Kartika Kariono
Kartika Kariono Pengacara

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Alunan Waditra Berdawai Borobudur Berkumandang di Semesta

11 Mei 2021   22:10 Diperbarui: 11 Mei 2021   22:22 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alunan Waditra Berdawai Borobudur Berkumandang di Semesta
Surya di Ufuk Timur Borobudur (Foto Karya Deddy Huang)

We are the sound of Shambara, vibes from Nusantara. We’re the flowers of Shambara, Padma Swargantara. Metta Chakra Soumna Patta. Metta Chattra Soumna Parya. Metta Dhamma Soumna Dayya. Metta Charya Soumna Ghra.

~Lirik Padma Swargantara , Gubahan Trie Utami~

Setiap peradaban dunia meninggalkan jejak seni musik dalam perkembangan kebudayaannya. Mulai dari mitologi Yunani,dimana  nyanyian merdu para Muse yang diiriingi petikan  harpanya  hingga Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan dengan sitarnya

Alat Musik Berdawai, adalah salah satu jenis alat musik yang mengalami perkembangan dari masa ke masa. 

Dunia mengenal beberapa jenis alat musik  (waditra) berdawai, baik yang dimainkan dengan cara dipetik misalnya kecapi, sitar, harpa, ukulele, banjo, gitar, mandolin ataupun yang digesek seperti  rebab, viola, violin, double bass, dan cello. Viola dan cello juga dapat  dimainkan dengan cara dipetik atau yang disebut dengan pizzicato.

Bumi Nusantara pun sejak dulu hingga kini masih mengenal alat musik tradisional berdawai seperti Rebeb di Aceh, Kecapi di Jawa Barat, Sampek di Bumi Borneo hingga Sasando di NTT. 

Musik pun memang  dikenal sejak zaman prasejarah musik dipergunakan sebagai pengiring upacara keagamaan dan mulai bergeser sebagai hiburan di masa modern. 

Budha pada Shambara (Foto :Deddy Huang)
Budha pada Shambara (Foto :Deddy Huang)

Indonesia, sejak masih dikenal dengan sebutan Swargantara di abad ke-8 telah menjadi pusat peradaban  musik. Tercatat dengan lugas  dalam perpustakaan agung nan megah,  termasuk dalam tujuh keajaiban dunia, Borobudur. Catatan ini terdapat pada  pada bagian relief karmawibhangga.

Saat ini, kita  memang tidak dapat melihat panel relief ini secara langsung. Karena relief karmawibhangga berada  di bagian bawah borobudur yang tersembunyi dimana telah dilakukan penutupan pada bagian tersebut. 

Banyak literatur menjelaskan bahwa alasan penutupan bagian ini karena alasan teknis. Demi menjaga kestablilan dan keamanan candi ini. Relief karmawibhangga  yang berada di bagian paling bawah borobudur. Sehingga harus menopang seluruh bangunan. Upaya penutupan ini untuk memastikan kestabilan berdirinya keseluruhan bangunan.

Jangan sedih, kita masih  dapat menikmati sekaligus mempelajari panel-panel relief ini melalui  160 foto dokumentasi Pemotretan relief-relief Karmawibhangga karya  Kassian Cephas pada tahun 1890-1891 di Museum Karmawibhangga

Musik, Laku Luhur Manusia dalam Menyeimbangkan Alam Semesta

Relief Karmawibhangga pada dasarnya penggambaran secara lugas teks kitab Budhis Mahakarmawibhangga  dari tahun 1411 ( yang ditemukan Levi di Kathmandu, Nepal pada tahun 1922),  dua naskah Cina  (diterjemahkan oleh Gautama Dharmaprjana pada tahun 582 dan yang diterjemahkan oleh Tsai Tien Si antara tahun 980-1000) serta naskah Tibet Kanjur yang berisi dua karya berjudul Karmawibhangga. Mengisah sebab akibat tentang laku manusia. Segala perbuatan baik dan buruk akan mendapat akibat (karma) masing-masing secara setimpal baik di kehidupan masa kini ataupun di kehidupan mendatang.

Relief Karmawibhangga  menggambarkan laku manusia serta sebab dan akibatnya yang digambarkan secara vulgar bahkan ada yang mengatakan begitu mengerikan. Sehingga ada yang berpendapat hal ini menjadi salah satu alasan penutupan area ini sehingga kita tidak dapat dilihat secara langsung saat ini.

Banyak orang berpandangan musik adalah wujud kesenangan keduniawian. Bahkan Gautama untuk mencapai pencerahannya sebagai Budha meninggalkan istana dengan berbagai kesenangan musik dan tari-tarian sebagai wujud lelaku prihatin. 

Namun di sisi lain, nyayian burung dan mantra pun mengalunkan musik swarga yang mendatangkan kedamaian. 

Dalam hal ini, bermusik memiliki dua hal laku manusia yang bersisian baik dan buruknya yang tentu memiliki karma masing-masing. Musik adalah sebuah lelaku keseimbang manusia, tergantung pada perspektif pada dharmanya masing-masing.  Musik tidak dapat langsung dinyatakan  sebagai perilaku jahat untuk bersenang-senang keduniawian semata. 

Dalam sebuah kisah Budhis, dikisahkan tentang Srona. Dalam kisa ini  alat musik berdawai sebagai  sebuah metafora tentang pencerahan.

Dikisahkan,  ada seorang pemuda bemama Srona yang dilahirkan di keluarga kaya raya namun ia memiliki kesehatan yang buruk. Ia bersungguh-sungguh meraih Pencerahan dan menjadi murid Yang Terberkahi. Di tengah jalan menuju Pencerahan, ia berusaha begitu keras sampai akhirnya kakinya berdarah. Yang Terberkahi mengasihani padanya dan berkata, “Srona, anakku, pernahkah kau belajar memainkan harpa di rumahmu? Kau tahu bahwa harpa tidak bisa menghasilkan musik apabila dawai-dawainya diregangkan terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Harpa baru bisa menghasilkan musik merdu bila dawai-dawainya diregangkan dengan tepat. 

“Latihan menuju Pencerahan adalah seperti  mengatur dawai-dawai harpa. Kau tidak bisa mencapai Pencerahan bila kau meregangkan dawai-dawai pikiranmu terlalu longgar atau terlalu tegang. Kau harus memperhatikannya dan bertindak dengan bijaksana.” 

Srona menyadari kebenaran kata-kata itu dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya.

Jika dikaitkan dengan kisah Srona ini, sedikit memberi pencerahan pada diri saya pada  sebuah pertanyaan yang mengganjal saya selama ini mengapa penggambaran alat musik berada di relief Karmawibhangga. Bermusik pada dasarnya adalah upaya manusia dalam mencapai keseimbangan hidup. Sama halnya dalam mencapai pencerahan, kita dapat membangun kesimbangan diri dalam naungan welas asih, bukan dengan jalan benar-benar meninggalkan perilaku kesenangan yang memunculkan kebahagiaan seperti menikmati musik.

Sejak  zaman dahulu, musik sebenarnya dipergunakan untuk mengiringi ritual dan doa-doa mendekatkan diri pada cahaya. Baik dan buruknya bermusik kembali kepada niat manusianya. 

Rekonstruksi Alat Musik Dawai Pada Relief Karmawibhangga  

Rekonstruksi Waditra Berdawai Relief Karmawobhangga(Sumber:soundofborobudur.org)
Rekonstruksi Waditra Berdawai Relief Karmawobhangga(Sumber:soundofborobudur.org)
Alat-alat musik yang digambarkan  pada relief Karmawibhangga ada 10 panel yang memuat jenis alat musik. Panel tersebut adalah panel nomor 1, panel nomor 39, panel nomor 47, panel nomor 48, panel nomor 52, panel nomor 53, panel nomor 72, panel nomor 101, panel nomor 102 dan panel nomor 117,yang terdiri dari Idiophone (kentongan dan kerincingan), Membraphone (gendang, kentingan),  Chardophone (gambus, rebab)
serta  Aerophone (seruling, terompet).

Jaringan Kampung  (Japung) Nusantara berkeinginan untuk membunyikan kembali alat musik yang pada panel-panel relief di Borodur  tersebut dengan Sound of Borobudur

Japung mendapuk Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur untuk  mewujudkan kembali secara fisik tiga buah alat musik dawai, yang bentuknya terpahat di relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151.

Tentu saja Ali Gardy bukan orang sembarangan. Lulusan Universitas Abdul Rahman Saleh Situbondo ini adalah pembuat sekaligus pemain berbagai alat musik tradisional seperti sapek dan panting, instrumen dawai Kalimantan, juga beberapa alat musik dawai lain yang dimodifikasi dari bentuk dasar instrumen tradisional. Serta handal membuat dan memainkan seruling, saksophone dan flute ini serta beberapa alat musik lainnya.

Memunculkan kembali tiga alat musik dari masa lebih dari satu milenium yang lalu ini memang bukan perkara yang mudah. 

Mulai dari pemilihan bahannya,  Ali  sengaja menggunakan bahan kayu jati Baluran yang dibelinya dari Perhutani.  Karena pohon jati dengan kayunya yang sangat kuat ini hanya tumbuh di Pulau Jawa, sesuai dengan keberadaan lokasi berdirinya Candi Borobudur. Selanjutnya ia mereka-reka ukuran alat-alat musik dawai dengan pertimbangan instrumen ini digunakan oleh pria atau wanita, serta dengan dasar proporsi tubuh dan alat musik yang tergambar di relief. 

Setelah berhasil mendapatkan bentuk, menjadi PR besar lagi memperkirakan bagaimana bunyinya, karena sama sekali tidak ada referensi dan litarur yang menjelaskannya. Tentu saja japung mengandalkan intepretasi mereka.  Ketiga gawai ini dinamakan Gasona, Gasola dan Solawa yang disematkan oleh Dewa Budjana.

Usaha mereka tak sia-sia, dentingan dawai waditra-waditra ini begitu magis dan menggetarkan jiwa ini pun diperdengarkan di Sound of Borobudur 


Sebuah alunan indah dari dawai hasil rekonstruksi pada sebuah panel relief tersembunyi di kaki borobudur begitu menggugah jiwa. Memanggil-manggil jiwa anak bangsa untuk membaca, mempelajari dan mengembangkan  kembali pustaka-pustaka nyata nan agung yang ditinggalkan leluhur untuk untuk semesta.

Bukan sesuatu yang mengherankan, jika ada yang mengintepretasikan bahwa  dulu Borobudur Pusat  Musik Dunia. 

Kemegahan bangunan yang telah berdiri sejak berabad lalu dengan perhitungan luar biasa itu pernah menjadi latar belakang  konser megah  Mariah Carey di Borobudur 2018.

Sekarang,   sudah saatnya membangkitkan kembali alunan musik dan kisah-kisah yang tersembunyi di kaki-kaki borobudur.  Sekelumit dari Wonderful Indonesia  memanggil anak bangsa dan penduduk dunia untuk menikmatinya, mendengarkan lantunan musik yang bukan hanya memanjakan telinga tetapi menenangkan jiwa menuju pencerahan melalui sound of Borobudur. 

Dok.Kompal
Dok.Kompal
Disclaimer: Sebagian foto-foto yang dipergunakan dalam tulisan ini diambil dari kegiatan Wonderful Indonesia 2018, karya Deddy Huang. Pencantuman foto-foto dilakukan atas seizin Deddy Huang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun