Junaedi
Junaedi Lainnya

Lahir dan tumbuh di Wonosalam, kawasan pertanian-perkebunan dataran tinggi di Jombang bagian selatan. Seorang pencangkul dan penikmat kopi. Dapat ditemui di www.pencangkul.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Baju Baru Lebaran, Haruskah?

27 Maret 2024   10:58 Diperbarui: 27 Maret 2024   11:18 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baju Baru Lebaran, Haruskah?
Membeli Baju (Kompas.com)

Baju baru Alhamdulillah 

Tuk dipakai di hari raya 

Tak punya pun tak apa-apa

Masih ada baju yang lama

BEGITULAH sebuah syair lagu yang populer sejak 1997 dan sampai saat ini masih sering diputar ketika momentum menjelang Idul Fitri atau Lebaran. Lagu yang dinyanyikan oleh Dea Ananda, penyanyi cilik ketika itu, yang sesungguhnya penuh dengan pesan moral dan anjuran kebajikan.

Puasa Ramadan sekarang ini memang baru setengah bulan kita jalani, namun suasana pasar dan juga suasana hati penuh kegembiraan menjelang Lebaran mulai terasa. Saat menjelang Lebaran ada satu hal yang tak boleh dilupakan yaitu tradisi membeli baju baru. Bagi sebagian banyak orang, baju baru bukanlah sekadar pakaian biasa, melainkan simbol kebahagiaan dalam menyambut hari kemenangan.

Di Indonesia, tradisi membeli baju baru untuk Lebaran sudah menjadi bagian dari budaya sejak zaman dahulu. Setiap tahun, para pedagang pakaian mulai menyiapkan koleksi terbaik mereka dan menawarkan kepada masyarakat dengan berbagai desain dan model yang menarik. Para pembeli pun tak kalah antusias, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, semua ingin tampil istimewa di hari yang juga istimewa ini.

Memakai baju baru saat Lebaran bukan hanya sekadar untuk bergaya atau semata-mata mengikuti tren. Lebaran juga merupakan momentum penting untuk bersilaturahim dengan keluarga dan teman-teman. Dengan berpenampilan baru, barangkalai akan membuat lebih percaya diri dan bahagia dalam bertamu atau sebaliknya menyambut tamu yang datang berkunjung.

Dalam konteks ekonomi membeli baju baru setidaknya bisa mendorong perputaran uang karena adanya transaksi jual beli. Survei yang dilakukan oleh Populix pada 2022 lalu bahwa sebanyak 43% responden mempersiapkan Ramadan dengan membeli baju baru, dimana angka ini lebih tinggi dibanding dengan yang mempersiapkan Ramadan dengan membeli perlengkapan sholat yang sebanyak 30% responden.

Namun, dibalik tradisi membeli baju baru ini, ada juga sisi lain yang perlu diperhatikan. Fenomena baju baru sering kali menimbulkan dampak negatif, terutama terkait dengan konsumsi berlebihan dan dampak ekologi, apalagi yang diproduksi atau dijual baju yang sifatnya fast fashion. Banyak dari kita tergoda untuk membeli baju baru setiap tahun, tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan. Dan industri fashion merupakan salah satu industri yang paling berkontribusi terhadap polusi lingkungan. Proses produksi tekstil yang menggunakan bahan kimia berbahaya dan energi yang besar dapat merusak lingkungan sekitar. Selain itu, banyak pakaian yang dibuang setelah dipakai hanya beberapa kali, menambah beban limbah tekstil yang sulit terurai.

Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan cara yang lebih bertanggung jawab dalam membeli baju baru untuk Lebaran. Salah satu langkah yang dapat kita lakukan adalah dengan memilih baju dari bahan ramah lingkungan, seperti bahan organik atau daur ulang. Selain itu, kita juga bisa memilih untuk membeli baju dari produsen yang peduli lingkungan, dengan memperhatikan proses produksi yang lebih berkelanjutan.

Selain dampak lingkungan, tradisi membeli baju baru untuk Lebaran juga dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi. Banyak dari kita terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak terkendali, membeli baju baru hanya untuk mengejar tren atau untuk menunjukkan status sosial. Hal ini dapat menimbulkan tekanan finansial yang berlebihan, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas.

Untuk menghindari dampak negatif ini, sebaiknya kita membeli baju baru dengan bijak. Kita bisa memilih baju yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita, tanpa harus terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak sehat. Lebaran bukanlah tentang seberapa mahal atau seberapa banyak baju yang kita miliki, melainkan tentang kebersamaan dan kebahagiaan dalam menyambut hari yang penuh berkah ini. Dengan demikian, kita dapat menyambut Lebaran dengan lebih bermakna, tanpa harus mengorbankan lingkungan dan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun