Refleksi Ramadan: Momentum Perbaikan Diri, Hati, dan Pola Pikir
Dalam kasus lain misalnya kita juga tak sering membenci seseorang karena kita berbeda pendapat darinya ketika sedang beradu argumen mengenai berbagai hal. Maka dari itu, Ramadhan menjadi penting karena dapat dijadikan sebuah momentum untuk pembersihan hati dari segala penyakit yang menggerogotinya. Melalui Ramadhan ini harapannya hati kembali suci dan penuh akan ketenangan di dalamnya tanpa harus ada noda yang menempel disetiap dinding-dinding di dalam hatinya.
Terakhir, Ramadhan juga dapat menjadi momentum untuk merubah polah fikir. Menurut hemat penulis pola berfikir masyarakat Nusantara dewasa kini terbagi menjadi dua golongan, yaitu pola berfikir tradisional dan pola berfikir instan. Pola fikir tradisional ini diwakili oleh Generasi Baby Boomers (kelahiran 1946-1964) dan sebagian generasi x (kelahiran 1965-1980). Kelompok usia tersebut sebagian besar masih berfikir sesuai zaman mereka dan cenderung kuno jika dikaitkan dengan kondisi saat ini.
Akan tetapi, sebagian kecil dari mereka juga sudah merasakan kehidupan digital dimana menjadi penyeimbang dari corak berfikir tradisionalnya. Meski pola fikirnya masih tradisional namun merekalah peletak dasar dari pentingnya etika dalam kehidupan saat ini. Karena di zaman ini etika dalam bermasyarakat kurang begitu diajarkan dalam kehidupan sehari-hari dan ini berdampak pada generasi selanjutnya yang sebagian pola fikirnya selalu instan.
Kemudian dari golongan kedua sendiri yang mempunyai pola berfikir instan diwakilkan oleh Generasi Y atau Millennials (kelahiran 1981-1996) dan Generasi Z (Kelahiran 1997-2012). Kedua generasi tersebut lahir ditengah tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahun dan teknologi.
Sejak lahir mereka dijejali oleh kecanggihan daripada teknologi. Hal tersebut menyebabkan dilema tersendiri. Disatu sisi positif karena kehidupan mereka nantinya akan termudahkan dan terbantu dari adanya teknologi, disisi lain mereka akan terdisrupsi oleh adanya teknologi yang nantinya juga mengakibatkan tumbuh pola berfikir serba instan dalam generasi ini yang berdampak pada ketidakmauan untuk berusaha secara ekstra karena sudah hanyut dalam arus teknologi.
Jika Generasi Boomers dan Generasi X tidak begitu terdisrupsi oleh keunggulan teknologi yang berimplikasi pada pola fikir mereka yang cenderung tradisional tapi tetap kompetitif dalam berkehidupan, beda halnya dengan dua generasi selanjutnya yakni Millennials dan Gen Z yang sedari jebol dari rahim sudah terjejal akan teknologi, dimana berefek terhadap pola fikir mereka yang maunya serba instan, serba enak, serba tersedia.
Dari pola fikir itu berimplikasi buruk terhadap diri mereka sendiri dimana rasa kompetitif tidak nampak, rasa malas dalam diri yang begitu tinggi, serta tidak maunya berusaha karena dalam benak dan fikirnya sudah menyerah terlebih dahulu.
Tentu ini menjadi pr bersama untuk kita semua. Pada momen Ramadhan yang penuh akan keberkahan ini marilah kita berfiikir ulang, mari kita mereset kembali, mari kita merestart ulang pola fikir kita agar menjadi pola fikir yang ideal yang progresif revolusioner. Marilah kita integrasikan kedua pola fikir yang sudah dijelaskan sebelumnya yakni pola fikir tradisional dan pola fikir instan. Kita coba satukan pola fikir tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh pada era saat ini.
Dengan harapan kita hidup di Nusantara ini tetap dalam koridor yang gigih, bersemangat, dan kompetitif tanpa perlu terdisrupsi akan kecanggihan dan keunggulan daripada teknologi. Jika kedua pola fikir tersebut telah terintegrasi dan sudah menjadi satu kesatuan yang kongkrit maka dapat kita sebutkan sebuah pola fikir baru yang khas dengan pola fikir Nusantara yakni Pola Fikir Gotong Royong. Pola Fikir Gotong Royong sebagai tonggak dan pegangan dalam berfikir dan berkehidupan yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan etika juga tidak ketinggalan zaman akan inovasi teknologi tanpa perlu terdisrupsi dan hanyut dalam arusnya.