Tradisi Bukber dan Silaturahmi Politik Menuju Koalisi Besar
Tradisi buka puasa bersama atau sering disingkat dengan "bukber", sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala di negara kita, bahkan diperkirakan di zaman penjajahan pun sudah ada.
Tapi, tentu saja, di zaman dahulu konteks bukber bermakna tunggal, yakni semata-mata ajang saling berbagi sambil menjalin silaturahmi.
Makanya, kelaziman yang sudah mentradisi itu berupa sumbangan makanan dari mereka yang punya kemampuan, untuk diserahkan kepada pengurus masjid tertentu.
Lalu, warga di lingkungan masjid tersebut dipersilakan ikut bukber sambil melaksanakan salat magrib berjamaah.
Bahkan, siapa pun yang datang, termasuk warga yang dalam perjalanan dan singgah sejenak di masjid itu, dipersilakan ikut bukber.
Dalam perkembangannya, bukber bercampur dengan dunia lain, seperti kepentingan koordinasi antar instansi pemerintah, dengan mengambil momen acara bukber.
Hanya saja, untuk tahun ini sudah ada larangan bukber bagi aparatur sipil negara (ASN) yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di awal bulan puasa.
Namun demikian, bukber bagi pihak swasta tetap dibolehkan. Maka, jangan heran kalau bukber menjadi ajang bisnis antar pengusaha dan pelanggan.
Nah, berhubung sekarang kita sudah memasuki tahun politik dalam rangka menuju Pilpres 2024, acara bukber pun sudah dimasuki oleh berbagai kepentingan politik.
Beberapa parpol tingkat cabang diberitakan menggelar bukber dengan mengundang anak yatim. Ini tentu sesuatu yang positif.
Bukber bisa jadi dilakukan pula oleh calon legislatif dengan warga masyarakat di daerah yang termasuk daerah pemilihan si calon pada pemilu mendatang.
Tapi, menarik mencermati bukber antar elit parpol di tingkat pusat. Paling tidak, sejauh ini sudah digelar 3 kali bukber seperti itu.
Pertama, acara bukber yang dilakukan Partai Nasdem, berlangsung cukup meriah dengan dihadiri sejumlah politisi lintas partai, pada Sabtu (25/3/2023) lalu.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pada kesempatan itu membicarkan peluang terbentuknya koalisi besar dengan Partai Gerindra, Demokrat dan PKS.
Seperti diketahui, ketiga partai yang disebut oleh Airlangga di atas, merupakan anggota Koalisi Perubahan (KP), yang berencana mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Adapun Golkar sendiri, tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) besama dua parpol lainnya, PPP dan PAN.
Sampai saat ini, masih belum diumumkan siapa yang bakal diusung KIB sebagai capres dan cawapres.
Namun, secara personal, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sepertinya "naksir" pada sosok dari luar KIB, yakni Prabowo dari Gerindra dan Ganjar Pranowo dari PDIP.
Kedua, pada acara buka puasa bersama yang dilakukan oleh PAN (2/4/2023), juga mencuat isu akan terbentuknya koalisi besar.
Bukber PAN bahkan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, di samping juga dihadiri oleh pimpinan parpol lain anggota KIB, serta Ketua Umum Gerindra Prabowo dan Ketua Umum PKB Cak Imin.
Ketiga, bukber yang terbatas pada 2 parpol saja, yakni antar pengurus pusat (PP) Gerindra dan PKB (10/4/2023), di mana Prabowo dan Cak Imin bertemu secara langsung.
Kedua parpol tersebut telah membentuk koalisi, katakanlah koalisi kecil yang dinamakan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Namun demikian, KKIR beberapa kali menyatakan keterbukaannya untuk menerima parpol lain yang mau bergabung. Artinya, KKIR pun menginginkan sebuah koalisi besar.
Jelaslah, ada "Hikmah Ramadan" melalui acara bukber, yakni terjalinnya sialturahmi antar parpol, terlepas dari apakah nantinya akan terbentuk koalisi besar atau tidak.
Tapi, bagi masyarakat banyak, tentu ada juga sisi negatif jika terbentuk sebuah koalisi besar. Persaingan antar parpol akan berkurang dan pilihan bagi masyarakat juga menyempit.
Alangkah baiknya, jika KP tetap eksis dengan mencalonkan Anies, KKIR dan KIB bergabung untuk mengusung Prabowo, serta PDIP sebagai partai terbesar saat ini juga punya capres sendiri.
PDIP tinggal memilih siapa di antara 2 kader terbaiknya, Puan Maharani atau Ganjar Pranowo yang akan diusung pada Pilpres 2024.