Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Guru

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Buka Bersama Penghabisan

20 April 2023   19:55 Diperbarui: 20 April 2023   20:08 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buka Bersama Penghabisan
Menunggu beduk Maghrib bertalu (dokpri)

"Bukber Hemat Tetap Nikmat"


Sekolah kami tak memiliki baju seragam. Muridnya ratusan dan meliputi segala lapisan usia. Ada murid murid seusia anak SD. Ada yang seusia murid SMP dan SMA. Ada juga yang telah berusia dewasa. Mereka ini murid-murid yang telah bekerja dan berkeluarga.


Setiap hari belajar, biasanya hari Sabtu dan Minggu, kelas dipenuhi para siswa yang disebut warga belajar. Sekolah kami memang berbeda makanya sebutan untuk anak didiknya pun berbeda.

Para warga belajar selalu bersemangat setiap hari belajar itu. Mereka datang dengan mengenakan baju yang beraneka. Kan sekolah kami tak memilki seragam. Ada yang mengenakan pakaian kerja. Ada yang berjaket seperti pengendara motor umumnya. Ada pula yang berbusana syar'i. Warga belajar laki-lakinya megenakan atasan berupa kemeja koko dan bawahan berupa celana komprang dan cingkrag sehingga terlihat bagian mata kaki.

Warga belajar perempuannya mengenakan busana panjang. Biasanya berwarna hitam dan memakai kerudung panjang. Bagian wajah tertutup hijab yang disebut cadar. Dengan mengenakan cadar yang tampak hanya kedua bola mata. Di bagian ini disediakan lubang memanjang. Ada juga yang melengkapi bagian mata ini dengan kain tembus pandang.

Suasana kelas terlihat semarak dengan beragamnya pakaian yang dikenakan. Suasananya mirip momen saat pembagian raport di sekolah-sekolah umum. Ada kaum ibu, bapak, juga anak-anak siswa. Mereka duduk di kursi dan meja kelas. Sementara di depan berdiri bapak atau ibu guru yang berbicara dengan suara yang keras.

Begitulah suasana sekolah kami. Walau dianggap berbeda, kami tak merasa minder. Kami menganggap bila perbedaan ini sebagai jalan hidup yang kami pilih. Dengan bersekolah di sini kami memilki keleluasaan waktu untuk melakukan hal yang lain seperti bekerja atau mengurus rumah. Dan kami masih memilki waktu untuk menuntut ilmu.

Pada bulan Ramadan sekolah mendapat libur pada awal bulan ini. Selanjutnya kami masuk seperti biasa. Aku datang untuk mengajar pada hari Sabtu. Waktunya dari pukul tiga hingga menjelang maghrib. Di hari yang lain pembelajaran berakhir pukul enam.

Saat bulan puasa memasuki minggu kedua, pimpinan sekolah mengadakan acara buka puasa bersama. Acara ini membawa suasana gembira pada seluruh warga sekolah. Para warga belajar dengan penuh suka cita merencanakan kegiatan. Mereka memilih-milih tempat makan yang cukup luas sehingga dapat menampung seratusan orang yang akan mengikuti acara.

Mereka melihat-lihat daftar menu. Merencanakan jenis makanan yang akan kami nikmati. Semua didasarkan pada selera dan kemampuan finansial yang kami milki. Sehingga dipilih menu yang murah, cepat, dan rasanya nikmat rentu saja.

Aku mengamati Chandra ketua acara ini. Ia yang tampak paling sibuk. Lebih energik ketimbang rekan-rekannya. Chandra yang wara-wiri datang ke sekolah. Ia datang saat hari pemnelajaran, Sabtu dan Minggu. Ia juga datang di luar dua hari yang telah ditentukan itu.

Chandra telah memilihkan tempat  berbuka bagi kami. Letaknya di tengah kota, di kompleks mesjid milik perguruan tinggi ternama. Tempatnya nyaman, meja tempat makannya menyebar di setiap sisi. Tempat ini berupa kafe dengan dinding-dinding yang berjendela besar.

Menu makan bagi kami telah disebar dalam grup WhatsApp. Tersedia menu tradisional nasi tutug oncom, nasi uduk, dan nasi pepes atau nasi bakar. Beraneka minuman sari buah tersedia pula. Bagi yang gemar kopi, minuman ini tersedia dalam beragam pilihan.


Saat acara buka bersama tiba kami semua berkumpul. Kami duduk di kursi-kursi yang telah Chandra pesan. Kami mendengarkan ceramah Ustadz Ayi, rekan sesama guru, menjelang beduk berbunyi. Tak lama kami segera menyantap menu pilihan masing masing. Kami makan dengan gembira. Kegembiraan seorang yang berpuasa menjalani waktu berbuka. Kegembiraan berikutnya kelak kami jemput, saat bertemu Allah pencipta alam semesta. Begitu pesan ceramah Ustad Ayi.

Chandra masih belum membatalkan puasanya. Ia berjalan ke sana ke mari mendekati meja-meja tempat kami berada. Ia ingin memastikan kami semua telah mendapatkan makanan takjil dan hidangan utama. Ia juga bolak balik menemui pelayan kafe, menyampaikan pesanan tambahan kami. Chandra mengisi hari berbuka itu dengan perkhidmatan kepada kami.

Dua bulan berlalu sejak acara sore di kafe itu. Ibu pimpinan mengirim pesan duka. Berita kepergian warga belajar bimbingan kami. Bukan kepergian biasa, namun kepergian menghadapa Sang Khalik, Ilahi Rabbi. Kepergian yang akan kita hadapi nanti. Pada saatnya kita semua akan pulang ke haribaan Allah SWT.

Berita itu begitu menghentak perasaan. Aku seakan tak percaya pada pesan yang baru kubaca. Pesan kematian yang berisikan satu nama warga belajar. Anak muda yang membaktikan waktu, tenaga, dan pikirannya bagi kami. Saat berlangsungnya acara buka bersama itu. Anak muda yang menunda waktu betbukanya demi melayani kami. Ya anak muda itu, Chandra namanya. 

Selamat jalan, Chandra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun