Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Administrasi

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ngabuburit di Hutan, Berani?

4 Mei 2020   22:57 Diperbarui: 4 Mei 2020   22:57 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngabuburit di Hutan, Berani?
Ngabuburit di hutan (Dok.Gana)

Tinggal bukan di daerah perkotaan melainkan pedesaan yang dikelilingi flora dan fauna ternyata menjadi sebuah keuntungan pada masa corona. Masa di mana semua orang sedunia harus dikarantina di rumah ini tetap memungkinkan kami bergerak di tempat terbuka.

Pemerintah Jerman tidak melarang warganya untuk berolahraga atau berbelanja asal berdua saja atau dengan anggota keluarganya. Memang social distancing dan physical distancing itu harus diperhatikan dan dilaksanakan demi meredam jumlah korban. Jika satu saja yang bandel, akan rusak susu sebelanga.

Hiking menuju goa di hutan (dok.Gana)
Hiking menuju goa di hutan (dok.Gana)
Ramadan di Jerman

Suasana Ramadan di Jerman pasti berbeda dengan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk 81 juta orang, 1,5 juta di antaranya adalah orang Turki.  Masyarakat minoritas muslim Jerman pasti bertambah dengan adanya pengungsi dari Suriah, Libanon, Afganistan dan Afrika. Artinya, mayoritas adalah pemeluk agama Katolik. Yang banyak, ya gereja. Untuk mencapai masjid termasuk jauh. Nggak seperti di rumah orang tua saya yang tinggal nyebrang.

Pernak-pernik dan ciri khas ramadan juga sangat sulit ditemukan di negeri seribu sosis ini. Mendengarkan masjid dengan suara panggilan adzan untuk melaksanakan ibadah sholat hanya angan-angan belaka. Meski pernah sekali dua kali terdengar, ini hanya mukjizat terjadi di masa corona. Bunyi adzan di larang di negeri yang dipimpin kanselir Angela Merkel. Yang paling sering berdentang adalah lonceng gereja.

Lamanya berbuka puasa juga menjadi sebuah perbedaan mencolok. Durasi 17-19 jam akan dialami orang yang berpuasa di Eropa khususnya di Jerman. Jika di tanah air hampir setiap tahun berbuka pada waktu yang sama yakni pukul 18.00, di Jerman baru pukul 20.30-20.45. Musim salju lebih lama lagi, sampai pukul 21.30 an.

Nah, rasanya memang beda ya, berpuasa rame-rame di negara sendiri dengan sendiri-sendiri di negeri orang.

Ngabuburit di hutan Jerman

Dulu waktu di Indonesia, banyak sudut kota yang menawarkan alternatif untuk menunggu waktu berbuka puasa. Di kawasan jalan pahlawan sampai Simpang Lima misalnya. Ramai sekali orang yang berkumpul di sana. Mulai dari anak-anak sampai lansia. Untuk ke masjid pun nggak terlalu jauh, jadi tetap aman untuk menjalankan sholat maghrib yang waktunya sangat pendek.

Akhir-akhir ini pasti suasana itu nggak mudah ditemukan. Corona membuatnya berbeda. Setiap orang dianjurkan untuk ngabuburit di rumah. Yang tinggal di daerah hijau lebih beruntung dari mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau kampung yang rumahnya lekat satu sama lain.

Untuk menghibur diri dan menunggu waktu berbuka puasa, nggak asyik kalau hanya duduk di sofa dan nonton TV. Ada kegiatan lain yang kami pilih yakni pergi ke hutan. Waktu yang kami pilih ke sana adalah setelah semua anak selesai mengerjakan tugas dari homeschooling, suami sudah kelar dengan kerjaannya dan saya dengan pekerjaan rumah tangga. Maka ketika meninggalkan rumah, rasanya sudah lega, plong.

Jika dipaksakan pagi hari atau sore hari, rasanya nggak jenak karena ada yang belum terselesaikan. Bukankah jalan-jalan ke hutan untuk tujuan relaksasi?

Pabrik Oksigen (dok-Gana)
Pabrik Oksigen (dok-Gana)
Ilmu pengetahuan alam dari hutan

Ngabuburit di hutan seru, lho.

Bayangkan ketika sedang asyik ngobrol berempat, kaget dengan lewatnya para kawanan babi, rusa, serigala kecil atau burung? "Srrrrrrrttt ...."

Senyum pun akan mengembang ketika menemukan pohon-pohon yang menjulang tinggi atau berdiameter besar. Mereka memberikan keuntungan pada manusia terutama akan kebutuhan akan oksigen.

Pohon Buche misalnya, ia dikatakan sebagai "Sauerstoff-Fabrik." Suatu kali ketika kami sedang ngabuburit di hutan, sebuah pohon yang bisa dipeluk empat orang secara bersama-sama itu memiliki sebuah plang yang menyebutkan nama dan manfaatnya. "Buche; Dieser Baum produziert je Stunde 1,7 kg Sauerstoff. Das entspricht dem Tagesbedarf, den 3 Personnen  mindestens zum Atmen benoetigen" artinya bahwa pohon Buche ini memproduksi 1,7 kg oksigen per jam. Itu sama saja dengan menghidupi 3 orang per hari. Tinggal menghitung saja kalau sehari ada 24 jam. Sudah ada 72 orang per hari yang hidup karenanya. Hitung lagi selama setahun? Ternyata pohon ini sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia di masa sekarang dan masa mendatang.

Kompasianer mau tanam pohon di rumah? Pilihlah pohon ini.

Kami punya satu di kebun belakang. Pohon itu berada di tengah-tengah lahan dan dikelilingi oleh pohon plum, kenari, kacang Hasel, Esche dan ceri.

Senang sih, menyaksikan pohon gondrong berdaun banyak itu. Selain rendang, daerah jadi adem dan sejuk karena kandungan oksigen yang diberikannya. Hanya saja kalau tiba musim gugur. Ya ampun, daunnya jutaan. Untuk bersama-sama membersihkannya, butuh hari. Pernah sekali saya protes supaya suami menebangnya. Setelah tahu betapa bermanfaatnya pohon bagi kehidupan manusia, saya makin sayang. Jangan ditebang. Meskipun pohon menghalangi pemandangan dari teras ke gunung di seberan sana, nggak papa lah.

Membuat smiley dari buah pinus (dok.Gana)
Membuat smiley dari buah pinus (dok.Gana)
Bikin wajah dari bunga pinus di hutan (dok.Gana)
Bikin wajah dari bunga pinus di hutan (dok.Gana)
***

Demikian acara ngabuburit rutin kami di rumah. Ngabuburit di hutan. Selain sehat, ngabuburit di hutan juga asyik sekali ternyata. Kami banyak belajar tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di sana. Sebagai penyuka sirup Hollunder, saya begitu girang menemukan pohon dan bunganya tumbuh liar di sana. Jadi tahu bentuk asli minuman yang selalu saya konsumsi beberapa tetes sebagai pencampur air putih. Atau anak-anak yang senang bertemu anak kijang atau berlomba-lomba mengumpulkan buah pinus dan kreatif membuat lukisan wajah di tanah.

Nggak perlu takut ngabuburit di hutan karena keamanan terjamin. Selama ini belum ada berita tentang begal atau rampok di hutan daerah kami.

Kompasianer pasti punya cara sendiri untuk ngabuburit sampai waktunya berbuka. Ada yang memasak, memanggang kue, mengedit video, menulis, menggambar, mendengarkan radio, membaca, tafsir Al-Quran, melukis, menari, olahraga dan entah apalagi.

Semua itu dilakukan sesuai dengan ketertarikan dan talenta yang ada, betul? Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun