Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/
Kata Ayah Mertua, Mudik Jadi Tidak Berkesan karena Hal Ini...
Alhamdulillah, tahun ini akhirnya saya bisa mengajak mertua mudik ke kampung halaman. Setelah lebih dari 10 tahun menikah, ada juga kesempatan untuk mengajak mereka jalan-jalan.
Rute mudik kali ini rencananya menyusuri jalur pantura, kemudian pulang lewat selatan. Beberapa kota yang sudah kami singgahi adalah Salatiga, Nganjuk, dan saat ini masih berada di Surabaya. Tujuan akhir esok adalah perbatasan antara Situbondo dan Bondowoso, Jawa Timur.
Mudik kali ini memang sudah saya rencanakan. Utamanya soal biaya keberangkatan. Saya sudah bersiap menabung sekitar awal tahun. Apalagi saat itu saya masih berstatus sebagai pekerja lepas.
Karena sudah terbiasa seperti tahun sebelumnya, akhirnya terkumpul juga dana untuk pulang kampung.
Semula, rencananya saya ingin berangkat menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Surabaya. Kemudian lanjut dengan menyewa kendaraan selama lima hari dari Surabaya hingga kampung halaman.
Ternyata setelah dihitung-hitung bujetnya, lebih masuk menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta. Apalagi mertua ikut dan berencana mampir di Purwokerto.
Ya sudah, akhirnya kami memutuskan menyewa kendaraan dari Jakarta hingga ke kampung halaman di Jawa Timur. Semula saya mendapatkan paket info tentang rental mobil paket Lebaran selama 10 hari dengan harga miring hingga 3,9 juta dari salah satu perusahaan rental ternama. Sayang, prasyaratnya meminta pengguna memiliki kartu kredit. Sedangkan saya tidak punya kartu kredit sama sekali.
Harapan tersebut akhirnya pupus. Padahal harga promo tersebut sudah ditambah dengan bonus isi kartu non tunai sebesar Rp500 ribu. Lumayan banget kan? Jika dihitung-hitung sewanya saja hanya Rp3,4 juta. Promo tersebut memang sudah gencar sejak dua bulan sebelum puasa. Tak heran saat saya mengecek lagi saat awal puasa, mobil sudah fully booked.
Mertua akhirnya memberikan saran untuk mengontak salah satu saudaranya. Pasalnya ia sudah punya langganan rental mobil tiap Lebaran. Singkat cerita, saya bisa mendapatkan paket rental mobil seharga Rp5 juta untuk sepuluh hari. Surprisingly, mobil yang disediakan adalah Ertiga yang memang sudah menjadi pegangan saya. Saat mobil saya ambil tanggal 31 Mei, pemiliknya ternyata menginformasikan bahwa keempat bannya, baru saja diganti ban baru. Sudah rejeki anak soleh.
Perjalanan dari Pamulang tidak terlalu terkendala hingga memasuki daerah Cikunir yang sudah padat dengan kendaraan. Tapi, meskipun padat, kendaraan bisa berjalan sedikit demi sedikit. Kepadatan pun bisa berangsur-angsur lancar. Dari Cikunir hingga km 57 memang cukup melelahkan. Sudah mafhum karena jalur ini kerap kali macet terutama saat memasuki daerah Bekasi dan Cikarang.
Berbekal informasi dari beberapa media online, akhirnya pada saat memasuki gate Cikarang Utama baru setelah Dawuan, kami mengambil jalur paling kanan. Inilah yang bikin saya bersemangat. Praktis jalur one way bisa kami nikmati dari Cikarang Utama hingga Brebes atau dari km 70 sampai dengan km 263.
Kira-kira pukul 13.00 saya sudah melewati Cirebon dan singgah untuk salat zuhur terlebih dahulu kemudian melanjutkan perjalanan. Di situlah saya bergantian mengemudi dengan ayah mertua.
Sementara saya istirahat, ternyata jalur one way dilanjutkan hingga exit tol Semarang. Yang jelas di exit tol inilah kepadatan mulai terjadi lagi karena penumpukan dan meningkatnya volume kendaraan. Barulah saat adzan maghrib, kami sudah tiba di Salatiga. Awalnya ingin berbuka di rest area sebelum Salatiga ternyata sudah ditutup oleh petugas dan diarahkan untuk exit tol Salatiga. Beruntung saya bisa menikmati sunset. Sayang karena saya sudah bergantian mengemudi, tidak sempat mengabadikan keindahannya.
Kemudian kami berbuka di sebuah rumah makan yang berdekatan dengan pom bensin. Bensin sudah full tank diisi dari Pamulang tersisa satu seperempat tangki lagi saat tiba di Salatiga. Karena perjalanan masih panjang, akhirnya saya isi full tank lagi. Perjalanan dilanjutkan, sampai pukul 10.00 malam kami tiba di Nganjuk, Jawa Timur.
Esoknya (2/5) perjalanan dilanjutkan. Start dari Nganjuk pukul 10 pagi seharusnya sudah tiba di daerah Pogot, Surabaya pukul 11.00. Sayangnya saya keder, jadi malah ambil jalur ke Bandara Juanda. Terpaksa putar balik dan ambil jalur darat, non tol. Tiba di Pogot sekitar pukul 12.00 lewat. Istirahat sebentar kemudian lanjut ke Madura melewati pelabuhan Tanjung Perak menuju Kamal.
Telat beberapa menit, akhirnya baru bisa naik kapal pukul 17.00 kurang. Di sinilah saya keder, karena jam berbuka puasa di Madura ternyata lebih cepat. Pukul 17.19 ternyata sudah adzan maghrib dan akhirnya kami pun berbuka puasa di kapal.
"Seru banget ya, ini pertama kalinya kita buka puasa di kapal" kata si sulung.
Rencananya ingin mengejar waktu ke Bebek Sinjay saat berbuka tapi sepertinya tidak terkejar. Akhirnya malah mampir ke rumah saudara di Perumnas Kamal. Barulah melanjutkan lagi ke Surabaya via Jembatan Suramadu. Untuk melunasi rasa penasaran istri dan ibu mertua yang ingin melihat jembatan sepanjang 5 km yang menghubungkan Surabaya dan Madura.
Pukul 09.00 malam, akhirnya kami tiba di hotel untuk beristirahat. Rencananya besok melanjutkan perjalan ke Situbondo. Setelah melewati berbagai perjalanan tersebut, ayah mertua saya pun berujar.
"Mudik kali ini rasanya ada yang kurang ya. Soalnya kita lewat tol terus. Kalau dulu, keluar Cikampek, kita sudah bisa melihat banyak motor yang mudik dengan berbagai cara. Ada yang bonceng empat sama anak-anaknya, sampai ada yang memasang bambu di bagian belakangnya sebagai penyangga untuk barang bawaannya sehingga motor terlihat lebih panjang." kata ayah mertua saya.
Dalam hati benar juga ya. Jalur tol dari Jakarta hingga ke Surabaya memang membuat kesan mudik menjadi berbeda. Biasanya saat mudik selalu lekat dengan istirahat di posko-posko mudik. Di posko-posko inilah kami biasanya saling bertukar cerita dengan pemudik dari daerah lainnya.
Posko-posko mudik saat ini sudah berpindah ke rest area. Orang sudah punya gaya dan kebiasaan yang berbeda di rest area tanpa ada momen untuk saling berinteraksi lagi. Melepas penat hanya sesaat. Memang ada perasaan rindu seperti mudik dahulu.
Namun, di sisi lain, justru kita patut bersyukur karena bisa memangkas sekian waktu tanpa harus terjebak berjam-jam di perjalanan. Berharap saat jalur Trans Jawa tersambung hingga ke Banyuwangi, ada waktu dan rezeki untuk bisa menjajalnya kembali.