Galih Juang
Galih Juang Mahasiswa

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Refleksi Ramadan: Momentum Perbaikan Diri, Hati, dan Pola Pikir

20 April 2023   17:01 Diperbarui: 20 April 2023   17:13 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Refleksi Ramadan: Momentum Perbaikan Diri, Hati, dan Pola Pikir
Ilustrasi. Sumber Foto: Shutterstock

Sungguh tidak terasa bulan Ramadhan yang penuh akan kebarokahan telah berada di minggu terakhirnya. Hari demi hari dalam bulan suci ini telah kita lewati secara seksama dengan usaha untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dan Penguasa sekalian alam. Di bulan Ramadhan 1444 Hijriah kali ini menjadi istimewa karena dapat menjadi sebuah momentum untuk perbaikan diri, hati, dan pola fikir yang konstruktif.

Jika kita tengok kembali di awal masuknya bulan yang penuh berkah ini juga bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi 1945 Saka bagi umat Hindu. Dipertengahan juga terdapat Hari Raya Paskah bagi umat Kristiani. Hal ini menandakan bahwa Ramadhan kali ini begitu spesial dan istimewa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ramadhan saat ini tidak hanya menjadi momentum bagi yang muslim untuk melakukan pendekatan diri kepada sang khalik, akan tetapi juga menjadi proses peribadatan dan usaha untuk nyawiji terhadap Tuhan Yang Maha Esa bagi umat yang lain. 

Satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada Ramadhan saat ini sangat minim sekali adanya berita yang menyebutkan kalau ada penutupuan warung makan disiang hari secara paksa oleh oknum tertentu dengan alasan harus menghargai orang yang melakukan ibada puasa. Padahal seyogyanya, orang yang berpuasalah yang harusnya bisa menahan diri dari segala pantangan saat berpuasa tanpa mematikan usaha orang lain. Dari hal tersebut kita bisa melihat indahnya toleransi dan keberagaman Nusantara serta kedewasaan diri yang telah diperlihatkan oleh semua insan yang bisa saling menghargai satu dengan yang lain tanpa ada gontok-gontokan.

Bulan Ramadhan ini juga bisa disebut bulan yang penuh ampunan. Dalam artian segala ibadah yang dilakukan akan mendapatkan ganjaran kebaikan bagi orang yang melakukannya. Oleh sabab itulah, banyak orang berbondong-bondong melakukan berbagai kebaikan, entah itu dengan memperbanyak pendekatan terhadap Tuhan ataupun memperbanyak kebaikan terhadap sesama manusia.

Ramadhan juga merupakan sebuah bulan dimana kita sebagai manusia dapat melakukan perbaikan diri. Tentunya perbaikan diri yang diharapkan adalah sebuah perbaikan diri yang menuju ke arah yang positif dan sebisa mungkin untuk menanggalkan berbagai hal yang cenderung negatif. 

Semua manusia tentu pasti memiliki berbagai keburukan dan kekurangan dalam dirinya. Dan terkadang sebagai manusia kita lupa bahwa kita juga tak luput akan kekurangan. Ramadhan seolah menjadi pengingat dan alarm terhadap kita bahwa kita harus menengok dan masuk jauh kembali ke dalam relung-relung diri kita untuk dapat melihat dan merasakan apakah selama ini diri kita sudah dalam jalan kebenaran atau justru telah melesat jauh dari kebenaran yang sudah ditetapkan oleh Sang Kuasa.

Jalan kebenaran seperti apakah yang dimaksud oleh-Nya? Tentu saja jalan kebenaran yang dimaksud adalah sebuah jalan yang telah ditetapkan oleh garis-garis dan haluannya, dimana sudah barang tentu kita harus menghindari segala macam keburukan yang justru menjerumuskan diri kita kepada jurang kegelapan dan kenestapaan.

Dan sudah seyogyanya diri kita melalui Ramadhan ini berusaha kembali dan melaju secara bersama-sama dan berbondong-bondong secara gotong royong ke dalam garis dan haluan yang telah ditetapkan yakni sebuah jalan kebenaran dan kebaikan yang sejati. Dengan harapan nantinya kita akan mendapatkan segala kebaikan dan keberkahan hidup dari-Nya dengan rasa syukur yang selapang-lapangnya.

Selain itu, Ramadhan tahun ini juga menjadi sebuah momentum untuk perbaikan hati. Kenapa kok menjadi momentum perbaikan hati? Karena dalam Ramadhan ini kita semua berkesempatan untuk menghilangkan segala rasa jelek dan penyakit yang ada dalam hati kita. Tidak bisa dipungkiri juga realitanya bahwa sebagai manusia yang penuh akan dosa dan kekurangan kita juga harus sadar bahwa masing-masing dari kita pasti memiliki semacam penyakit hati.

Banyak macamnya penyakit hati, misalnya iri hati dan dengki serta rasa saling tidak suka dan benci terhadap segelintir manusia lainnya. Dalam kasus hidup bermasyarakat contohnya, tak sedikit dari kita mungkin ada yang merasa iri hati dan tidak suka ketika ada tetangga atau sanak famili kita meraih kesuksesan dan menjadi riang hati ketika tetangga atau sanak famili kita mengalami kesusahan dalam hidupnya.

Dalam kasus lain misalnya kita juga tak sering membenci seseorang karena kita berbeda pendapat darinya ketika sedang beradu argumen mengenai berbagai hal. Maka dari itu, Ramadhan menjadi penting karena dapat dijadikan sebuah momentum untuk pembersihan hati dari segala penyakit yang menggerogotinya. Melalui Ramadhan ini harapannya hati kembali suci dan penuh akan ketenangan di dalamnya tanpa harus ada noda yang menempel disetiap dinding-dinding di dalam hatinya.

Terakhir, Ramadhan juga dapat menjadi momentum untuk merubah polah fikir. Menurut hemat penulis pola berfikir masyarakat Nusantara dewasa kini terbagi menjadi dua golongan, yaitu pola berfikir tradisional dan pola berfikir instan. Pola fikir tradisional ini diwakili oleh Generasi Baby Boomers (kelahiran 1946-1964) dan sebagian generasi x (kelahiran 1965-1980). Kelompok usia tersebut sebagian besar masih berfikir sesuai zaman mereka dan cenderung kuno jika dikaitkan dengan kondisi saat ini.

Akan tetapi, sebagian kecil dari mereka juga sudah merasakan kehidupan digital dimana menjadi penyeimbang dari corak berfikir tradisionalnya. Meski pola fikirnya masih tradisional namun merekalah peletak dasar dari pentingnya etika dalam kehidupan saat ini. Karena di zaman ini etika dalam bermasyarakat kurang begitu diajarkan dalam kehidupan sehari-hari dan ini berdampak pada generasi selanjutnya yang sebagian pola fikirnya selalu instan.

Kemudian dari golongan kedua sendiri yang mempunyai pola berfikir instan diwakilkan oleh Generasi Y atau Millennials (kelahiran 1981-1996) dan Generasi Z (Kelahiran 1997-2012). Kedua generasi tersebut lahir ditengah tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahun dan teknologi.

Sejak lahir mereka dijejali oleh kecanggihan daripada teknologi. Hal tersebut menyebabkan dilema tersendiri. Disatu sisi positif karena kehidupan mereka nantinya akan termudahkan dan terbantu dari adanya teknologi, disisi lain mereka akan terdisrupsi oleh adanya teknologi yang nantinya juga mengakibatkan tumbuh pola berfikir serba instan dalam generasi ini yang berdampak pada ketidakmauan untuk berusaha secara ekstra karena sudah hanyut dalam arus teknologi.

Jika Generasi Boomers dan Generasi X tidak begitu terdisrupsi oleh keunggulan teknologi yang berimplikasi pada pola fikir mereka yang cenderung tradisional tapi tetap kompetitif dalam berkehidupan, beda halnya dengan dua generasi selanjutnya yakni Millennials dan Gen Z yang sedari jebol dari rahim sudah terjejal akan teknologi, dimana berefek terhadap pola fikir mereka yang maunya serba instan, serba enak, serba tersedia. 

Dari pola fikir itu berimplikasi buruk terhadap diri mereka sendiri dimana rasa kompetitif tidak nampak, rasa malas dalam diri yang begitu tinggi, serta tidak maunya berusaha karena dalam benak dan fikirnya sudah menyerah terlebih dahulu.

Tentu ini menjadi pr bersama untuk kita semua. Pada momen Ramadhan yang penuh akan keberkahan ini marilah kita berfiikir ulang, mari kita mereset kembali, mari kita merestart ulang pola fikir kita agar menjadi pola fikir yang ideal yang progresif revolusioner. Marilah kita integrasikan kedua pola fikir yang sudah dijelaskan sebelumnya yakni pola fikir tradisional dan pola fikir instan. Kita coba satukan pola fikir tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh pada era saat ini.

Dengan harapan kita hidup di Nusantara ini tetap dalam koridor yang gigih, bersemangat, dan kompetitif tanpa perlu terdisrupsi akan kecanggihan dan keunggulan daripada teknologi. Jika kedua pola fikir tersebut telah terintegrasi dan sudah menjadi satu kesatuan yang kongkrit maka dapat kita sebutkan sebuah pola fikir baru yang khas dengan pola fikir Nusantara yakni Pola Fikir Gotong Royong. Pola Fikir Gotong Royong sebagai tonggak dan pegangan dalam berfikir dan berkehidupan yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan etika juga tidak ketinggalan zaman akan inovasi teknologi tanpa perlu terdisrupsi dan hanyut dalam arusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun