Alunan Waditra Berdawai Borobudur Berkumandang di Semesta
We are the sound of Shambara, vibes from Nusantara. We’re the flowers of Shambara, Padma Swargantara. Metta Chakra Soumna Patta. Metta Chattra Soumna Parya. Metta Dhamma Soumna Dayya. Metta Charya Soumna Ghra.
~Lirik Padma Swargantara , Gubahan Trie Utami~
Setiap peradaban dunia meninggalkan jejak seni musik dalam perkembangan kebudayaannya. Mulai dari mitologi Yunani,dimana nyanyian merdu para Muse yang diiriingi petikan harpanya hingga Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan dengan sitarnya
Alat Musik Berdawai, adalah salah satu jenis alat musik yang mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Dunia mengenal beberapa jenis alat musik (waditra) berdawai, baik yang dimainkan dengan cara dipetik misalnya kecapi, sitar, harpa, ukulele, banjo, gitar, mandolin ataupun yang digesek seperti rebab, viola, violin, double bass, dan cello. Viola dan cello juga dapat dimainkan dengan cara dipetik atau yang disebut dengan pizzicato.
Bumi Nusantara pun sejak dulu hingga kini masih mengenal alat musik tradisional berdawai seperti Rebeb di Aceh, Kecapi di Jawa Barat, Sampek di Bumi Borneo hingga Sasando di NTT.
Musik pun memang dikenal sejak zaman prasejarah musik dipergunakan sebagai pengiring upacara keagamaan dan mulai bergeser sebagai hiburan di masa modern.
Indonesia, sejak masih dikenal dengan sebutan Swargantara di abad ke-8 telah menjadi pusat peradaban musik. Tercatat dengan lugas dalam perpustakaan agung nan megah, termasuk dalam tujuh keajaiban dunia, Borobudur. Catatan ini terdapat pada pada bagian relief karmawibhangga.
Saat ini, kita memang tidak dapat melihat panel relief ini secara langsung. Karena relief karmawibhangga berada di bagian bawah borobudur yang tersembunyi dimana telah dilakukan penutupan pada bagian tersebut.
Banyak literatur menjelaskan bahwa alasan penutupan bagian ini karena alasan teknis. Demi menjaga kestablilan dan keamanan candi ini. Relief karmawibhangga yang berada di bagian paling bawah borobudur. Sehingga harus menopang seluruh bangunan. Upaya penutupan ini untuk memastikan kestabilan berdirinya keseluruhan bangunan.
Jangan sedih, kita masih dapat menikmati sekaligus mempelajari panel-panel relief ini melalui 160 foto dokumentasi Pemotretan relief-relief Karmawibhangga karya Kassian Cephas pada tahun 1890-1891 di Museum Karmawibhangga.
Musik, Laku Luhur Manusia dalam Menyeimbangkan Alam Semesta
Relief Karmawibhangga pada dasarnya penggambaran secara lugas teks kitab Budhis Mahakarmawibhangga dari tahun 1411 ( yang ditemukan Levi di Kathmandu, Nepal pada tahun 1922), dua naskah Cina (diterjemahkan oleh Gautama Dharmaprjana pada tahun 582 dan yang diterjemahkan oleh Tsai Tien Si antara tahun 980-1000) serta naskah Tibet Kanjur yang berisi dua karya berjudul Karmawibhangga. Mengisah sebab akibat tentang laku manusia. Segala perbuatan baik dan buruk akan mendapat akibat (karma) masing-masing secara setimpal baik di kehidupan masa kini ataupun di kehidupan mendatang.
Relief Karmawibhangga menggambarkan laku manusia serta sebab dan akibatnya yang digambarkan secara vulgar bahkan ada yang mengatakan begitu mengerikan. Sehingga ada yang berpendapat hal ini menjadi salah satu alasan penutupan area ini sehingga kita tidak dapat dilihat secara langsung saat ini.
Banyak orang berpandangan musik adalah wujud kesenangan keduniawian. Bahkan Gautama untuk mencapai pencerahannya sebagai Budha meninggalkan istana dengan berbagai kesenangan musik dan tari-tarian sebagai wujud lelaku prihatin.
Namun di sisi lain, nyayian burung dan mantra pun mengalunkan musik swarga yang mendatangkan kedamaian.
Dalam hal ini, bermusik memiliki dua hal laku manusia yang bersisian baik dan buruknya yang tentu memiliki karma masing-masing. Musik adalah sebuah lelaku keseimbang manusia, tergantung pada perspektif pada dharmanya masing-masing. Musik tidak dapat langsung dinyatakan sebagai perilaku jahat untuk bersenang-senang keduniawian semata.
Dalam sebuah kisah Budhis, dikisahkan tentang Srona. Dalam kisa ini alat musik berdawai sebagai sebuah metafora tentang pencerahan.
Dikisahkan, ada seorang pemuda bemama Srona yang dilahirkan di keluarga kaya raya namun ia memiliki kesehatan yang buruk. Ia bersungguh-sungguh meraih Pencerahan dan menjadi murid Yang Terberkahi. Di tengah jalan menuju Pencerahan, ia berusaha begitu keras sampai akhirnya kakinya berdarah. Yang Terberkahi mengasihani padanya dan berkata, “Srona, anakku, pernahkah kau belajar memainkan harpa di rumahmu? Kau tahu bahwa harpa tidak bisa menghasilkan musik apabila dawai-dawainya diregangkan terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Harpa baru bisa menghasilkan musik merdu bila dawai-dawainya diregangkan dengan tepat.
“Latihan menuju Pencerahan adalah seperti mengatur dawai-dawai harpa. Kau tidak bisa mencapai Pencerahan bila kau meregangkan dawai-dawai pikiranmu terlalu longgar atau terlalu tegang. Kau harus memperhatikannya dan bertindak dengan bijaksana.”
Srona menyadari kebenaran kata-kata itu dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya.
Jika dikaitkan dengan kisah Srona ini, sedikit memberi pencerahan pada diri saya pada sebuah pertanyaan yang mengganjal saya selama ini mengapa penggambaran alat musik berada di relief Karmawibhangga. Bermusik pada dasarnya adalah upaya manusia dalam mencapai keseimbangan hidup. Sama halnya dalam mencapai pencerahan, kita dapat membangun kesimbangan diri dalam naungan welas asih, bukan dengan jalan benar-benar meninggalkan perilaku kesenangan yang memunculkan kebahagiaan seperti menikmati musik.
Sejak zaman dahulu, musik sebenarnya dipergunakan untuk mengiringi ritual dan doa-doa mendekatkan diri pada cahaya. Baik dan buruknya bermusik kembali kepada niat manusianya.
Rekonstruksi Alat Musik Dawai Pada Relief Karmawibhangga
serta Aerophone (seruling, terompet).
Jaringan Kampung (Japung) Nusantara berkeinginan untuk membunyikan kembali alat musik yang pada panel-panel relief di Borodur tersebut dengan Sound of Borobudur.
Japung mendapuk Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur untuk mewujudkan kembali secara fisik tiga buah alat musik dawai, yang bentuknya terpahat di relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151.
Tentu saja Ali Gardy bukan orang sembarangan. Lulusan Universitas Abdul Rahman Saleh Situbondo ini adalah pembuat sekaligus pemain berbagai alat musik tradisional seperti sapek dan panting, instrumen dawai Kalimantan, juga beberapa alat musik dawai lain yang dimodifikasi dari bentuk dasar instrumen tradisional. Serta handal membuat dan memainkan seruling, saksophone dan flute ini serta beberapa alat musik lainnya.
Memunculkan kembali tiga alat musik dari masa lebih dari satu milenium yang lalu ini memang bukan perkara yang mudah.
Mulai dari pemilihan bahannya, Ali sengaja menggunakan bahan kayu jati Baluran yang dibelinya dari Perhutani. Karena pohon jati dengan kayunya yang sangat kuat ini hanya tumbuh di Pulau Jawa, sesuai dengan keberadaan lokasi berdirinya Candi Borobudur. Selanjutnya ia mereka-reka ukuran alat-alat musik dawai dengan pertimbangan instrumen ini digunakan oleh pria atau wanita, serta dengan dasar proporsi tubuh dan alat musik yang tergambar di relief.
Setelah berhasil mendapatkan bentuk, menjadi PR besar lagi memperkirakan bagaimana bunyinya, karena sama sekali tidak ada referensi dan litarur yang menjelaskannya. Tentu saja japung mengandalkan intepretasi mereka. Ketiga gawai ini dinamakan Gasona, Gasola dan Solawa yang disematkan oleh Dewa Budjana.
Usaha mereka tak sia-sia, dentingan dawai waditra-waditra ini begitu magis dan menggetarkan jiwa ini pun diperdengarkan di Sound of Borobudur
Sebuah alunan indah dari dawai hasil rekonstruksi pada sebuah panel relief tersembunyi di kaki borobudur begitu menggugah jiwa. Memanggil-manggil jiwa anak bangsa untuk membaca, mempelajari dan mengembangkan kembali pustaka-pustaka nyata nan agung yang ditinggalkan leluhur untuk untuk semesta.
Bukan sesuatu yang mengherankan, jika ada yang mengintepretasikan bahwa dulu Borobudur Pusat Musik Dunia.
Kemegahan bangunan yang telah berdiri sejak berabad lalu dengan perhitungan luar biasa itu pernah menjadi latar belakang konser megah Mariah Carey di Borobudur 2018.
Sekarang, sudah saatnya membangkitkan kembali alunan musik dan kisah-kisah yang tersembunyi di kaki-kaki borobudur. Sekelumit dari Wonderful Indonesia memanggil anak bangsa dan penduduk dunia untuk menikmatinya, mendengarkan lantunan musik yang bukan hanya memanjakan telinga tetapi menenangkan jiwa menuju pencerahan melalui sound of Borobudur.