RAMADAN Pilihan

Aku dan Ketidakhadiran Sang Lain

9 April 2023   12:05 Diperbarui: 9 April 2023   15:38 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan Ketidakhadiran Sang Lain
Mendekati cahaya "Sang Lain" (Sumber gambar: pinterest)

Sebagaimana “Aku” laksana menjadi cermin memantulkan sesuatu padamu, “pantulanmu datang dariku,” tanpa bayangan apa-apa. 

Setelah terjadi ketidakhadiran subyek/pusat/nalar, maka obyeklah yang membiaskan citra subyek dan menemukan titik kehadiran “Aku” sebagai sesuatu “yang berbeda” dengan bentuk penampilan luar. Orang bukan lagi “sang Lain.” “Aku” berada diantara subyek dan obyek. Kekuatan obyeklah yang semakin memperjelas posisi “Aku” sekaligus mengingatkan kita akan adanya subyek yang terselubung bahkan sebuah topeng filsuf nyata dari wujud virtual. Sementara, “Aku yang palsu” tidak lebih sebagai korban persembahan dari “mitos ego-otentik” dalam dunia. 

Seseorang mendatangi sebuah cermin asli dan melihat dirinya seperti “apa adanya,” bukan “ada apa-apanya.” “Aku” yang mewaktu telah keluar dari garis orbit subyeknya, terlepas dari lingkaran realitas kesadarannya, yang terombang-ambing dengan cara meletakkan obyek murni di luar “Aku” yang nyata.

Sejauh ini, ego-otentik menjadi tempat berkembangbiaknya segala sesuatu daur ulang dan kedalaman yang kosong: kesadaran dan gairah beragama di tengah ritual kematian makna dari realitas. 

Di cakrawala yang mulai tenggelam dalam realitas, kita bukan hanya tidak melihat “Sang Lain” (tanda-tanda Ilahi), tetapi juga melihat diri kita sendiri menghilang dari sudut pandang ego Cartesian, yaitu manusia sebagai sosok yang berpikir, misterius sekaligus sosok meragukan. Kita muncul dan menghilang dalam kesadaran (Ilahi, pikiran, persaudaraan atau kasih sayang). Bukan obyek dari yang subyek, tetapi dari subyek yang bukan subyek, dan dari obyek yang bukan obyek.

Sudut pandang tentang “Aku apa adanya” nampak pada pantulan wajahku dari “Aku” itu sendiri, tanpa cermin apalagi tanpa bayangan justeru merupakan bagian yang paling rahasia, dapat eksis untuk “Sang Lain.” 

“Aku” tidak eksis, kecuali segalanya adalah tiruan datang dari “Sang Lain” (bersedekah, menolong, mencintai, membenci, berkuasa, bertahta, mendamaikan, atau mengetahui). “Aku sendiri” mengungkapkan dirinya melalui “Aku di sini,” kecuali sekecil apapun rahasiaku telah menghilang, tidak terlacak atau tidak tergambar hingga ditelan waktu lebih cepat melesat meninggalkan kita dibandingkan citra artifisial yang disenangi oleh "sang Lain" (manusia).

Sebaliknya, “Aku” mampu membayangkan dunia yang sama dari “sang Lain.” “Aku” memiliki kartu identitas dari ‘sang Lain’ juga memiliki memiliki rahasia “Aku.” Selanjutnya, “Aku” tidak lagi sebagai subyek (meskipun dibantah oleh Martin Heidegger). Dia tidak lagi bercumbu dan mengendalikan obyek. “Aku” sebagai takdir yang mengendalikan, menyatukan dan memisahkan subyek-obyek hingga tidak ada lagi jarak di antara keduanya. “Aku sendiri”  menitis dan mentransformasikan secara bolak-balik dan imanen sejajar dengan “sang Lain” di Bumi. Ia bukan di bawah Langit (kecuali di “langit artifisial”). “Aku” maju ke tengah medan perjuangan untuk menghubungkan jurang terjal antara realitas dan eksistensi, subyek dan obyek hingga tidak ada lagi celah, retakan, dan jarak di antara keduanya.

"Sang Lain" (manusia) bukan lagi sebagai bagian dari sebuah jurang antara kenikmatan bagi “Aku.” 

Tetapi, kemiripan yang tidak memusat dari “Aku sendiri” yang bertugas tidak untuk mencairkan ego-Cartesian dan ego-Transendental. Tidak ada salahnya jika menengadahkan kepala kita dalam melihat secara terbuka atas perbedaan dan heterogenitas tanda kehidupan. Sampai pada akhirnya, kita akan berada pada sebuah kurva yang terputus-putus, dalam pengetahuan dan sejarah itu sendiri mengenai keintiman antara “Aku” dan “sang Lain.” Kartu identitas keduanya telah memalsukan rahasianya. Bisa dikatakan, kita masih melihat suatu ilusi ganda yang tertulis atau tergambarkan yang ditandai dengan “sang Lain” adalah “Aku” yang ditopengkan dalam realitas kesadarannya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun