(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Belajar dari Paribasa Banjar, "Filter" Kearifan Lisan Urang Banjar dalam Berbicara
Memilih Menu Obrolan Itu Seperti Memilih Menu Makanan
Memilih menu atau tema obrolan dengan orang lain dalam kesempatan apapun, sebenarnya mirip dengan memilih menu makanan maupun tempat makan ketika kita mau mentraktir kawan.
Kalau kawan yang kita traktir adalah kawan dekat yang sudah lama kita kenal, tentu lebih mudah bagi kita untuk memilih warung atau menu masakan yang sesuai dengan selera kita semua. Kesulitan mungkin akan kita temui ketika ternyata, kawan yang mau kita ajak makan adalah "kawan baru dan jumlahnya tidak hanya satu saja, tapi banyak!?"
Bagaimana cara memilih menunya, agar semua bisa merasakan nikmatnya sajian menu yang dipilih atau warung makan yang dipilih.?
Saya yakin peribahasa lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain ikannya tetap aktual sampai detik ini. Maknanya, saya yakin setiap orang, setiap entitas budaya, setiap organisasi pasti mempunyai cara terbaik untuk bisa menyajikan "menu" obrolan terbaik di setiap kesempatan, termasuk di lebaran kali ini.
Baca Juga : "Basambang Mambangkit Tampirai" Ngabuburit Asyik ala Urang Banjar
Masyarakat suku Banjar yang sebagian besar mendiami wilayah Kalimantan Selatan, juga mempunyai piranti lunak yang bekerja layaknya filter untuk memproses terbentuknya "menu" obrolan yang berkualitas, tertib, jujur, sistematis, tenang, fokus, dan bertanggungjawab, dalam bentuk produk budaya sastra lisan yang salah satunya adalah paribasa Banjar.
Sastra lisan berupa dongeng, legenda, pantun, saluka, juga paribasa dan papatah serta yang lainnya, juga berfungsi sebagai panduan etika yang otentik, karena berakar dari pengalaman hidup mereka sendiri yang tentunya cukup efektif guna menyaring infiltrasi budaya luar yang tidak selaras dengan adat istiadat dan tradisi khas Urang Banjar
Dalam pribahasa Banjar, mulut adalah lambang kecerdasan. Kedelapan pribahasa ini mengidealkan kualitas komunikasi yang. Mari kita cermati ruang komunikasi publik kita, apakah sudah memenuhi harapan ideal ini?
Paribasa Banjar
Khusus untuk paribasa Banjar atau peribahasa Banjar, secara umum dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu paribasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Paribasa Banjar berbentuk puisi, dibagi lagi menjadi 6 jenis, yaitu gurindam, kiasan, mamang papadah, pameo huhulutan, saluka, dan tamsil. Sedangkan paribasa Banjar berbentuk kalimat dibagi lagi juga menjadi 5 jenis, yaitu ibarat, papadah, papatah-patitih dan paumpamaan.
Dari ribuan paribasa Banjar yang sampai sekarang masih tetap eksis menjadi referensi sekaligus media kontrol sosial bagi Urang Banjar dalam berkehidupan bersosial dan bermasyarakat sehari-hari, ada ratusan diantaranya yang telah di kodifikasi dan didokumentasikan dalam bentuk buku atau karya tulis lainnya, salah satunya adalah karya dari duo budayawan Banjar, Ahmad Makkie dan Syamsiar Seman yang berjudul "Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar" yang terbit pada tahun 2006 silam.
Baca Juga : Ritual Mudik Serasa Berpetualang di Jalur Tradisional dan Legendaris Hulu Sungai Barito
Diantara sekian banyak paribasa Banjar yang sampai sekarang masih sering terdengar dalam proses komunikasi masyarakat sehari-hari, beberapa diantaranya ternyata masih sangat relevan menjadi semacam "pemandu" bagi Urang Banjar dalam berkomunikasi atau berbicara dengan siapa saja, termasuk dalam hal memilih "menu" obrolan yang tepat, terlebih dengan orang lain di luar suku Banjar.
Berikut rinciannya,
Banganga Dahulu, Hanyar Baucap
Banganga atau menganga merupakan sebuah analogi pada tindakan "diam dan mendengarkan untuk memperhatikan", jadi makna umum dari paribasa di atas adalah dengarkan atau perhatikan dulu yang dibicarakan baru bicara.
Paribasa ini mengingatkan kita semua perlunya kehati-hatian dalam berbicara atau lebih tepatnya perlunya menjaga kualitas omongan yang keluar dari mulut kita, mengiringi sikap dan perilaku positif kita. Sehingga dimanapun kita berada bisa selalu menyesuaikan diri dengan situasi sekitar. Apalagi dalam paribasa Banjar, mulut adalah perlambang dari kecerdasan,
Situasi ini sepertinya menjawab sebuah analogi ungkapan yang menyebutkan, "Teko hanya akan mengeluarkan isinya! Jika isinya air comberan yang keluar dari mulutnya ya air comberan, begitu juga jika isinya kopi pahit, maka jika dituang ke dalam cangkir yang keluar ya kopi pahit.
Kaya Siput Dipais dan Bujur Pandiam, Sakali Baucap Pas Luput
Arti peribahasa pertama adalah bagai siput dipepes yang maknanya adalah seseorang yang memiliki sifat sangat pendiam atau sengaja tidak mau bicara. Sedangkan peribahasa kedua mempunyai arti dan makna lugas sebagai seseorang yang memang pendiam tetapi sekali bicara langsung salah
Kedua paribasa diatas pada dasarnya merupakan antitesis bagi ungkapan terkenal, "diam itu emas" dan memberikan pesan bahwa, tidak selamanya orang yang diam itu pandai atau baik, semua tetap harus melihat situasi dan kondisinya. Kalau dihubungkan dengan tradisi dan karakter Urang Banjar pada umumnya, maka paribasa Banjar ini mendorong siapa saja untuk berani bicara sesuai dengan porsinya, tidak boleh kurang apalagi lebih.
Pandir Kaya Buak
Arti paribasa ini adalah berbicara seperti Buak! Buak adalah sebutan Urang Banjar untuk sejenis burung nocturnal atau burung yang lebih aktif di malam hari yang secara fisik tidak lebih besar dari genggaman tangan orang dewasa. Burung dengan warna dominan abu abu pada bulunya ini tidak bisa terbang tinggi dan hanya bisa berlari serta melompat rendah saja. Dinamai burung buak karena suara nyaringnya yang berbunyi buak...buak...buak.
Suara buak...buak...buak...dari burung ini, dianalogikan sebagai suara yang tidak ada maknanya dan juga tidak enak di dengar. Jadi paribasa ini ditujukan kepada orang yang banyak omong tapi tidak ada manfaatnya, bahkan bisa juga dianalogikan kepada orang yang omongannya cenderung tidak enak untuk didengarkan.
Mungkin, berlaku pada karakter yang lebih suka menonjolkan kehebatan diri dan keluarganya atau dalam konteks kekinian yang lebih luas bisa juga disematkan kepada orang-orang yang bernafsu ingin jadi pemimpin di masyarakat sehingga menggunakan setiap kesempatan untuk mempromosikan diri dan atau keluarganya.
Banyak Muntung Bagawi Kada Manuntung dan Lancar Pandir, Bahira Maucir
Secara harfiah, peribahasa banyak muntung bagawi kada manuntung diartikan sebagai banyak bicara, kerja tak selesai. Peribahasa dengan pola kausalitas alias sebab akibat ini mempunyai beberapa makna tersirat.
Selain menjadi metafora dari OMDO alias ngomong doang tapi nggak pernah ada buktinya, paribasa ini juga dimaknai sebagai metafora agar selalu fokus pada pekerjaan, karena frasa "banyak bicara" disini juga bisa dipahami sebagai adanya aktifitas lain yang juga menyita perhatian konsentrasi.
Untuk paribasa "Lancar Pandir, Bahira Maucir" artinya adalah lancar bicara, berak berceceran. Kalimat paribasa ini merupakan metafora dari orang yang suka bicara mengada-ada yang tujuannya hanya untuk menutupi kekurangan dirinya sendiri. Jika ada terucap paribasa ini, artinya yang bersangkutan mengetahui orang berbicara dihadapannya terindikasi tidak jujur alias tukang karamput atau orang yang suka berbohong.
Lain nang disurung lain nang dikalang
Paribasa yang satu ini merupakan metafora kiasan dari istilah kalang (penyangga/pembatas) dan surung (dorong) yang aslinya merupakan bagian dari salah tradisi Urang Banjar dalam membangun rumah.
Paribasa ini dipakai untuk menggambarkan pembicaraan antar pihak yang tidak nyambung sehingga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman.
Paribasa ini menuntun kita untuk fokus dalam pembicaraan agar kualitas komunikasi terjaga dan tidak menimbulakn kesalahpahaman.
Kaya Cina Kakaraman
Menurut Sainul Hermawan, pemerhati sastra dan budaya Banjar yang juga pengajar di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, paribasa bergaya simile ini menunjukkan adanya interaksi antara Urang Banjar dan orang Cina sejak lama.
Kakaraman artinya tenggelam untuk kapal/perahu. Jadi arti secara leksikal frasa paribasa diatas adalah Seperti Cina yang (kapalnya) tenggelam.
Paribasa yang menggambarkan "kekacauan dalam percakapan" ini lahir dari hasil pengamatan Urang Banjar yang pernah melihat "ributnya percakapan" sebagai reaksi para pedagang cina ketika kapal dagang miliknya karam. Semua sama-sama bicara, tidak ada yang mau mendengarkan hingga terdengar seperti sedang ribut atau kelahi. Makanya untuk menghasilkan komunikasi yang baik wajib tertib dan tenang.
Galugur-galugur guntur, hujannya kada
Paribasa di atas mirip sekali dengan peribahasa Jawa, kakean bledek kurang udan yang artinya kira-kira adalah Petir yang terus menggelegar tetapi hujan tak juga turun-turun. Paribasa ini menuntun kita untuk tidak sombong, tidak berbicara terlalu tinggi apalagi pakai sesumbar yang bukan kapasitasnya mengingatkan siapa saja agar tidak suka sesumbar.
Semoga bermanfaat!
"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H, Yuk Menjemput Lailatul Qadar!"
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!