Alunan Waditra Berdawai Borobudur Berkumandang di Semesta
Jika dikaitkan dengan kisah Srona ini, sedikit memberi pencerahan pada diri saya pada sebuah pertanyaan yang mengganjal saya selama ini mengapa penggambaran alat musik berada di relief Karmawibhangga. Bermusik pada dasarnya adalah upaya manusia dalam mencapai keseimbangan hidup. Sama halnya dalam mencapai pencerahan, kita dapat membangun kesimbangan diri dalam naungan welas asih, bukan dengan jalan benar-benar meninggalkan perilaku kesenangan yang memunculkan kebahagiaan seperti menikmati musik.
Sejak zaman dahulu, musik sebenarnya dipergunakan untuk mengiringi ritual dan doa-doa mendekatkan diri pada cahaya. Baik dan buruknya bermusik kembali kepada niat manusianya.
Rekonstruksi Alat Musik Dawai Pada Relief Karmawibhangga
serta Aerophone (seruling, terompet).
Jaringan Kampung (Japung) Nusantara berkeinginan untuk membunyikan kembali alat musik yang pada panel-panel relief di Borodur tersebut dengan Sound of Borobudur.
Japung mendapuk Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur untuk mewujudkan kembali secara fisik tiga buah alat musik dawai, yang bentuknya terpahat di relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151.
Tentu saja Ali Gardy bukan orang sembarangan. Lulusan Universitas Abdul Rahman Saleh Situbondo ini adalah pembuat sekaligus pemain berbagai alat musik tradisional seperti sapek dan panting, instrumen dawai Kalimantan, juga beberapa alat musik dawai lain yang dimodifikasi dari bentuk dasar instrumen tradisional. Serta handal membuat dan memainkan seruling, saksophone dan flute ini serta beberapa alat musik lainnya.
Memunculkan kembali tiga alat musik dari masa lebih dari satu milenium yang lalu ini memang bukan perkara yang mudah.
Mulai dari pemilihan bahannya, Ali sengaja menggunakan bahan kayu jati Baluran yang dibelinya dari Perhutani. Karena pohon jati dengan kayunya yang sangat kuat ini hanya tumbuh di Pulau Jawa, sesuai dengan keberadaan lokasi berdirinya Candi Borobudur. Selanjutnya ia mereka-reka ukuran alat-alat musik dawai dengan pertimbangan instrumen ini digunakan oleh pria atau wanita, serta dengan dasar proporsi tubuh dan alat musik yang tergambar di relief.
Setelah berhasil mendapatkan bentuk, menjadi PR besar lagi memperkirakan bagaimana bunyinya, karena sama sekali tidak ada referensi dan litarur yang menjelaskannya. Tentu saja japung mengandalkan intepretasi mereka. Ketiga gawai ini dinamakan Gasona, Gasola dan Solawa yang disematkan oleh Dewa Budjana.
Usaha mereka tak sia-sia, dentingan dawai waditra-waditra ini begitu magis dan menggetarkan jiwa ini pun diperdengarkan di Sound of Borobudur