Bukber dengan Teman Lama: Melangkah atau Menghindar?
Saat senja mulai beranjak, menjelang waktu maghrib, sebuah dilema muncul di benakku. Hari itu aku menerima undangan buka puasa bersama teman-teman lama. Kegiatan yang sekilas terkesan hangat dan penuh dengan nostalgia, justru mengundang pertanyaan besar yang menggantung di ruang pikiran: apakah aku siap menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam acara tersebut?
Momen Flashback yang Bersatu dalam Doa dan Takjil
Pengalamanku tentang buka puasa bersama teman lama, hingga kini masih bersarang manis di ingatan. Ada semacam keajaiban ketika duduk bersama di menit-menit penuh harap menjelang adzan maghrib, berbagi takjil, yang seringkali diiringi canda tawa dan obrolan ringan. Kami bertukar cerita, berbagi kisah suka dan duka, seraya menyantap makanan yang disajikan. Kesibukan dan jarak yang sempat membentang tak lagi terasa, semua terobati dalam buka puasa bersama.
Kawan Seperjuangan atau Hanya Kenal Saja?
Namun di sisi lain, ada keraguan yang mengendap. Seiring berjalannya waktu, kita tumbuh dan berubah, tak selalu sejalan dengan yang lainnya. Apakah kami yang akan bertemu nanti masihlah teman yang sama dengan yang dulu kukenal, ataukah sekarang kami hanya sekadar berkumpul dengan masa lalu yang sama? Persoalan inilah yang membuatku bertanya-tanya, haruskah aku membuka kembali pintu kenangan itu, atau membiarkannya terkunci oleh waktu?
Transformasi setiap teman: Membuat Insecure atau membuat bangga?
Perubahan adalah hukum kehidupan yang tak terhindarkan. Aku mengerti bahwa setiap orang berubah, berkembang, dan bertumbuh menjadi versi yang berbeda dari yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Menghadiri buka puasa bersama, aku akan dihadapkan pada realita bahwa teman lama bisa saja bukan lagi orang yang dulu pernah aku tahu. Dapatkah aku menerima perubahan dan perbedaan tersebut, atau justru akan terus mencari bayangan masa lalu dalam diri mereka?
Saling Membandingkan Diri? Ini Bukan Lelucon
"Gajimu pasti lebih tinggi dari aku sekarang."
"Kamu mah sudah enak ya sekarang, sudah punya usaha sendiri."
"Eh, kapan menikah?"
Lalu ada gosip dan saling membandingkan satu sama lain yang kadang merajalela dalam pertemuan seperti ini. Aku ingin bertemu untuk merayakan persahabatan dan kebersamaan, bukan untuk 'kompetisi' pencapaian atau pamer keberhasilan. Potensi situasi yang kurang menyenangkan ini harus kucermati, karena aku datang bukan untuk dihakimi atau menghakimi.
"Ya" untuk Kenangan, "Tidak" untuk Ketidaknyamanan
Maka dari itu, dalam memutuskan mengikuti undangan buka bersama teman lama ini, aku harus memilih dengan hati. Jika aku yakin kehadiranku akan memberikan kenyamanan dan kebahagiaan bagi diriku dan teman-temanku, maka aku akan mengatakan "ya". Namun, jika aku merasa akan ada beban atau ketidaknyamanan, mungkin lebih bijak untuk mengucapkan "tidak" pada kesempatan ini.
Kesimpulan: Menemukan Nilai dalam Kehangatan
Pada akhirnya, pengalamanku memutuskan untuk bergabung buka puasa bersama dengan teman lama adalah tentang menemukan keseimbangan antara mengingat masa lalu dan menerima kenyataan sekarang. Ini tentang menciptakan kenangan baru tanpa merusak yang lama, ini tentang menyatukan hati dalam doa saat adzan berkumandang, juga bersujud ketika sholat magrib berjamaah, sehingga bisa membebaskan kita dari aturan dunia menuju kehangatan yang lebih suci.
Sebagai penutup, buka puasa bersama teman lama bagi aku adalah kesempatan untuk menjawab "ya" jika itu untuk persahabatan, dan "tidak" untuk saling membandingkan dan menghakimi.
Kembali lagi, setiap perkumpulan mempunyai masalalu yang berbeda-beda. Pilihan untuk hadir atau tidak adalah penghormatan untuk diri sendiri sekaligus bagi lembaran lama yang pernah kita rangkai bersama.[]
Ikko Williams
Magelang, 14 Maret 2024