Memahami Tumbuhan dan Kewarasan Cak Dlahom
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan selama bulan Ramadan, salah satunya adalah membaca buku. Lalu pertanyaannya, buku bacaan apa yang layak disimak selama Ramadan?
Membaca buku menjadi hal penting karena dapat meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, dan mengurangi stres.
Selain itu, secara pribadi, membaca bagi saya merupakan upaya merefresh ingatan dan catatan-catatan pustaka sebagai sumber ide menulis.
Artinya, buku-buku bacaan saya bisa saja tidak harus buku-buku baru, tetapi meliputi buku lawas yang menjadi koleksi dan tersimpan di almari buku.
Secara mainstream, pada bulan Ramadan, kita biasanya lebih berfokus pada buku bacaan Islami, misalnya memperdalam tafsir Al Qur'an, Hadits, atau membaca buku Keajaiban-keajaiban Hati (Al-Ghazali), Seni Merayu Tuhan (Husein Ja'far Al Hadar), Muslim Produktif (Muhammed Faris), Paradigma Islam rahmatan lil 'alamin (Abdurrahman Mas'ud), dan Nalar Tasawuf sebagai Revolusi Pendidikan Islam (Istania Widayati Hidayati).
Selain buku-buku Islami, tentu bolehlah kita membuka-buka dan membaca buku sesuai dengan minat, keinginan, serta bidang yang kita tekuni.
Ada dua buku yang saya baca ulang di sela-sela kesibukan selama Ramadan. Kebetulan buku-buku itu merupakan buku lawas yang tetap menarik karena menggambarkan bagaimana hubungan manusia dengan sesama, Tuhan, bahkan bagaimana manusia memaknai dirinya sendiri dalam kaitannya dengan alam semesta, memahami sangkan paraning dumadi.
Menurut Iman Budhi Santosa, hubungan wong cilik di Jawa dengan tumbuhan pada masa lalu diam-diam telah menjelma "dunia lain" di luar sejarah mainstream yang dibakukan dan dibukukan.
Bersama tumbuhan, mereka membangun semacam "hutan lindung" yang nyaman dan aman guna menemukan identitas dan kemandirian di tengah hiruk-pikuk zaman dan perebutan kekuasaan tak henti-hentinya.
Lewat buku setebal lebih dari empat ratus halaman ini, saya disadarkan bahwa tumbuhan mencerminkan sikap hidup orang Jawa yang menerima secara tulus dan ikhlas atas kodrat yang diterima maupun diberikan dalam kehidupan di alam semesta-nrima ing pandum (Renvile Siagian).
Lebih dari itu, ternyata nama tumbuhan dilekatkan menjadi nama jalan yang tidak semua orang menyadarinya. Sebagai contoh Bulungan (Metroxylon spec), Wangon (Olax scandes), Walikukun (Schoutenia ovata/Actinophora buurmani), Sampang (Evodia latifiola), dan Kedu (Planchonella nitida).
Jadi jangan heran jika pribahasa Jawa pun merujuk pada tumbuhan, misalnya aja kaya godhong trembesi, turu angler saben bengi-jangan seperti daun trembesi yang tidur nyenyak setiap malam sehingga meninggalkan kewaspadaan (beribadah) yang seharusnya tetap dijaga dalam keadaan apa pun.
Buku mengenai ajaran Islam ini disampaikan dengan guyonan parikena-diceritakan dengan tidak serius, tapi menghujam di hati.
Setelah membaca beberapa cerita di dalam buku ini, kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah menunaikan ajaran Islam dengan sesungguhnya, atau begitu naifnya kita merasa sudah benar sebenar-benarnya dalam menjalankan ibadah dengan ikhlas?
Buku setebal lebih dari dua ratus halaman ini terbagi dalam dua bagian: Ramadan Pertama (terdiri atas empat belas cerita mutiara hikmah) dan Ramadan Kedua (terdiri atas enam belas cerita mutiara hikmah).
Bukan tanpa alasan kalau buku ini dibuka dengan cerita "Benarkah Kamu Merindukan Ramadhan?" Menceritakan bagaimana Cak Dlahom mengkritisi spanduk yang terpasang di masjid kampungnya dengan bertanya kepada sahabatnya, Mat Piti, apakah ia benar-benar rindu atas datangnya Ramadan?
Tentu pertanyaan nylekete ini tidak hanya menjadi perenungan Mat Piti, tetapi bagi semua yang membaca buku ini: apakah kita benar-benar merindukan Ramadan atau justeru kita merasakan Ramadan hanya sebagai kewajiban melakukan tarawih, zakat, memperbanyak membaca Al Qur'an, dan sedekah?
Kehebohan lain terjadi saat Cak Dlahom (dalam cerita "Membakar Surga, Menyiram Neraka") mengatakan bahwa orang-orang yang melaksanakan salat di masjid merupakan orang-orang yang celaka.
Mereka hanya khusyuk berdoa, tetapi tidak peduli kepada nasib orang desa yang hidupnya sengsara. Hal ini memberi kesadaran kepada pembaca bahwa beribadah tidak hanya sibuk memanjatkan doa kepada Allah SWT, tetapi juga peduli dengan sesama.
Pertanyaan lain dilontarkan Cak Dlahom,
bagaimana kamu akan mengenali Allah, sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kau tulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kau gunakan mencuri dan membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya ("Ikan Mencari Air, Mat Piti Mencari Allah").
Di bulan Ramadan ini, ada baiknya kita memberikan contoh positif dengan membaca beberapa buku secara terbuka dan aktif sebagai upaya membantu meningkatkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat.