Alunan Waditra Berdawai Borobudur Berkumandang di Semesta
Jangan sedih, kita masih dapat menikmati sekaligus mempelajari panel-panel relief ini melalui 160 foto dokumentasi Pemotretan relief-relief Karmawibhangga karya Kassian Cephas pada tahun 1890-1891 di Museum Karmawibhangga.
Musik, Laku Luhur Manusia dalam Menyeimbangkan Alam Semesta
Relief Karmawibhangga pada dasarnya penggambaran secara lugas teks kitab Budhis Mahakarmawibhangga dari tahun 1411 ( yang ditemukan Levi di Kathmandu, Nepal pada tahun 1922), dua naskah Cina (diterjemahkan oleh Gautama Dharmaprjana pada tahun 582 dan yang diterjemahkan oleh Tsai Tien Si antara tahun 980-1000) serta naskah Tibet Kanjur yang berisi dua karya berjudul Karmawibhangga. Mengisah sebab akibat tentang laku manusia. Segala perbuatan baik dan buruk akan mendapat akibat (karma) masing-masing secara setimpal baik di kehidupan masa kini ataupun di kehidupan mendatang.
Relief Karmawibhangga menggambarkan laku manusia serta sebab dan akibatnya yang digambarkan secara vulgar bahkan ada yang mengatakan begitu mengerikan. Sehingga ada yang berpendapat hal ini menjadi salah satu alasan penutupan area ini sehingga kita tidak dapat dilihat secara langsung saat ini.
Banyak orang berpandangan musik adalah wujud kesenangan keduniawian. Bahkan Gautama untuk mencapai pencerahannya sebagai Budha meninggalkan istana dengan berbagai kesenangan musik dan tari-tarian sebagai wujud lelaku prihatin.
Namun di sisi lain, nyayian burung dan mantra pun mengalunkan musik swarga yang mendatangkan kedamaian.
Dalam hal ini, bermusik memiliki dua hal laku manusia yang bersisian baik dan buruknya yang tentu memiliki karma masing-masing. Musik adalah sebuah lelaku keseimbang manusia, tergantung pada perspektif pada dharmanya masing-masing. Musik tidak dapat langsung dinyatakan sebagai perilaku jahat untuk bersenang-senang keduniawian semata.
Dalam sebuah kisah Budhis, dikisahkan tentang Srona. Dalam kisa ini alat musik berdawai sebagai sebuah metafora tentang pencerahan.
Dikisahkan, ada seorang pemuda bemama Srona yang dilahirkan di keluarga kaya raya namun ia memiliki kesehatan yang buruk. Ia bersungguh-sungguh meraih Pencerahan dan menjadi murid Yang Terberkahi. Di tengah jalan menuju Pencerahan, ia berusaha begitu keras sampai akhirnya kakinya berdarah. Yang Terberkahi mengasihani padanya dan berkata, “Srona, anakku, pernahkah kau belajar memainkan harpa di rumahmu? Kau tahu bahwa harpa tidak bisa menghasilkan musik apabila dawai-dawainya diregangkan terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Harpa baru bisa menghasilkan musik merdu bila dawai-dawainya diregangkan dengan tepat.
“Latihan menuju Pencerahan adalah seperti mengatur dawai-dawai harpa. Kau tidak bisa mencapai Pencerahan bila kau meregangkan dawai-dawai pikiranmu terlalu longgar atau terlalu tegang. Kau harus memperhatikannya dan bertindak dengan bijaksana.”
Srona menyadari kebenaran kata-kata itu dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya.