Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Ilmuwan

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Sustainable Puasa, Zakat dan Idul Fitri

21 Juni 2018   15:25 Diperbarui: 21 Juni 2018   15:35 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa bulan yang penuh berkah dan ampunan sudah didepan mata untuk meninggalkan ummat Islam. Ada berbagai macam ekspresi ditunjukkan ummat Islam menjelang berakhirnya bulan suci Ramadahn, ada yang ditunjukkan dengan rasa kesedihan karena dengan berlalunya bulan Ramadhan berarti ibadah yang maksimal kepada Tuhan telah berakhir pula seperti tidak ada lagi sholat trawih dan lain sebagainya. Ada pula dengan ekpresi kebahagiaan karena dengan berakhirnya bulan Ramadhan berarti telah diraihnya kemenangan melawan hawa nafsu dan tradisi mudik tak luput dari rasa kebahagiaan karena bisa merayakan idul fitri bersama sanak keluarga di kampung halaman tentunya dengan saling memaafkan.

Hakikat Fitrah Manusia

Sejatinya manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Kesucian manusia telah disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya yang di riwayatkan oleh imam Bukhari "setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi". Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (QS ar-Rum: 30). Hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Manusia dengan kesucian primordialnya, terkadang mudah terjerumus dan tergelincir ke dalam dosa sehingga menjadikan dirinya tidak suci lagi ini disebabkan oleh kelemahan yang ada dalam diri manusia.

Puasa Sebagai Sarana Latihan

Mengingat manusia yang terkadang mudah terjerumus dan tergelincir ke dalam dosa maka di pandang perlu adanya sarana agar tetap pada jalur fitrahnya. Sarana tersebut berupa ibadah kepada Tuhan sebagai tujuan akhir Manusia yang diantaranya adalah ibadah puasa.

Perintah dan kewajiban berpuasa, sebagaimana yang difimankan oleh Allah swt, dalam Kitab Suci al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS al-Baqarah: 183). Ini merupakan ayat yang sering dikutip oleh para mubaligh dan khatib sepanjang bulan puasa.

Dari ayat al-Qur'an diatas perlu di garis bawahi bahwa ada kata iman. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu tata nilai di jiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un), maka Tuhan adalah asal dan tujuan hidup, bahkan seluruh makhluk.

Adapun kata "puasa", yang sering kita pakai, diambil dari bahasa Sanksekerta dan memiliki arti yang sama dengan kata shawm, yang diambil dari bahasa Arab, yakni pengendalian diri. Pengendalian diri yang dimaksud adalah dalam pengertian dasarnya, yakni pengendalian diri atas dorongan berlaku dosa yang salah satunya tamak, karena tamak merupakan perilaku jahat yang masuk pada diri manusia melalui kelemahan yang terkadang terjerumus dan tergelincir ke dalam dosa (jahat). Pemahaman semacam itu erat kaitannya dengan drama kosmis atau peristiwa kejatuhan Adam dari surga ke bumi. Peristiwa tersebut dalam al-Qur'an diistilahkan dengan hubth.

Zakat Fitrah Sebagai Praktik Latihan

Ibadah puasa merupakan suatu proses latihan manusia agar tidak berprilaku tamak. Ibarat pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, pelatihan saja tidak cukup tanpa praktik atau wujud nyata yang dapat di buktikan dalam menunjang kemajuan perusahaan. Demikian pula dengan ibadah puasa membutuhkan praktik atau wujud nyata dalam kehidupan sosial, wujud nyata tersebut terejawantah dalam bentuk zakat fitrah.

Zakat firah --- pengertian firah yang dikaitkan dengan penciptaan manusia yakni konsep kesucian primordial --- yang berarti zakat penyucian diri yang hakikatnya zakat adalah sebuah proses penyucian yang berdimensi kemanusiaan atau sosial.

Zakat fitrah merupakan penegasan bahwa dalam agama Islam setiap ibadah selalu memiliki korelasi positif dengan amal sholeh yang berdimensi sosial. Seperti halnya shalat yang diawali takbiratul ihram (hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya) dan diakhiri dengan mengucapkan salam (hubungan horizontal), yang berarti memberikan kesejahteraan kepada seluruh manusia, bahkan kepada alam semesta. Paralel dengan shalat adalah ibadat puasa (hubungan vertikal) dan zakat fitrah merupakan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.

Berdasarkan kesepakatan ulama kuantitas zakat fitrah yang wajib dikeluarkan sebesar satu sha', yakni 3,5 liter makanan pokok penduduk setempat. berarti yang wajib dikeluarkan oleh ummat Islam Indonesia adalah 3,5 liter beras sebagaimana beras merupakan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Adapun waktu menunaikan Zakat firah adalah sejak awal bulan Ramadhan sampai (di uatamakan) sebelum shalat'Id mengindikasikan bahwa ibadah puasa sebagai ibadah pribadi juga pada kenyataannya tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosial, yakni menyantuni mereka yang tidak mampu secara ekonomi, agar pada hari raya Idul Fitri semua orang bisa berbahagia, yang sejatinya pada hari yang bahagia tersebut tidak ada orang yang meminta-minta karena kelaparan.

Dengan demikian, Salah satu fungsi dari zakat adalah sebuah upaya dalam pengentasan kemiskinan. Dengan menunaikan zakat berarti telah melakukan distribusi kekayaan yang pada akhirnya kekayaan dan perputaran ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang (devil circle), karena hal itu merupakan potensi ketamakan manusia.

Ekonomi Mudik

Tak dapat dipungkiri, bahwa perpuataran ekonomi lebih cepat dan lebih banyak di kota-kota besar. Pada era orde baru kita mengenal dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang terlalu Jawa sentries, sehingga kucuran ekonomi ke daerah-daerah sangatlah minim. Permasalahan itu dapat sedikit terkikis dengan adanya budaya mudik. 

Pulangnya para pemudik ke daerah asalnya dapat membawa dampak pemerataan ekonomi ke daerah-daerah. Contoh sederhana, ketika mudik tiba para pemudik tentu mempersiapkan segala macam kebutuhannya. Kebutuhan tersebut misalnya mulai dari bekal selama perjalanan sampai memberikan angpao untuk sanak keluarganya, tentu dengan sejumlah uang. Disepanjang jalur utama mudik banyak warga menawarkan barang dan jasa, mulai dari makanan, minuman, jasa pijat dan lain sebagainya, di daerah asalnya mereka dapat mendongkrak daya beli dan semacamnya.

Saling Memaafkan

Mudik menjelang hari raya idul fitri merupakan fenomena yang lumrah bagi ummat Islam Indonesia. Budaya mudik merupakan dorongan alamiah atau fitri manusia, yakni mereka ingin kembali kepada hal-hal yang berdimensi asal, seperti ingin kembali kepada orang-orang yang paling dekat atau ibu-bapak dan saudara. Para peranatau menjadikan mudik saat idul fitri sebagai medium bermaaf-maafan kepada orang terdekatnya setelah mereka menjalani penyucian diri (memohon ampunan-Nya dan berpuasa sebulan penuh). Bagi para perantau hari raya idul fitri tanpa mudik nyaris tak bermakna.

Setiap orang tentulah selama hidupnya pernah berbuat dosa, seperti yang disabdakan dalam hadis Nabi saw yang berbunyi, "Setiap keturunan Bani Adam (manusia) pernah berbuatkesalahan. Dan sebaik-baik orang yang membuat kesalahan adalahyang bertobat," (HR Tirmiszi, Ibn Majah, dan ad-Darimi). Dosa kepada Allah dianjurkan segera bertobat kepada Allah (haqqullah) apalagi dalam suasana bulan Ramadhan yang identik dengan bulan penuh ampunan. Sedangkan dosa atau kesalahan kepada manusia dalam Islam akan diampuni apabila meminta maaf kepada orang yang bersangkutan (haqqul adami)

Di era digital saat ini arus informasi sangat cepat. Dengan memanfaatkan arus informasi yang sedemikian cepatnya ummat Islam menyebarkan broadcast di berbagai media sosial, hal semacam itu tentunya baik-baik saja karena esensinya adalah meminta maaf kepada teman atau kerabat yang memang jauh. Dengan sendirinya silaturahmi tetap dapat dilakukan tanpa ada alasan jarak.

Sustainable

Dengan selesainya ibadah puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri dengan berbagai aktivitasnya, khususnya saling bermaafan, dengan sendirinya menjadikan hari raya Idul Fitri benar-benar mengandung makna fitri yang berarti kesucian. Ada dua pelajaran yang perlu berkelanjutan. Pertama, Orang beriman selama bulan puasa telah menjalani tobat, meminta ampunan Allah SWT sebagai simbolisasi dimensi vertikal. Kemudian disusul dengan permintaan maaf kepada sesamanya sebagai simbolisasi dimensi horizontal.

Kedua, orang beriman menjalani ibadah puasa sebagai latihan untuk tidak tamak. Kemudian disusul dengan zakat fitrah sebagai wujud ketidak tamakannya terhadap harta kekayaan, pemerataan ekonomi serta menyantuni anak yatim dan orang miskin yang tidak hanya dilakukan di bulan puasa, tetapi juga terus dapat berkesinambungan sehingga kepekaan batin terus terpelihara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun