anisa mengedipkan mata ke arahku. Ia berjalan menuju ruang tanu. Duduk di sana menungguku.
Aku mengikutinya. Duduk tak seberapa jauh darinya, tanpa berani menatap sorot matanya.
"Dot, sudah pernah membaca kisah istri-istri Rasulullah, belum? Tentang kecemburuan Aisyah misalnya," Anisa memulai pembicaraan. Aku mengangguk.
"Cemburunya seorang perempuan itu lumrah, ya, Dot. Apalagi Aisyah ketika menikah usianya masih di bawah umur. Sehingga Rasulullah perlu banyak membimbingnya," Anisa melanjutkan. Wajahku mendadak merah padam.
"Kau cemburu padaku, Nisa?" aku beringsur dari tempat dudukku. Anisa tertawa.
"Aku perempuan dewasa, Dot. Jikalau aku cemburu, tentu harus memiliki alasan," Anisa menyipitkan kedua matanya. "Kenapa bertanya begitu? Apakah kau telah melakukan sesuatu yang memicu kecemburuanku?" ia melepas kacamatanya dan menyeka ujung dagunya dengan tisu.
Aku terdiam. Tak mampu berkata-kata.
"Oh, ya. Aku baru saja menerima pesan dari seorang teman lama semasa SMU. Ia bercerita banyak tentang dirinya. Salah satu yang membuatku tertarik adalah ia mengatakan hendak menikah dengan seseorang, pilihan orang tuanya. Tapi ia mengaku tidak mencintai orang itu. Melainkan mencintai orang lain."
"Apa-kah ia seorang gadis?" tanyaku gugup. Hatiku mulai was-was.
"Bukan! Ia seorang pemuda, Dot. Dan ia memaksaku untuk bertemu."
"Kamu menemuinya?"
"Tentu saja, tidak. Sebab orang yang dimaksud masih dicintainya itu adalah--aku..."
Lagi-lagi aku terdiam.
"Kau tidak bertanya mengapa aku menolak bertemu dengan pemuda itu?" Anisa menatapku.
"Kenapa?" akhirnya bibirku bergerak juga. Dadaku tiba-tiba terasa penuh.
"Sebab aku sebentar lagi akan menikah denganmu. Aku tidak ingin merusak hidupku dengan merendahkan martabatku sebagai calon istri. Menemui pria lain yang bukan muhrimku tentu bisa menimbulkan fitnah."
Deg. Serasa terohok hatiku.
"Kita semua pernah memiliki masa lalu, Dot. Tapi..."
"Ya, Nisa. Aku minta maaf," aku gemetar mengucapkannya.
"Maaf untuk apa? Kau harusnya minta maaf kepada Emak. Kau sudah membuatnya menangis," Anisa berdiri. Mengulurkan tangannya dan membimbingku menuju kamar Emak seraya berbisik, "Dot, jikalau ada perempuan lain yang ingin menangis di pundakmu, kuharap itu adalah Emak. Bukan gadis lain!"
***
Malang, 13 Juni 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah Serial Didot Sebelumnya
3.Sungguh, Engkau yang Tercantik di Hatiku
4.Kupinang Engkau dengan Basmallah
5.Karena Hati Perempuan Itu Sulit Dimengertii
6.Sebelum Janur Kuning Melengkung