Ketupat Sebagai Lambang Pengendalian Nafsu
Idul Fitri merupakan salah satu hari raya bagi umat Islam. Di Indonesia, Idul Fitri juga disebut Lebaran. Setelah selesai berpuasa di bulan Ramadan, umat Islam merasa gembira dengan datangnya Idul Fitri. Kegembiraan itu diwujudkan dengan berbagai macam tradisi, seperti takbiran dan saling berkunjung ke rumah kerabat dan tetangga.
Untuk menghormati tamu, biasanya disediakan berbagai macam makanan dan minuman. Salah satu makanan khas Lebaran di Indonesia adalah ketupat. Ketupat konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Dalam bahasa Jawa, ketupat disebut kupat yang berarti ngaku lepat (mengaku salah) dan laku papat (empat tindakan).
Proses ngaku lepat biasanya dilakukan dengan meminta maaf kepada keluarga, terutama orang tua, kerabat, tetangga, dan teman. Jika orang sudah mengaku salah, diharapkan hatinya seperti kupat yang dibelah, putih bersih tanpa noda.
Adapun laku papat diuraikan dengan empat istilah, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Lebaran berarti akhir dan usai, yaitu menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan siap menyongsong hari kemenangan.
Luberan bermakna meluber atau melimpah, layaknya air yang tumpah dan meluber dari bak air. Luberan diwujudkan dengan zakat dan sedekah, berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin. Hal ini diharapkan akan membahagiakan para fakir miskin dan bisa mengurangi angka kemiskinan.
Leburan berarti habis dan melebur, yaitu saling melebur dosa dengan saling memaafkan. Dengan kata lain, dosa di antara sesama manusia dimulai dari nol kembali.
Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair. Dalam hal ini, laburan dimaknai bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih nan putih seperti kapur.
Kemasan ketupat terbuat dari janur, yaitu daun muda dari beberapa jenis palma besar, terutama kelapa, enau, dan rumbia. Janur dipilih karena diyakini sebagai simbol kemakmuran dan keberkahan.
Janur konon diserap dari bahasa Arab, ja`a nur yang berarti telah datang cahaya. Janur dalam bahasa Jawa juga dimaknai sebagai jatining nur (hati nurani). Janur dirangkai dengan cara dianyam. Anyaman janur menggambarkan kompleksitas atau keragaman masyarakat yang harus direkatkan dengan silaturrahim. Bentuk anyaman janur memiliki empat sudut yang menggambarkan mata angin dan salah satunya menjadi arah kiblat.
Janur yang sudah dirangkai menjadi wadah kemudian diisi beras, lalu dimasak. Beras merupakan bahan makanan pokok yang menjadi salah satu kebutuhan primer manusia. Kebutuhan ini tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dengan demikian, isi ketupat menggambarkan nafsu duniawi.
Dari isi dan kemasannya, ketupat secara keseluruhan melambangkan nafsu duniawi yang dikendalikan oleh hati nurani. Setelah berpuasa selama satu bulan, manusia seharusnya bisa mengendalikan hawa nafsunya. Jika berhasil, dia akan betul-betul kembali kepada fitrahnya, seperti bayi yang baru lahir tanpa dosa.