Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta
Calvin,Aku Mencintaimu Karena Allah
"Mungkin aku selalu salah di matamu. Apa yang kulakukan tak pernah berarti. Tapi aku sangat mencintaimu, Silvi. Aku selalu berharap kamu akan mencintaiku juga suatu saat nanti."
Mata sipit dan mata biru beradu pandang. Perlahan Calvin melepas tatapannya. Pria berdarah Tionghoa kelahiran 9 Desember itu bangkit dari sofa.
"Aku harus menidurkan Alif." Calvin mendaratkan kecupan hangat di pipi Silvi, mengusap rambut panjangnya.
Dalam kebekuan, Silvi dapat mendengar derap kaki suaminya menaiki anak tangga. Kecamuk rasa mengaduk-aduk hatinya. Kagum, sedih, terharu, dan bahagia.
Benaknya terusik. Tak didengarnya lagi bunyi langkah kaki Calvin. Ganjil, bukankah tadi suaminya baru saja naik di pertengahan tangga? Tidak, pasti ada yang tidak beres.
Sejurus kemudian Silvi bergegas ke kaki tangga. Hatinya disergap ketakutan melihat tubuh tinggi semampai itu limbung nyaris jatuh. Ya Allah, ia tak tega. Desakan rasa cinta mendorong jauh-jauh egonya. Silvi menyusul menaiki tiga anak tangga, lembut meletakkan tangannya di punggung Calvin.
"Calvin, are you ok?" desah Silvi, lembut dan khawatir.
Debar ketakutan memukul-mukul jantung Silvi saat Calvin berbalik. Wajah blogger dan pengusaha tampan itu sangat pucat. Darah segar mengalir dari hidungnya.
"Aku mencemaskan kondisimu, Calvin." Silvi bergumam tanpa sadar.
Tak tahukah Silvi? Calvin selalu begini tiap kali Silvi menyakitinya. Darah itu salah satunya.
Lengan Silvi melingkar erat ke leher Calvin. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Silvi memeluk Calvin. Air mata membasahi pipi wanita cantik itu. Bibirnya bergetar hebat. Egonya dirobek-robek oleh cinta.