RAMADAN Pilihan

Aku dan Ketidakhadiran Sang Lain

9 April 2023   12:05 Diperbarui: 9 April 2023   15:38 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan Ketidakhadiran Sang Lain
Mendekati cahaya "Sang Lain" (Sumber gambar: pinterest)

Tetapi, sepanjang puasa Ramadhan muncul kemiripan dan penggandaan pahala menerobos ‘celah’, ‘alur’, dan ‘saluran’ bagi hasrat untuk beribadah, baik secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.

Misalnya, seseorang beri’tikaf di sepuluh malam terakhir mengalir dalam rahasia turunnya Lailatul Qadri dalam bulan Ramadhan akibat teks-teks tertulis yang menuntunnya memasuki alur dan saluran (Derridian). Untuk mencapai penyatuan sekaligus pemisahan diri antara “Aku” (orang-orang beriman) dan “Sang Lain” (Allah).

Dalam teks hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang masyhur dinyatakan: ... Puasa (Ramadhan) untuk-Ku, dan Aku yang memberinya pahala... Kita akan teridentifikasi dalam diri, seperti orang-orang yang beriman menuju “sang Lain” sebagai “tanda Keilahian.” Tidak hanya mengalami proses pembakaran dari seseorang berpuasa, tetapi juga proses pengembalian diri bahkan meningkat pada suatu proses pengingatan sekaligus pada taraf keintiman yang tidak terpikirkan atau tidak terbayangkan. Proses pembakaran diri dalam puasa Ramadhan bukanlah proses dari sesuatu yang palsu dan berkedok menuju sesuatu yang alami dan asli, melainkan “taraf kematian.” Kita tetap teguh memegang keyakinan tentang ketiadaan sebelum kehidupan diciptakan oleh “Sang Lain” betul-betul berkembang dengan ragam pemikiran, pemahaman, dan penafsiran atas teks agama yang disusun oleh manusia dari sekian abad yang lalu.

Tidak lebih dari kehidupan dengan perubahan terus-menerus dibangun dari relasi antara “Aku” dan “Sang Lain” setelah mengalami proses “yang Sama dalam yang Berbeda.” 

Pada “taraf keintiman” dan “tanda kefitrian” bukanlah proses daur ulang atau reproduksi ingatan dan citra, tetapi “sang Lain” sebagai makhluk yang berpetualang dari ‘deteritorialisasi’, yaitu tidak memiliki tempat (Deleuzean) ke ‘reteritorialisasi’ sebagai makhluk spiritual. Secara jelas dan pastu, “Sang Lain” (Allah) tidak serupa dan tidak sama dengan makhluk, ‘yang diciptakan’ berubah menjadi "sang Lain" (manusia). Setiap "sang Lain" dianggap biang konflik lantaran perbedaaan keyakinan, ekonomi, dan politik misalnya, lenyap dalam ketidakhadiran kuasa yang diciptakan oleh “Sang Lain” (Allah). 

Ini “Sang Lain” adalah Sang Maha Kuasa. Ketidakhadiran ‘sang Lain’ dari manusia yang dimaksud adalah kebencian dan permusuhan antara pihak yang dominan dan pihak lain (seperti tirani mayoritas atas minoritas, kuasa Taliban atas golongan lain). Sirnanya ketidakhadiran ‘sang Lain’ (manusia karena egonya) ditandai oleh “Sang Lain” (Allah) yang menyebarkan tanda Keilahian pada orang yang ingin dekat dengan-Nya.

Sekiranya pemenuhan hasrat untuk “mendekati” atau “mengintimi” sesuatu terjalin antara orang-orang beriman sedang berada pada kesatuan “yang Sama sebagai Aku dalam ‘sang Lain’ sebagai makhluk. 

Entah nyata, imajiner maupun simbolik akan berubah terus-menerus, dari ‘meditasi Cartesian’ ke ‘meditasi Ramadhan’, dari unsur materi ke unsur ruhani.

Ada sesuatu hal yang menarik tatkala terjadi proses penyatuan “Aku” (orang berpuasa) dan “Sang Lain” (Allah) akan menjadi “tanda Keilahian” melalui medium i’tikaf pada sepuluh malam terakhir. Metode tersebut diyakini sebagai jalan untuk menunda dan melupakan dunia luar dengan kehiruk-pikukan yang merajalela. 

Dalam ketidakngawuran bahasa yang keluar dari ego transendental menjadi sintaksis Keilahian: “Aku (orang-orang berpuasa) menemukan diriku dalam kegilaan spiritual.” Setiap Aku menjauhi kegilaan, muncul kegilaan dalam bentuk yang lain. Suatu kegilaan terjadi dalam ketidakhadiran rumah sakit jiwa, tanpa ditemukan di emperan toko, tanpa berdiri dan berjalan di pinggir jalan, dan saat tidak ada lagi orang-orang gila.

Pada saat Aku berlari-lari kecil, kegilaan nampak seperti seberkas cahaya di ujung lorong gelap. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun