(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Yuk, Basasambang Religi ke Banjarmasin!
Basambang atau Basasambang merupakan bahasa Banjar yang arti dan maknanya kurang lebih sama dengan ngabuburit. Ya ngabuburit aktifitas yang telah menjadi "budaya" masyarakat muslim dalam mengisi waktu menjelang berbuka puasa di bulan suci Ramadhan.
Kota Banjarmasin yang dikenal dengan julukan Kota 1000 Sungai, seperti halnya kota-kota lain di muka bumi, juga mempunyai lokasi Basasambang khas dan spesifik yang berasa banget rasa Banjar-nya.
Karena kita berada di bulan suci Ramadhan, maka tema basasambang kita kali ini adalah basasambang religi, rekomendasi utama adalah basasambang ke 3 (tiga) masjid paling ikonik yang menjadi landmark Kota Banjarmasin, yaitu :
Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah
Masjid tertua di Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan ini dibangun oleh Sultan Suriansyah pendiri sekaligus Suktan pertama Kesultanan Banjar di abad 16. Sabagai sarana tempat ibadah sholat wajib berjamaah bagi seluruh masyarakat di kota raja.
Masjid yang dibangun dengan konstruksi kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) ini benar-benar akan menghadirkan suasana Banjarmasin dimasa lampau.
Kalau diperhatikan dengan seksama, model arsitektur Masjid Sultan Suriansyah mirip sekali dengan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah. Lho kok bisa!? Hal ini terkait dengan sejarah bedirinya Kota Banjarmasin.
Berawal dari kehadiran Khatib Dayyan, mubaligh yang juga panglima perang Kesultanan Demak utusan Sultan Trenggono yang bertugas untuk membantu Pangeran Samudra mempertahankan diri dari serangan pamannya sendiri, Pangeran Tumanggung dari Kerajaan Daha.
Berkat kelihaian diplomasi yang dibangun oleh Khatib Dayyan, akhirnya perang saudara antar paman dan keponamakan itu berakhir manis, keduanya berdamai dan akhirnya Pangeran Tumanggung mengakui kedaulatan Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh keponakannya, Pangeran Samudra. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tanggal 24 September 1526 yang akhirnya diabadikan sebagai hari jadi Kota Banjarmasin.
Atas referensi dari Khatib Dayyan inilah akhirnya Sultan Suriansyah membangun masjid yang bentuk, model dan gaya arsitekturnya mirip dengan Masjid Agung Demak, tapi tetap mempertahankan ciri kearifan lokal khas Banjar dalam beberapa konstruksi dan proses membangunnya.
Selain bisa melihat keindahan arsitektur bangunan kayu khas urang Banjar, di halaman masjid ini tiap Ramadhan juga terdapat pasar wadai, jadi pengunjung juga bisa wisata kuliner dan budaya di daerah yang dulunya pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Untuk bacaan lengkap bisa mengunjungi artikel saya berikut ini, Masjid Sultan Suriansyah, Monumen Berdirinya Kota Banjarmasin
Masjid Jami Sungai Jingah
Secara fisik masjid yang mempunyai desain arsitektur perpaduan/akulturasi beberapa budaya antara lain Banjar, Jawa, dan beberapa sentuhan kolonial ini, sampai saat ini tetap kokoh berdiri dengan ornamen-ornamen ukiran kuno khas Kesultanan Banjar dan beberapa tambahan hiasan ornamen akulturasi beberapa budaya yang masuk dalam skema budaya Banjar secara natural saat dilakukan pemugaran sekitar abad 18.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, salah satunya tertulis dalam sebuah prasasti berbentuk plakat kuningan yang terletak di samping mimbar "Tarikh didirikan Masjid asal adalah hari Sabtu, 17 Syawal tahun 1195 (tarikh tahun juga terdapat pada kayu penyangga bedug di pendopo pintu masuk depan utama) H Sultan Tamdjidillah dan dicabut 11 Rajab tahun 1353 umurnya 157 Tahun 8 bulan 245 hari.
Tarikh didirikan masjid baru hari Ahad 16 Zulhijjah 1352. Mufti H. Ahmad Kusasi", diperkirakan Masjid Jami yang lama didirikan pada tahun 1195 H (1777 M). Lokasi awal masjid ini adalah tepi Sungai Martapura, namun pada tahun 1352 H (1934 M) masjid dipindahkan secara gotong-royong ke lokasi yang sekarang di daerah srgi mufti.
Di bulan Ramadhan, masjid yang tidak mempunyai nama layaknya masjid-masjid lain di dunia ini selalu menyediakan takjil untuk buka puasa bersama, selain itu di halaman masjid yang sangat luas ini juga mengadakan pasar wadai. Jadi selain bisa melihat eksotisnya perpaduan budaya dalam arsitektur masjid ini, kita juga bisa menikmati aneka wadai khas Banjar yang rasanya super legit.
Satu lagi, kalau ingin merasakan shalat tarawih seperti di tanah suci Makkah atau Madinah yang menghabiskan 1 juz Alquran setiap malamnya, ya disini tempatnya. Untuk referensi bacaan lengkapnya, bisa mengunjungi artikel saya berikut, Cerita Masjid Tua Tanpa Nama di Sungai Jingah.
Masjid Sabilal Muhtadin
Masjid Sabilal Muhtadin atau dikenal juga dengan sebutan Masjid Raya Banjarmasin merupakan salah satu masjid terbesar dan termegah yang menjadi salah satu landmark terpenting Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.
Letaknya yang tepat dijantung kota dan dikelilingi oleh beberapa destinasi wisata kota yang mudah dijangkau seperti pantai jodoh, menara pandang, pasar terapung minggu dan tentunya hutan kota yang rindang, menjadikan masjid ini salah satu ikon wisata religi dan budaya yang tidak bisa ditinggalkan untuk dinikmati saat basasambang.
Kubah utama masjid yang terbuat dari logam tembaga berwarna keemasan dengan diameter mencapai 38 meter terlihat sangat unik, begitu juga 5 (lima) kubah pada menara yang ukurannya lebih kecil, sekitar 5-6m di ketinggian 45 m untuk menara utama dan 21 m untuk 4 (empat) menara pendamping.
Desain arsitektur kubah ini terinspirasi dari tanggui, caping penutup kepala tradisonal khas masyarakat suku Banjar yang terbuat dari rangkaian daun nipah yang biasa dipakai petani dan nelayan beraktivitas.
Bentuk kubah ini merupakan salah satu bentuk dialektika Islam dengan budaya lokal Suku Banjar yang paling mudah dilihat, sekaligus menjadi ciri khas keunikan Masjid yang dibangun pada tahun 1981 ini.
Nama Sabilal Muhtadin diambil dari judul kitab atau buku buah karya ulama besar Kesultanan Banjar alm Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710---1812), Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin yang secara umum diartikan sebagai "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".
Nama tersebut merupakan salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap jasa-jasa ulama besar yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan agama Islam di Kerajaan Banjar atau Kalimantan Selatan sekarang ini.
Ulama besar yang juga dikenal dengan sebutan Datu Kelampayan ini tidak hanya dikenal dan dihormati di lingkungan Kesultanan Banjar saja, tapi juga seluruh Nusantara, bahkan mancanegara. Beliau juga dikenal dan dihormati oleh umat Islam dan para alim ulama yang tersebar di Malaka, Filipina, Bombay, Mekkah, Madinah, Istambul dan Mesir. Makam beliau di daerah Kelampayan, Martapura, Kabupaten Banjar ini sejak lama dikenal sebagai salah satu destinasi wisata religius di Kalimantan Selatan. Untuk referensi bacaan lengkapnya bisa mengunjungi artikel saya berikut, Masjid Sabilal Muhtadin, Ruang Dialektika Budaya Kalimantan.
Yuk, jalan-jalan ke Banjarmasin!