(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Lebaran 3 In 1, Sempat Membingungkan tapi Memang Mendewasakan!
Setiap ketemu dengan istilah 3 in 1, saya yakin kebanyakan dari kita pasti akan teringat kopi sachet-an yang biasanya berisi mixed kopi, susu dan gula yang banyak dijual di warung-warung atau jangan-jangan malah ada yang teringat dengan "kisah masa lalu", saat ngetem di pinggir beberapa ruas jalanan ibu kota karena menawarkan jasa tumpangan alias joki 3 in 1? Nggak papa pren yang penting asyik ajaaaa!
Oyaaa, kalau istilah lebaran 3 in 1, kira-kira ada yang tahu? Atau jangan-jangan, malah ada yang pernah mengalami seperti saya?
Inilah salah satu "keunikan" Islam di Indonesia atau mungkin juga di dunia ya!? Dalam satu ramadan bisa ada dua, tiga, bahkan empat hari lebaran berbeda!
Jadi, fakta sebenarnya di masyarakat bukan hanya 3 in 1 saja, tapi bisa menjadi 4 in 1 bahkan bisa jadi lebih, karena selebihnya ini biasanya tidak ter-cover oleh media, mungkin karena populasi yang melaksanakannya relatif kecil, tidak berusaha menampakkan diri atau sengaja melakukannya dengan diam-diam dan mungkin juga karena lokasi pelakunya yang jauh dari pusat-pusat pemberitaan.
Kenapa Bisa Berbeda?
Soal perbedaan hari lebaran di Indonesia, sepertinya memang tidak mudah untuk dikompromikan, khususnya bagi dua ormas Islam terbesar dan juga berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama atau NU. Selain karena masing-masing mempunyai cara dan kriteria yang berbeda untuk menetapkan hari lebaran, Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal dan prinsip wilayatul hukmi-nya, sedang Nahdlatul Ulama dengan kriteria rukyatul hilal-nya, menurut ahli astronomi ITB, DR. Moedji Raharto keduanya juga masih belum sepakat soal posisi hilal sebagai prasyarat disebut sebagai bulan baru.
Jika Muhammadiyah berprinsip berapapun level derajatnya asal hilal sudah tampak, maka artinya bulan baru sudah tiba. Ini berbeda dengan prinsip Nahdlatul Ulama yang mensyaratkan posisi hilal minimal harus dua derajat untuk disebut sebagai bulan baru.
By the way, menurut beberapa ulama dan juga para ahli, memang tidak ada kebenaran mutlak dalam menentukan hari lebaran atau tanggal 1 Syawal, karena masing-masing cara dan kriteria mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Nah, kalau begitu kenapa nggak sama-sama diambil kelebihannya dan dibuang kekurangannya ya?
Perbedaan itu rahmat! Inilah hikmah dari adanya perbedaan diatas. Karena perbedaan, memunculkan semangat untuk bersilaturahmi dan berdiskusi untuk mendapatkan titik temu diantara semua pihak. Terbukti, sejak tahun 2003 pemerintah dan juga Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga ormas Islam lainnya sepakat untuk terus mencari titik temu.
Pendapat menarik dikemukakan oleh ahli astronomi-astrofisika yang juga kepala LAPAN, Prof. Dr. Thomas Djamaludin, terkait upaya untuk memecah kebuntuan dari deadlock-nya "kesepakatan" untuk menentukan metode penetapan 1 syawal agar tidak terjadi perbedaan lagi, yaitu perlunya dibangun kriteria bersama mengenai penampakan hilal dengan dasar acuan dari analisa semua data rukyatul hilal ditambah dengan kajian dari semua data hisab. Lalu semua data ini dievaluasi sepanjang masa. Wallahu A’lamu bis Shawab.