Tiga Benda Ajaib saat Ramadan
Ada perasaan dongkol ketika kita membesarkan putra kita di kampung yang sama dengan kita dibesarkan.
Iya, sampai detik ini saya memang tidak pernah merasakan pindah rumah, sedari lahir saya tinggal di kampung ini.
Seperti pada saat siang hari beberapa waktu lalu, saya sengaja ke lapangan sekolah dekat rumah hanya untuk memanggil anak saya buat pulang ke rumah, kata neneknya ia telah beberapa jam pergi main sepeda berpanas-panasan dengan temannya.
Kebetulan anak saya tidak pernah "pecah" puasa, dan cukup disiplin soal waktu. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Saya memanggilnya pulang agar jangan main panas-panasan hanyalah alasan saya saja. Mau saya, jika saya ada di rumah, dia selalu berada di dekat saya, bukan sibuk main dengan teman-temannya menggosongkan kulitnya yang memang sedari lahir tidak terang.
Saat saya memanggil biasanya saya mengomel. Mungkin karena tetangga sebel juga dengar omelan saya, saya ditegur oleh Lek Slamet, tetangga dekat kami "Halah Nduk, kamu dulu juga sama saja, bulan puasa doyannya main di kambang (kolam) di rawa, jatuh dari sepeda setiap hari sampe gak pernah lepas handyplast paling cuma pindah tempat" omelnya.
"Masa' sih Lek?, seingat ika, ika itu anak gendut dan cengeng kok"sahut saya tertawa.
"Ya itu bener juga kok"sahutnya terkekeh.
Ah...jadi ingat ulah saya sedari kecil. Saya bukan biang kerok sih di kampung, tapi si Ragil memang suka buat istighfar Mbah-mbah yang melihat saya meluncur dari tebing curam bersepeda, lalu masuk ke got besar. Luka? Iya. Nangis ? nggaklah, paling-paling saya cuma pulang sambil terseok-seok.
Tapi jangan sampai ada yang meledek, dijahili mereka cuma bilang "weeeeeek" sambil menjulurkan lidah saja bisa membuat saya menangis kencang. Sampai saya digelar si Ciwek.
Hasil tangisan saya biasanya membuahkan rasa gembira di hati, karena melihat karma langsung berjalan, yang usil dengan saya langsung diomelin bahkan ada yang dipukuli bokongnya, minimal dicubit pahanya oleh si Mbah.
Mbah mana aja, bukan cuma Mbah kandung, di mata mbah-mbah saya dulu sepertinya si imut endut lucu, jadi seperti boneka yang jika menangis harus didiamkan dengan cara instan.
Tenang, yang usilin saya, (eh..yang saya usilin sih karena efek tangisan saya mereka yang kena pukul ) sekarang jadi teman-teman baik saya kok.
Memang sih mereka usianya lebih tua dari saya. Meski untuk sekarang, kami merasa sebaya.
Akibatnya, saya jarang punya teman akrab.
Mungkin karena tidak sehobi, zaman saya kecil anak populer itu yang atletis, jago lari jadi bisa menang saat main urikan (lari-larian), benteng, adu kasti, pantak lele, jago mengendap jadi pemain paling dicari di tungkupan ataupun tungkupan kaleng.
Pandai melompat sehingga jadi pemain favorit untuk main yeye (lompat karet).
Karena saya gendut, saya tidak bisa main itu semua, dan saya tidak punya keterampilan main bekel, kelereng atau layangan.
Itu sih permainan yang biasa dimainkan dimana saja di kampung kami.
Lapangan dulu tersedia banyak, gak kuatir gak ada tempat main.
Saya lebih banyak main sendiri seperti main sepeda.
Jago main sepeda? Nggak juga. Karena kegendutan, saya juga seringkali bawa sepeda juga tidak imbang dan sering menjadi insiden itu. Masuk ke dalam got.
Kakak laki-laki diatas saya dengan saya terpaut usia 7 tahun. Saya sangat dekat dengan dia, karena itu juga saya lebih sering sepermainan dengan teman-temannya ketika menghabiskan waktu saat berpuasa.
Agenda kami saat berpuasa dimulai setelah shalat subuh, Pagi hari kami mulai dengan mandi dan bermain di rawa , sembari menunggu kakak-kakak saya dan Bapak mengambil air di sumur di rawa untuk keperluan mencuci di rumah. Mereka mengangkutnya bisa 4-5 kali.Benar-benar fitness alami.
Daerah kami dulu termasuk daerah sulit air. Jadi saya saat kecil mandinya di rawa.
Tetapi untuk saya hal itu tidak berlangsung lama, saya masuk SD sudah ada PAM di rumah kami. Jadi saya sama sekali tidak pernah merasakan mengambil air jauh dengan mengangsuh seperti kakak-kakak saya.
Saya tiap pagi juga biasanya melihat tajuran kami, itu loh memancing dengan cara sore hari dipasang, ditinggalkan lalu pagi diambil.
Jika beruntung kami dapat ikan gabus, tapi pernah juga kami dapat ular yang membuat saya lari tunggang langgang. Padahal ularnya sudah mati, ini terjadi karena memang umpan yang kami gunakan adalah katak kecil.
Jadi seringkali ular kecil ikut memakan umpan kami dan mati merana tertelan kail pancing.
Karena rawa ini (saat ini rawa itu sudah menjadi sebuah supermarket), kami mendapat kenangan manis bersama kakak.
Ada 3 benda ajaib yang akan selalu disediakan saat saya kecil di bulan ramadan, yakni :
1. Lentera Kunang-kunang
Salah satu kegembiraan kami berdua saat ramadan adalah perpanjangan jam malam. Karena kami melaksanakan shalat tarawih, yang artinya berkumpul dengan teman-teman di lapangan mushallah. Sebelum shalat tarawih,salah satu kegemaran kakak adalah menangkap kunang-kunang ba'da magrib. Mengurungnya dalam toples selai. Lalu mengikat toples selasi di sebilah batang bambu kecil dan menjadikannya sebagai lentera yang aman untuk saya.
Penyesalan saya adalah entah berapa kunang-kunang terbunuh untuk kegembiraan sesaat saya, meskipun terkadang setelah malam saya lepaskan kembali toh jarak dari koloni asalnya cukup jauh untuk ukuran kunang-kunang sehingga tidak terjamin kembalinya para kunang-kunang ke koloninya.
Jika saya sudah terlalu lelah, seringkali kunang-kunang tetap berada dalam toples dan saya temukan mati merana keesokan paginya.
2. Kaleng Ta'jil
Saya dulu punya sebuah kaleng roti. Kegemaran saat saya puasa dulu agak aneh. Pada masa itu, masih banyak pohon buah eksotis yang tumbuh di rawa dan bebas dipetik siapa saja, buah salam, buah nasi-nasian, keranji, jambu monyet, jambu amerika, kecapi, buah nona. Biasanya kawan-kawan satu kampung yang (belajar) berpuasa makan buah-buahan ini sambil memanjat pohon.
Mereka percaya dengan mitos bahwa sepanjang makan diatas pohon, puasa mereka tidak batal. Ha ha padahal itu kan maksudnya kiasan saja. Tetap saja ada yang percaya.
Acara makan diatas pohon ini dibarengi dengan berendam di kambang (kolam) untuk mendinginkan diri. Biasanya dilakukan sore hari.
Saya tidak percaya mitos itu, tetapi ogah rugi.
Bagi teman-teman saya, bukan saya tidak percaya mitos. Tetapi saya tidak mampu menjalaninya, kegendutan saya menghalangi kemampuan saya untuk memanjat. So...untuk menikmatinya saya wajib menunggu sampai magrib, dengan cara menyimpannya di dalam kaleng roti, agar aman. Selain itu saya juga gemar mengumpulkan buah cimplukan (sekarang di jual di mall dengan harga ajib). Jadi, ta'jil saya saat kecil itu adalah segala macam makanan hasil berburu dan meramu di rawa, yang tersimpan dengan rapi di kaleng takjil.
3. Meriam Bambu
Ini adalah permainan paling keren, dimainkan di malam-malam menjelang berakhirnya ramadan. Bunyi "dus..dus" itu terdengar sangat indah.
Permainan ini cukup murah bagi kami, karena mambu betungnya kami ambil di rawa. Masing-masing membawa minyak tanah sedikit dari rumah.
Suatu hari, Bapak membawa karbit ke rumah. Kakakku yang tahu jika menggunakan karbit suara meriam bambu akan menggelegar. Kami mencoba dan keasyikan, dan penasaran bagaimana jika karbitnya banyak.
Kami mencobanya memasukkan karbit sebesar kepalan tanganku saat itum menyulutnya dan di malam hari bunyi "duar" begitu kencang terdengar di perkampungan kami yang sepi saat itu. Meriamnya pecah, meski tidak berantakan dan melukai kami. Hanya pecah terbelah. Diiringi dengan derai tawa puas kami, tak ada tetangga yang heboh saat itu, boleh jadi kami yang kurang peduli, hanya beberapa tetangga keluar rumah dan ikutan senyum dengan ulah kami.
Bapakku keluar, tidak marah cuma menyuruh kami merapikan pecahan bambu dan pulang ke rumah. Tetapi beberapa menit dari gegernya bunyi itu, satu mobil jeep berisi tentara berseragam mendatangi kami. Menanyakan pada Bapakku soal bunyi apa tadi.
Bapak menjelaskan, yang disambut salah satu Oom Tentara dengan geleng-geleng kepala komentar "Ragil, kamu ciwek (cengeng maksudnya) kok kelakuannya gini".
"Lain kali hati-hati, kuatir melukai loh. Cukup main meriam pakai minyak tanah aja"sambungnya yang langsung pamit dengan orang tuaku.
He he gak usah heran, beberapa ratus meter dari rumahku memang asrama kaveleri. Mereka hanya memeriksa keadaan, khawatir bunyi letusan tersebut bunyi yang berasal dari senjata berbahaya.
Ramadan memang ajaib, termasuk kenangan masa kecilku yang memang ajib.
Ah...Nak, semoga suatu hari nanti juga dirimu punya kenangan ajaib masa kecil, bukan berbatas pada kotak ajaib yang menemanimu sepanjang hari.